Sebab Ikhlas Tak Pernah Terucap
Cerpen
Kutipan Cerpen Sebab Ikhlas Tak Pernah Terucap
Karya hyycinn28sc
Baca selengkapnya di Penakota.id

Pagi itu tepat di kala Sang Surya menjemputku bangkit dari mimpi malam, memaksaku membuka mata, jendela itu menganga, dan kutemui bayangmu melempar senyum ke arahku, dan seketika kuingat mimpi di malam itu, kita bertemu di bawah sorotan sinar bulan, kau ajakku menari beriringan bersama kunang-kunang. Dekapanmu membuat hangat dan tenang.
Tak lama kemudian aku mendengar di balik pintu rumah ada suara seorang yang memanggil namaku dan mengetuk pintu, lekasku berlari membuka pintu, dan kutemui seorang pria yang berdiri di balik pintu; yaitu Raka, dan ia pun langsung menyapaku.
“Hai, Sekar,” sapa Raka kepadaku.
“Oh, hai,” jawabku terkejut.
“Bukankah kau ingin bermain dengan temanmu?” kataku.
“hmmm…aku berbohong perihal itu, aku ke sini karena rindu,” ucap Raka seraya mencubit kedua pipiku.
“Ah, kamu bisa aja sih, Ka.”
“Ayo ikut aku,” ucap Raka.
Belum sempat aku menjawab, Raka pun langsung menarik tanganku dan menuntunku untuk mengikutinya menghampiri motornya lalu membawaku menuju pantai untuk melihat pemandangan dan sedikit menghilangkan canggungku.
Sesampainya di sana kami langsung menduduki pesisir pantai.
“Sebentar ya, Kar, aku beli minuman dulu,” sembari berlalu.
“Baiklah aku tunggu,” jawab sekar dengan senyum kecil.
Seraya menunggu Raka kembali, aku pun memanjakan mata dengan panorama sekitar dan tak lama kemudian aku melihat Raka yang hampir mendekatiku dengan membawa dua buah kelapa di kedua tangannya.
“Kar,ini untukmu,” memberikan sebuah kelapa muda siap minum.
“Makasih, Ka,” ucapku tersenyum simpul.
Sembari menikmati minuman yang ada kami pun bersenda gurau.
Tak terasa senja pun telah hilang dari panggung kecilnya, Raka pun mengajakku beranjak dari pantai untuk kembali pulang. Di perjalanan menuju rumah, Raka bertanya padaku.
“Bagaimana perasaanmu, Kar?” tanya Raka
“Perasaan apa, Ka?” sambil mendekati sisi kiri bahu Raka.
“Perasaan setelah kita menikmati panorama pantai.” Sambil melihatku dari spion kiri motornya.
“Aku sangat senang, Ka, terima kasih untuk hari ini,” jawabku.
Beberapa rambu lalu lintas sudah di lewati, warna merah mengisyaratkan kita untuk berhenti sejenak, lalu melaju ketika warna hijau menjemput, kemudian kita sudah tiba di depan pagar rumahku.
Raka meminta izin untuk pamit pulang kepadaku dengan kecupan kecil di kening seperti biasa.
“Kar, aku pamit ya.”
“Iya, hati-hati, Ka.”
Raka membawa dirinya pergi dariku, tubuhnya semakin hilang di makan jalanan.
Kuhempaskan tubuh di atas ranjang, menatap dinding langit, mengingat kejadian hari ini.
Tiba-tiba ibu masuk ke kamarku dan menghampiriku, ibu menatapku seolah penuh tanya dalam pelupuk matanya.
“Nak, ikut Ibu ke ruang tamu, sebentar aja, ada yang mau Ayah dan Ibu sampaikan,” ujar Ibu dengan kecanggungan.
“Iya, Bu, aku ganti baju dulu ya,” jawabku.
“Ibu tunggu di ruang tamu ya, Nak.” Sambil berlalu dari kamar.

Tak hentinya tanya keluar dari benakku, sebenarnya ada apa pada Ayah dan Ibu, tak biasanya mereka secanggung ini, perasaanku mengganjal.
Secepatnya aku menghampiri Ayah dan Ibu di ruang tamu. Ternyata mereka sudah menungguku di sana.
“Sini, Nak, duduk samping Ayah.” ucap Ayah kepadaku.
“Ada apa, Yah? Tumben banget sekaku ini,” ujarku cengengesan.
“Ayah ingin memberitahu sesuatu hal yang sangat penting,” kata Ayah dengan mimik muka serius.
“Katakan aja, Yah.”
Pikiranku mulai gundah, memikirkan apa yang ingin ayah sampaikan.
Ibu hanya terdiam, raut mukanya seperti menimbun beban yang sangat berat.
“Nak, Ayah ingin memberi tahumu bahwa kamu sudah kami jodohkan dengan pilihan kami,” ujar Ayah canggung.
Aku terdiam mendengar apa yang baru saja Ayah bicarakan.
“Nak, ini sudah menjadi tradisi di keluarga kita, dulu Ayah dan Ibumu juga di jodohkan, meskipun kami tidak mengenal satu sama lain,” kata Ayah meyakinkanku.
Aku masih terdiam, lidahku kelu, bibirku kaku, pikiranku gaduh, hatiku bimbang, sebab di hati ini terdapat seseorang yang sangat aku cintai; yaitu Raka. Aku tak sanggup menjawab apa yang Ayah utarakan padaku.
Aku tahu orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, aku tau mereka ingin aku bahagia kelak nanti, tetapi tidak dengan cara seperti ini yang kumau.
Bukankah cinta tak bisa di paksakan walau banyak orang di luar sana yang berkata bahwa cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu.
“Nak, dengarkan Ayah, sebentar lagi kamu akan di pinang dengan pilihan kami, namun, sebelum kamu di pinang, kamu akan di lamar terlebih dahulu, sebab kamu masih harus meneruskan sekolahmu hingga tamat, dan bulan depan setelah kelulusanmu acara pernikahanmu akan di laksanakan,” ujar Ayah menegaskan.
Aku masih bungkam, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Hanya air mata yang mampu menjawab pertanyataan Ayah.
Ibu mendekapku dengan lembut, seolah memberi pertanda bahwa aku harus mampu menjalani ini semua.
Kueratkan pelukkan di tubuh Ibu, aku tak kuasa menahan apa yang telah Ayah bicarakan.
“Bu, aku tak sanggup.” Isakku yang masih dalam pelukan Ibu.
“Sabar, Nak, ini udah tradisi di keluarga kita, kamu tak bisa menolak atau melanggarnya” jawab Ibu dengan mengusap lembut rambutku.
Seketika Ayah datang menghampiriku yang sedang dalam dekapan Ibu dan menggenggam erat tanganku lalu membisikkan sebuah nama yang nantinya akan menjadi calonku.
“Nak, nama calonmu Rangga,” ucap Ayah di sela-sela pelukanku.
Aku tak tahu harus melakukan apa, sementara aku sudah mempunyai Raka; seorang yang aku cinta dan ia juga mencintaiku.
Aku tak mampu untuk memilih dengan siapa aku akan bersanding, yang kutahu aku harus bersanding dengan pilihan orang tuaku, bukan dengan ia orang yang aku mau.
Cepat atau lambat aku harus memberitahu perihal semua ini kepada Raka, aku tak sanggup jika nantinya Raka terlalu dalam mencintaiku dan aku tak mau Raka merasakan sakit yang menusuk hingga membuatnya hancur.
“Bagaimana kalau nanti Raka membenciku?”
“Bagaimana kalau nanti Raka tak mau jika aku di sanding dengannya?”
“Bagaimana kalau nanti Raka melakukan hal bodoh hanya demi aku?”
Ucapku dalam hati, pikiranku selalu menuju Raka. Memutar otak untuk menyusun kata demi kata yang nanti akan aku lontarkan ketika waktu telah mengizinkannya.

*

Hari demi hari berlalu, tak kusangka ternyata hubunganku dengan Raka sudah berjalan 4 bulan. Tiba-tiba Raka menghubungiku dan ingin menjemputku.
“Halo, Kar, nanti aku jemput kamu di rumah jam 7 malam ya.”
Belum sempat aku menjawab ajakan Raka, ia sudah menutup sambungan telepon.

Mendadak aku mengingat kembali perkataan Ayah semalam, “ah sial, kenapa aku harus ingat perkataan Ayah, bagaimana aku menjelaskannya pada Raka,” ucapku dalam hati seraya mengacak rambutku.
Tak lama kemudian Ibu memanggilku dan menyuruhku untuk sarapan bersama.
“Kar, bangun, sarapan bareng.” Teriak Ibu dari dapur.
“Iya, Bu, aku sudah bangun, sebentar Bu,” jawabku.
Aku beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka, lalu bergegas menuju meja makan.
“Pagi, saying,” ucap Ayah tersenyum simpul.
“Pagi juga, Ayah,” jawabku sedikit malas.
Kami pun sarapan bersama dengan Ayah dan Ibu. Setelah kami selesai sarapan, Ayah memberitahuku lagi bahwa aku akan di jemput dengan calon lelaki yang akan menjadi suamiku kelak.
“Kar, Ayah ingin memberitahumu bahwa besok sore kamu akan dijemput dengan calon suamimu, kamu harus persiapkan diri dan dandan yang cantik juga,” ucap Ayah yang begitu semringah.
“Hmmm…okay, Yah.” Jawabku malas.
Tanpa basa-basi aku pun langsung menuju kamar, aku kalut, aku tak bisa melakukan apa-apa lagi selain harus menuruti kemauan kedua orang tuaku.

Kenapa aku terlahir di sebuah keluarga yang adatnya harus di jodohkan dengan pilihan kelurga jika sudah dewasa nanti? Aku benci dengan keadaan seperti ini!
“Arghhh…” Teriakku meluapkan emosi.

Aku tak sadar bahwa aku terlelap sehabis sarapan tadi, setelah kubuka mata ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Dan aku baru ingat bahwa nanti malam aku ada janji dengan Raka untuk merayakan hari jadi kita yang ke empat bulan.
Aku langsung bergegas menuju kamar mandi, lalu mencari pakaian yang cocok untuk malam ini, dan berdandan yang cantik agar aku tampak menawan di mata Raka.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, ternyata Raka menghubungiku.
“Hai, sayang, kamu sudah rapi kan?” ucap Raka.
“Udah, sayang,” jawabku.
“Coba kamu lihat ke teras rumahmu, aku sudah menunggumu.”
Belum sempat aku menjawab, aku sudah berlari keluar kamar lalu menghampiri Raka. Dan benar saja, Raka sudah menungguku di teras , ia sangat rupawan, membuatku selalu jatuh cinta berkali-kali. Aku pun memeluk tubuh Raka dengan erat. Tanpa ku sadari, air mata sudah memenuhi pelupuk mataku yang akan segera tumpah.
“Aku mencintaimu, Ka,” ucapku dalam hati yang masih memeluk tubuh Raka.
Setelah aku melepas pelukanku di tubuh Raka, Raka langsung menggandeng tanganku dan membawaku menuju sepeda motornya, di perjalanan kita asik berbincang-bincang dan tak sangka bahwa kita sudah sampai di cafe tersebut. Lalu, Raka menuntunku menuju ke meja yang sudah Raka pesan.
“Silahkan duduk tuan putri,” ucap Raka dengan menarik kursi untukku dan mempersilahkanku untuk duduk.
“Terima kasih, Tuan,” ucapku tersenyum lebar.
Sesudah Raka memesan makanan, pelayan pun mengantarkan pesanan kami. Dengan santai kami menyantap hidangan di atas meja sembari berbincang yang diselingi beberapa gurauan.
Di benakku, aku berpikir apakah harus kuceritakan sekarang perihal perjodohanku dengan pilihan kedua orang tuaku itu.
Kini aku berada di situasi yang sangat sulit kuatasi, mereka—keluargaku dan kekasihku kini—adalah orang yang penting dalam hidupku. Aku yang sedang dilema, bimbang harus memilih yang mana; kebahagiaan orang tuaku atau cinta sejati bersama lelaki pilihanku. meskipun bersamanya adalah kebahagiaan yang hakiki bagi ku, tetapi tetap saja ku tak dapat memilihnya. Karena aku tak ingin membuat hati kedua orang tua ku terluka, maka telah kuputuskan, aku akan menceritakan semuanya kepada Raka yang sesungguhnya dan akan mengakhiri hubungan ini selamanya.
“Ka, maaf, aku pikir hubungan kita cukup sampai disini,” ucapku menundukkan kepala.
“Kenapa?” jawab Raka terkejut.
“Aku telah di jodohkan orang tuaku dan aku tidak akan mungkin menolak permintaan
mereka karena ini adalah adat istiadat di kelurga kami, ku harap kamu mengerti.”
Raka yang terkejut atas keputusanku sepihak hanya bisa bungkam.
“Sekali lagi aku minta maaf,” bangkit dan berlalu.
Raka pun mengejarku yang telah beranjak meninggalkannya, lalu menarik tanganku dan mendekap erat tubuhku, seraya membisikan kalimat terakhir yang menghujam hati kita berdua.
“Sekar, jaga dirimu baik-baik, tetaplah menjadi wanita yang aku kenal, selamat tinggal dan semoga kau berbahagia dengan pilihan kedua orang tuamu, aku bangga bisa mengenalmu dan memiliki hatimu, kau akan menjadi kenangan yang takkan terlupakan” Raka pun melepaskan dekapannya, dan mengantarkan Sekar pulang kerumahnya untuk terakhir kalinya.
Ke esokkan harinya, sesuai dengan perkataan Ayah, Galang menjemputku.
“Galang,” sembari menjabat tangan memperkenalkan diri.
“Sekar,” aku membalas jabatan tangannya.
Tak perlu waktu lama, aku dan Galang sudah bergegas pergi. Di sepanjang perjalanan aku dan Galang saling berbincang. Walaupun aku sedikit gugup menanggapinya.
“Kamu masih kuliah, Kar? Tanya Galang.
“Iya, aku masih kuliah,” jawabku singkat.
Setelah sedikit berbincang-bincang, kita sampai di tempat tujuan; biskop dan Galang pun memesan tiket film bergenre romansa.
1 jam berlalu, film yang kita tonton pun selesai dan kita bergegas pulang.

*
Seminggu setelah kami berpisah dan Raka pun tak ada kabar , acara pertunanganku dengan Galang pun berlangsung . Dalam kurun waktu satu bulan yang akan datang aku dan Galang akan melangsungkan pernikahan. Rencana pernikahan pun semakin dekat, tidak terasa undangan siap di sebar.
Siang itu aku berencana memberikan undangan pernikahanku kepada Raka. Namun, seketika teleponku berdering dan nomer itu tak ku kenal, setelah aku menjawab telepon itu rasanya suara tersebut tak asing ku denger. Dan ternyata benar dugaan ku, dia laki-laki yang pernah ada dalam hidupku.
“Hai,Sekar, ini aku Raka, bagaimana keadaanmu? Kuharap kau baik-baik saja,” tanya Raka.
“Oh ini Raka, kabarku baik-baik saja, bagaimana denganmu?” tanyaku canggung.
“Kabarku baik-baik saja, oh iya Kar, aku mau pamit, aku akan pergi bersama keluarga untuk melanjutkan studyku dan menetap disana,” ucap Raka.
“Hmmm… seperti itu ya, Ka, semoga studi dan kehidupanmu disana berjalan lebih baik. Oh ya, aku akan menikah seminggu yang akan datang, tadinya aku harap kamu bisa hadir.” Jawabku.
Seketika hening, Raka tak membalas perkataanku, dan saat itu juga Raka memutuskan jaringan telepon. Aku tak kuasa menahan bendungan air mata yang siap tumpah dari kelopak mataku.
Semenjak itu, Raka sudah tak pernah menghubungiku lagi, aku tidak tahu bagaimana perasan Raka saat itu , mungkin dia kecewa padaku dan tak ingin mengenalku lagi , tetapi itu semua adalah konsekuensi atas keputusan yang telahku buat dan aku harus siap menerimanya.
01 Oct 2018 08:53
166
Jl. C No.2, RT.11/RW.14, Pisangan Baru, Matraman, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13110, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: