Sesekali kita perlu membangunkan seekor naga hanya untuk memenangkan hati sang putri raja. 

Bagiku kepingan-kepingan cerita yang dramatis merupakan sebuah konsumsi publik yang renyah dan menjadi bahan tontonan.

Hanya saja semua itu terlalu besar dan sering membuatku gusar. Jangankan seekor naga, musuh terbesarku adalah rindu.

Aku tidak bisa menaklukannya begitu saja.

Bertemu dan berpapasan pada persimpangan. Kemudian memeluk erat-erat supaya dia tidak bisa bergerak.

Sayangnya sayapnya telalu besar. Dia bagaikan merpati putih yang indah dan terbang kemana saja. Membawa pesan-pesan cinta untuk semua orang yang mengaguminya.

Apa aku harus bertindak kejam, memilih untuk membawa senapan dan menembaknya tepat di dada. Sehingga aku bisa merenggut kebebasannya dan memiliki dia seutuhnya.

Kurasa cinta tidak begitu. Dengan melihatnya bisa terbang seharusnya aku sudah bahagia. Tapi egois ini berkata tentang validasi kepemilikan. 

Lantas apa yang pantas untuk bisa memiliki keindahannya.

Apa kurangkai sangkar dari rangkaian jeruji emas tapi aku fakir. Maka yang aku bisa hanyalah mengumpulkan balok-balok kayu bekas dan membuat sebuah kandang dengan apa-adanya.

Berharap sayap-sayapnya membawa dia terbang hinggap kepada ketulusan yang aku sajikan.