Cahaya yang Diam Bahagia
Kutipan Cerpen Cahaya yang Diam Bahagia
Karya herlanggajuniarko
Baca selengkapnya di Penakota.id

Aku tahu, ia tak pernah berbohong. Bahkan pada hari pernikahannya. Semua orang menyebut seseorang di sampingnya sebagai suami, tetapi tak hentinya ia tersenyum kepadaku. Mungkin karena aku tahu, apa yang selalu ia inginkan.

“Sebuah cincin bisa sangat mengikat,” katanya sebulan yang lalu. “Aku tak mau kita terikat dalam sebuah pernikahan. Sekarang adalah waktu yang sangat baik untuk bersenang-senang,” lanjutnya saat aku memberikan sebuah cincin sebagai lambang lamaran.

“Tetapi Nur…, aku ingin kita selalu bersama…,” lirihku.

“Apa kau tak memercayaiku?” bentaknya sedikit. “Lihatlah, jika kau membelah dadaku, kau akan menemukan namamu di dalamnya,” lanjutnya lagi sambil memegang dada.

“Bukan begitu maksudku.”

“Tenanglah. Bahkan kita memiliki makna nama yang sama, kan? Cahyana dan Nurlaila yang berarti cahaya. Artinya kita memang berjodoh!”serunya sambil tersenyum menenangkanku. Kedua tangannya yang hangat mulai menelusuri samping wajahku sudah cukup untuk menenangkan.

Benar. Memang tak ada yang perlu kukhawatirkan. Aku selalu percaya padanya. Meskipun beberapa hari setelah itu, ia bilang akan segera dijodohkan oleh keluarganya sehingga kami tak bisa terlalu sering bertemu lagi. Lagi pula, bukankah cinta dan rindu bisa makin bermekaran jika tak sering berjumpa?

Sebulan sudah berlalu semenjak hari pernikahan itu. Tentu saja cinta dan rindu dalam diriku sudah rimbun berbunga. Aku pun memutuskan untuk kembali bertemu dengannya.

Akhirnya kami bertemu. Meskipun hanya di samping jalan yang sepi, tetapi aku bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Cahaya bulan dan lampu jalan seperti lilin penerang yang romantis. Cukup sempurna untuk pertemuan ini.

Kami memulai percakapan dengan berbagi kabar seperti berbagi rindu. Aku merasa percakapan kami yang ringan mengalir begitu saja seperti penuh cinta sampai akhirnya menjadi lebih serius.

“Cahya, maafkan aku…” lirihnya. Ada airmata yang sedikit tumpah.

“Apa kau tidak apa-apa?” tanyaku.

Tangannya menutup mata seperti sebuah sapu tangan yang tak berhenti menadah hujan. “Selama ini, aku telah berbohong kepadamu. Sebenarnya, aku tidak dijodohkan dengan Jefri oleh keluargaku, tetapi kami menikah karena sudah bersama sedari dahulu,” sambil sesenggukan menahan tangis, Nurlaila mulai menjelaskan.

Aku diam. Nurlaila tidak pernah berbohong. Ia akan selalu mencintaiku.

“Aku paham. Tidak apa-apa.” tegasku singkat.

“Kau paham maksudku?” tanyanya sedikit kaget. “Jadi, bisakah kita tak bertemu lagi?” tanyanya lagi. Air matanya sudah mulai berhenti.

Aku diam. Bahkan saat ia mulai berpaling hendak meninggalkanku. Sejenak kemudian aku berhadapan dengan punggungnya. Tanganku tanpa kusadari mulai meraih tangannya.

“Tunggu!” teriakku. Mungkin terasa seperti berbisik. Aku mulai mendapat perhatiannya kembali saat ia mulai membalikkan badan.

“Aku ingat, bukankah kau pernah berjanji bahwa kita akan saling terikat selamanya?” tanyaku. Tatapanku mulai tegas.

“Aku ingat, Cahya. Tetapi bukankah kau sudah mengerti? Sekarang aku sudah terikat dengan orang lain!” serunya menjelaskan.

“Tidak, Nur! Kita masih saling terikat!” bentakku. “Lihatlah! Ini adalah sabuk yang kau berikan sebagai hadiah ulang tahunku. Sabuk ini selalu mengikat tubuhku,” lanjutku sambil melepas sabuk yang mengikat pinggangku.

“Cahya…,” lirihnya seperti terharu oleh perkataanku. Tubuhnya mulai gemetar.

“Karena sabuk ini selalu mengikatku, maka sekarang giliranmu agar kita berdua bisa terikat bersama,” kataku sambil secepat kilat melilitkan sabuk ke lehernya.

Ia tentu saja kaget. Tetapi makin kulilitkan sabuk itu, makin bibirnya bergerak seolah memanggil namaku. Makin kulilitkan, makin tangannya mengelus-elus tubuhku. Aku tahu, makin kami terikat, makin meledak rindu yang ia simpan sejak dahulu.

Beberapa menit telah berlalu. Aku rasa, ia telah puas menyampaikan rindunya yang tertahan kepadaku selama ini. Aku bahagia. Ia bahkan tak lagi bergerak sama sekali. Aku menyadari ia juga tak lagi bernapas. Aku bahagia. Mungkin ini yang orang-orang sebut dengan istilah ‘merindukanmu sampai mati.’ Benar-benar tak kusangka, ia bisa serindu itu padaku. Aku bahagia.

“Nur, aku benar-benar bahagia sekarang,” bisikku padanya. Ia diam seolah bahagia dan tak lagi bisa berkata-kata.

Karena tak lagi bisa bergerak, aku pun mulai menggendongnya di depan dadaku seperti seorang tuan putri. Menjadi tuan putri adalah salah satu impiannya. Mungkin karena aku selalu tahu apa yang ia inginkan, ia menjadi benar-benar mencintaiku.

“Bagaimana kalau kau bermalam di rumahku malam ini?” tanyaku lembut. Ia diam, tentu saja diam adalah tanda setuju. Sambil terus menggendongnya, aku pun mulai berjalan pulang.

Sesampainya di rumah, malam benar-benar telah larut dan memakan segalanya di luar. Mungkin satu jam adalah waktu perjalanan pulang kami. Selama itu, kami kembali berkencan sambil memandangi langit malam. Selama itu pula, kau benar-benar menjadi pendengar yang baik. Aku bahagia.

Aku mulai pun membaringkannya. Tubuhnya telah menjadi dingin. Kurasa, malam telah menyerang kami selama perjalanan. Atau mungkin AC yang seolah bersedih di kamar ini. Oleh karena itu, aku berniat untuk menghangatkan tubuhnya seperti saat ia menenangkanku setiap waktu.

Konon seorang pendaki yang kedinginan dapat diselamatkan dengan cara bersetubuh. Maka untuk menyelamatkan hubungan kami, aku pun melakukan hal yang sama.

“Karena ini adalah malam pertama kita, aku harap kita bisa mencapai puncak kebahagiaan, Nurlaila,” bisikku selembut mungkin di telinganya.

Setelah malam yang panjang, akhirnya hari telah berganti menjadi pagi. Kusadari, ada beberapa kotoran yang mungkin keluar dari tubuhnya semalam, saat kami telah tidur. Aku tahu, kadang memang seseorang tak bisa mengendalikan tubuhnya saat benar-benar bahagia. Contohnya, mungkin seorang atlet yang menangis saat menjadi juara.

Oleh karena itu, aku pun mulai membersihkan tubuhnya. Ia pun diam menurut dengan kaku. Aku mulai mengelap seluruh tubuh Nurlaila yang kaku tanpa terlewatkan seujung jari pun.

Ah, jarinya masih tersimpan cincin yang ia benci itu. Aku pun tak lupa membuangnya. Aku tahu, Nurlaila pasti lebih bahagia tanpa cincin itu. Untuk merayakan kebebasannya kembali, kami pun memutuskan untuk mengulangi malam pertama kami.

Beberapa hari pun tak terasa telah berlalu. Kami terus mengulangi hari yang sama tanpa henti. Kami mandi bersama. Mengulangi malam pertama. Ia diam. Aku bahagia.

Mungkin ini adalah hari ke-enam. Ada yang berbeda. Ada yang mengetuk pintu di pagi hari. Itu adalah Jefri, seseorang yang orang-orang panggil sebagai suami Nurlaila.

“Cahya! Apa benar kau Cahyana?” tanyanya seperti sebuah teriakan.

“Ya! Ada perlu apa, ya?”

“Ah, maaf sedikit mengganggu. Nurlaila telah menghilang. Aku yakin kau mengenalnya, kan?”

“Mungkin.”

“Maaf. Apa kau sudah melihatnya akhir-akhir ini? Atau mungkin ia menghubungimu? Atau mungkin juga kau mendengar kabarnya dari seseorang?” tanyanya beruntun. Kuperhatikan wajahnya terlihat lelah. Matanya menghitam seperti tak tidur beberapa hari.

“Maaf. Aku juga tak mendengar kabarnya akhir-akhir ini. Lagi pula, terakhir kami bertemu adalah sebulan yang lalu di pernikahan kalian. Itu pun kami tak bercakap sama sekali.” jawabku. Tentu saja, aku tak mungkin membertahukannya bahwa Nurlaila sedang bersenang-senang bersamaku selama ini.

Tak mungkin seseorang yang telah merdeka ingin kembali dijajah. Aku tahu apa yang paling diinginkan oleh Nurlaila saat ini. Maka dari, tak akan kuberitahukan apa yang sedang terjadi di rumah ini.

“Baiklah, aku mengerti. Tetapi, jika saja nanti kau mendengar kabarnya, sesedikit apa pun itu, aku mohon beritahukan padaku!” lirihnya dengan sedikit kecewa. Setelah itu, ia mulai sedikit bercerita mengenai Nurlaila yang hilang. Dari saat kepergiannya malam hari untuk menyelesaikan sebuah urusan sampai tak bisa dihubungi beberapa hari.

“Baik. Nanti akan kukabari. Kuharap Nurlaila sekarang dalam keadaan baik dan bahagia tanpa kecelakaan apa pun.”

“Terima kasih. Oh ya, aku juga minta maaf jika terbawa emosi dan juga banyak bercerita. Mungkin karena rumahmu yang harum. Aromanya benar-benar mengingatkanku pada Nurlaila. Kau pasti merawatnya dengan baik.” Jefri pun pergi setelah berpamitan seperti itu. Kami bertukar kontak. Tetapi aku sama sekali tak berniat menghubunginya. Sedangkan di belakang, tepatnya di kamarku aku tahu, Nurlaila sedang diam agar kebebasannya tak kembali terenggut.

Nurlaila tak menyukai aroma yang busuk, terutama jika itu dari tubuhnya. Aku tahu karena setiap kali kami bertemu, ia selalu harum parfum yang tak kutahu namanya. Oleh karena itu, sekarang saat ia mulai mengeluarkan aroma busuk, aku selalu menyemprotkan parfum favoritnya hingga harumnya semerbak ke seluruh rumah.

“Tenanglah, orang yang disebut suamimu itu tak akan pernah tahu kau ada di sini. Aku akan melindungimu, Nurlaila.” bisikku padanya yang masih terbaring di ranjang. Ia diam. Aku mengerti, ia pasti sedikit waswas jika ketahuan ada di sini saat orang yang disebut suaminya mencium aroma yang sama dengannya. Untuk menenangkannya aku pun kembali mengulangi kejadian malam pertama.

Hari pun berganti menjadi malam ke-tujuh. Aku kembali menceritakan hal-hal yang menyenangkan. Nurlaila diam. Ia kembali menjadi pendengar terbaik. Tak terasa, aku pun teringat bahwa ada namaku di dalam dadanya.

“Nurlaila, aku tahu, kau tak pernah berbohong. Jadi aku akan melakukannya selembut mungkin.” bisikku di telinganya setelah kuputuskan mengambil pisau dapur. Kuarahkan pisau itu ke dadanya. Di antara payudaranya, aku mulai mengiris. Darah yang berwarna gelap mulai keluar perlahan demi perlahan. Setelah itu mulai kusobek kulitnya yang telah mengerut itu hingga terlihat tulang dada dan tulang rusuknya. Darah yang mengalir lamban mulai kuseka. Kuperhatikan tulang dadanya hingga jantung dan paru-paru yang telah menjadi gelap.

“Mana?! Mana?! Mana?!” teriakku. Aku tercengang. Aku tahu, Nurlaila tak pernah berbohong padaku. Tak ada namaku di dadanya. Nurlaila masih diam setelah dadanya terbelah. Mungkin kata-kata tak bisa keluar untuk menjelaskan.

“Kau tak perlu menjelaskannya, Nurlaila. Aku sudah mengerti.” kataku. Aku pun mulai mengukir sebuah gambar lingkaran di tulang dadanya dengan pisau. Karena nama kami bermakna cahaya, jadi lingkaran sangat cocok sebagai lambangnya. Lingkaran memiliki arti matahari.

“Nurlaila, aku telah membuatkan lambang untuk kita. Matahari adalah cahaya. Seperti nama kita. Bagaimana menurutmu?” tanyaku. Nurlaila diam. Seperti biasa, diam berarti setuju. Aku bahagia.

Kupikir lagi, sepertinya sangat tidak adil jika hanya Nurlaila saja yang memiliki lambang itu. Lagi pula kami telah terikat. Kuputuskan melakukannya juga.

Pisau yang kupengang mulai kuarahkan ke dadaku. Perlahan mengiris dadaku. Perih. Perih tak tertahankan. Napasku menjadi cepat. Darah merah mulai mengalir. Mataku berkunang-kunang. Kuraba tulang dadaku. Pisauku mulai mengukir lingkaran. Linu. Benar-benar linu. Aku terjatuh di samping Nurlaila.

Sayup-sayup kudengar suara pintu didobrak. Aku menatap Nurlaila yang tersenyum disampingku. Mataku tak hentinya berkunang-kunang. Aku hilang kesadaran.

“Aku mencintaimu, Nurlaila.”

 

 

2023


29 Jul 2023 18:36
29
Bandung
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: