Melodies of Surabaya
Cerpen
Kutipan Cerpen Melodies of Surabaya
Karya ichsanleonhart
Baca selengkapnya di Penakota.id
Surabaya, 27 Oktober 1945…

Pikiranku gagal memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rentetan peristiwa di surat kabar santer terdengar. Sebuah sejarah terukir lewat berbagai ketegangan, serta meningkat lewat genderang perang. Sungguh, aku tak mengerti. Terlalu banyak peristiwa di sekelilingku.

Empat bulan lalu, terdengar suara Bung Karno meneriakkan sepatah kata—puncak utama perjuangan kita semua—dalam bentuk sebuah proklamasi kemerdekaan. Sebuah statement yang menjadi simbol terangkatnya harkat dan martabat seluruh bangsa Indonesia.

Sedetik dua detik, dua jam tiga hari, bahkan hingga berminggu dan berbulan-bulan lamanya, pernyataan kemerdekaan itu akan terus menggema lewat teriakan penuh semangat layaknya kumandang Adzan bersahutan. Sebuah proklamasi yang kelak tercatat dalam buku sejarah, yang berdampak pada euphoria seantero jagat rakyat. Aku bisa mendengar teriakan berbalut luapan emosi dengan lantang menggema kemanapun aku berada.

“Merdeka!” Begitulah gema yang terdengar di sekitar.

Namun peperangan masih terjadi di mana-mana. Dalam gegap gempita ekspresi bahagia, kesenangan itu nyatanya berbuntut pada baku tembak demi melucuti senjata. Para tentara Jepang masih tersisa. Kudengar kekalahan mereka disebabkan oleh kalahnya Jepang dalam perang melawan Amerika. Kabarnya, negeri mereka dihantam sebuah bom nuklir hingga porak poranda. Konon katanya senjata itu sanggup menyapu bersih sebuah kota hingga rata tak bersisa.

Kita memang sudah merdeka, akan tetapi pertumpahan darah demi merebut supremasi kedaulatan masih akan terjadi selama beberapa waktu ke depan.

Aku senang Ibu pertiwi akhirnya bisa mendapatkan kemerdekaan. Tapi aku berpendapat bahwa ini hanyalah sebuah permulaan. Awal dari babak panjang sejarah negeri raksasa di asia tenggara.



Oh iya, orang di sekitar biasa memanggilku Rio. Anak campuran, setengah Indonesia setengah Belanda.

Silsilah keturunanku sama sekali tidak diketahui, ibuku mirip orang Jepang karena bermata sipit dan berkulit putih. Sementara ayahku terlihat seperti habis terkena tumpahan truk cokelat. Hasil percampuran orang barat dan kulit hitam negro membuat ayahku terlihat seperti adukan kopi susu, alih-alih cokelat sawo matang seperti orang pada umumnya. Bukan bermaksud rasis, tapi setidaknya kini kalian punya gambaran tentang keberagaman ras di keluargaku, kan?

Oh ya, fokus ceritaku bukan tentang ras dan budaya. Sekelilingku masih hiruk pikuk akan serangan yang dilakukan kemarin malam. Budi teman terdekatku gugur dalam penyerangan. Dia meninggal secara jantan, sementara aku hanya berlindung ketakutan di balik mayat saudara seperjuangan. Tubuh mereka dirobek-robek timah panas muntahan senapan mesin di kejauhan.

Insting untuk bertahan hidup mendorongku untuk memilih berlari mencari aman. Padahal semua orang di sekelilingku berjuang hingga titik darah penghabisan. Aku mengutamakan keselamatan, dari pada memaksakan diri bertempur dengan musuh berpelengkap senapan otomatis.

Ya— kau boleh menyebutku seorang pengecut.

Pun begitu, kadangkala sifat pengecutlah yang diperlukan agar seseorang bisa bertahan hidup.

Tujuan kami adalah melucuti tentara Jepang. Frustasi kalah dalam perang pasifik, menjadi sebuah kesempatan bagi para Milisi untuk menyerang di titik terlemah. Untuk tiap hari yang terlewati, bertambah pula jumlah senjata yang bisa kami pergunakan. Perlahan namun pasti, kami mulai membentuk sebuah kekuatan.

Akan tetapi, perjuangan itu harus kandas di tengah jalan. Tumpukan Senjata yang sudah susah payah kami perjuangkan, harus di serahkan kepada para pasukan dari Negeri Inggris. Mereka mendadak datang dari antah berantah, bertindak layaknya malaikat kebaikan, berpura-pura datang sebagai pembawa kedamaian.

Tanpa berucap apapun, semua orang tahu akan maksud sebenarnya. Tak lain dan tak bukan hanya untuk menduduki kembali sang bumi pertiwi. Mereka tak rela begitu saja menyerahkan tanah subur penuh sumber daya alam—pendapatan utama dari penjajahan—bisa memerdekakan diri tanpa perlawanan.

Para pemimpin kami marah, merasa dibohongi oleh sikap arogan. Sikap itu bukan datang tanpa alasan, karena sehari sebelumnya, telah terjadi sebuah perjanjian yang berisikan: Pihak Jepang akan dilucuti, tanpa sedikitpun mengganggu pasukan keamanan bangsa Indonesia.

Brigjen Mallaby—pemimpin dari pihak inggris—tidak menepati perjanjian tersebut. Mereka malah mengobarkan ancaman serta menebar ketakutan lewat intimidasi kapal perang di seberang lautan. Maka tercatat jelaslah di sanubari setiap pejuang; bahwasanya, Jumat, 26 Oktober 1945, para penjajah telah sukses menginjak harga diri kami— bangsa Indonesia hingga rata dengan tanah.

Kami tak akan tinggal diam.



Esoknya— aku diajak teman seperjuangan untuk ikut menggempur pasukan inggris di Surabaya. Berbekal pakaian lusuh, serta kain panjang berwarna merah putih di kening. Aku berangkat berjalan kaki dari desa kecil yang letaknya agak terpencil.

Sepanjang jalan, aku diberitahu tentang keberadaan saudara seperjuangan—pasukan milisi dengan persenjataan ala kadarnya—yang terpencar di beberapa tempat. Mereka bersembunyi dalam senyap, menunggu saat yang tepat. Aku bisa menyaksikan bagaimana tajamnya pandangan mata mereka. Suara jangkrik dan gemeresik dedaunan seolah meredam pergerakan kami yang sedang merayap di antara semak belukar. Aku tak melewatkan momen ini ketika mengintai pangkalan musuh di kejauhan. Kami memang terlihat urakan, namun di balik lusuhnya seragam kami, semuanya tersusun rapi dalam satu garis komando penuh kepatuhan.

Truk, jeep dan tank berlalu lalang di jalanan. Pasukan musuh berseragam krem terlihat santai sambil menghisap sebatang cerutu. Bukit tempatku mengintai hanyalah bagian kecil dari ratusan pejuang lain di seluruh Surabaya.

Entah berapa lama kami menunggu, pusat komando tak kunjung memberi perintah untuk menyerang. Aku dan yang lain melakukan tugas pengintaian secara bergantian, sementara yang lain beristirahat di malam dingin penuh dengan gigitan nyamuk hutan.

Kami gatal bukan karena nyamuk, kami gatal karena ingin segera mengabisi para cecunguk. Namun entah kenapa, tak ada perintah apa pun untuk memuaskan hasrat pembantaian di sanubari.

Ternyata, perintah untuk tidak menyerang itu datang dengan sebuah alasan. Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno tanpa diduga malah datang ke Surabaya.

Kami bingung. Sukar sekali rasanya untuk memercayai berita itu. Di saat kami siap untuk memberikan seluruh jiwa raga demi mengusir para penjajah. Sang pimpinan utama malah datang tepat ke tengah potensi medan perang. Apa tujuan beliau? Hendak mengobarkan semangat perjuangan? Atau untuk memadamkan nyala api peperangan?

Menyebalkan memang, namun di sisi lain kami bisa mengerti. Aku pribadi meyakini, beliau pasti memiliki rencana lain di luar nalar prajurit rendahan sepertiku ini.

Hari berikutnya, aku dan rekanku yang lain kembali ke pos utama di desa masing-masing.

Kakiku melangkah gontai menuju ke desa kecil nan damai, sejenak kembali menikmati hidup sebagai seorang petani serabutan. Umurku hendak menginjak kepala dua, para tetua sering menasehatiku untuk cepat mencari jodoh. Mereka bahkan sering bertingkah jahil dengan mempertemukanku dengan beberapa gadis cantik di desa ini.

Sebenarnya aku tak peduli. Tak ada satu pun dari mereka yang menarik hatiku sejauh ini. Tuhan sudah mengatur jodoh tiap makhluk ciptaanya, di antara jutaan manusia di negeri ini, pasti ada satu yang akan menjadi pendamping hidupku.

Semoga saja begitu.

Hari berikutnya, terdengar kabar presiden Soekarno tengah mengadakan perjanjian gencatan senjata. Aku yang berada di radio terdekat diberi mandat untuk menyampaikan berita itu kepada siapapun yang bisa ditemui. Sebuah komando telah diputuskan, aku harus menyebarkannya secepat mungkin agar tidak terjadi kesalahpahaman. Aku paham situasi di garis depan, juga perasaan tiap rekan-rekan. Para prajurit di posko pengintaian pasti sudah gatal ingin membunuh para penjajah. Jangan sampai ada tindakan desersi dengan menyerang musuh atas inisiatif sendiri.

Di perjalanan, aku berpapasan dengan beberapa orang yang berangkat ke gedung Internatio. Mereka hendak mengepung pos pasukan inggris di dekat jembatan merah. Aku sontak memberitahu akan perjanjian gencatan senjata yang tengah berlangsung.

Kecemasanku ternyata benar. Sisa pasukan lainnya sudah berada di tempat tujuan, mengepung dari berbagai sisi— bersiap menyerang.

Aku dan empat orang lainnya bergegas menyusuri sawah serta rimbun pepohonan. Napas yang memburu tak menjadi penghalang untuk segera menyampaikan berita ini.

Tiga puluh menit berlalu, kami akhirnya tiba di pos penyergapan.

Namun sepertinya aku terlambat, dua kubu di hadapanku telah saling melepaskan tembakan. Desingan peluru serta pistol mengentak terdengar rata di sekeliling.

Semua itu bermula ketika iring-iringan militer Inggris muncul membawa Brigjen Mallaby. Para pejuang yang sedang mengepung gedung pada awalnya belum melakukan apapun. Namun seseorang melepaskan tembakan dari arah musuh. Mungkin semacam tembakan penyambutan akan kemunculan seorang Jenderal.

Akan tetapi, para pejuang mengira bahwa mereka telah diserang. Semua orang sontak membalas, baku tembak pun terjadi tak terhindarkan.

Seperti biasa, aku langsung menjatuhkan diriku ke tanah, berlindung di antara semak belukar dan akar pohon mati. Mulutku merintih ketakutan, dalam dalih pura-pura tertembak atau terluka agar tidak ikut serta dalam pertempuran. Pandangan mataku kosong tak mampu mendongkak, sekali menatap helai rumput di atas tanah.

Kuberanikan diri untuk mengintip jalannya peperangan. Musuh berlindung rapi di balik besi penyangga jembatan merah. Pandanganku tanpa sengaja menangkap sosok misterius di atas tiang jembatan. Dia mengenakan pakaian serba hitam berdiri sendirian.

Mulut ini terbuka pelan, menganga tanpa mengeluarkan suara.

Siapa dia? Apa yang dia lakukan disana?? Bagaimana dia bisa ada disana? Seribu pertanyaan datang membanjiri. Pikiranku bahkan tak sanggup mengukir imajinasi untuk menjelaskan anomali. Sebisa mungkin aku menajamkan mata, berusaha untuk menangkap sosok itu agar lebih jelas terlihat.

Rambutnya pendek sebahu, memiliki kulit putih bersih, berpendar memantulkan binar kemerahan dari nyala api ledakan. Postur tubuhnya ramping, ditutupi baju yang agak terbuka di bagian dada.

“Perempuan..?”

Logikaku macet, tidak bisa jalan sama sekali. Bisa-bisanya aku berhayal di tengah pertempuran seperti ini. Dengan cepat lenganku mengucek-ngucek kedua mata, berusaha meyakinkan bahwa aku sedang berimajinasi. Mungkin saja itu hanyalah daun pepohonan, yang entah berkat imajinasi liarku mendadak berubah menjadi seorang gadis cantik dengan pakaian seksi.

Agak lama aku berusaha meyakinkan diri. Namun pengelihatanku tetap tidak berubah. Orang itu mengenakan pakaian aneh. Semacam rok kecil hitam mengkilat, membalut kedua pahanya yang mulus. Rambutnya lurus sebahu. Kerah dari kaos putih terlihat menyembul lewat potongan jaket gelap yang menutupi bagian atas tubuh.

Baru kali ini aku melihat model pakaian seperti itu. Mataku juga menangkap sesuatu menempel di lengan kanannya. Terlihat seperti logam namun memiliki tekstur yang sangat rumit.

Ia terdiam— menatap ke suatu arah.

Aku ikut mengarahkan pandanganku menuju sudut yang ia tuju.

Sebuah granat melayang jatuh, mendarat pada sebuah mobil mewah, lalu meledak hingga menewaskan siapa pun yang ada di dalam.

Deru tembakan seolah terhenti sesaat, kedua belah pihak tertegun dengan peristiwa yang baru saja terjadi.

“Itu mobil Brigadir Mallaby..”

Seseorang menggumam dengan nada bergetar.

“Gawat... inggris bisa marah besar”

“Siapa yang melempar granat barusan..!?”

Pamanku yang merupakan komandan pasukan berteriak lantang.

Namun tak ada yang menjawab. Tak seorang pun di pihak milisi yang menggunakan granat. Benda itu sulit diperoleh, dan kalau pun ada, hanya orang-orang tertentu yang boleh memakainya.

Tembakan kembali bergema. Pasukan inggris mengamuk, mengerahkan setiap peralatan yang mereka punya. Perang semakin memanas, aku kembali berbaring di antara semak belukar.

Aku kembali teringat akan gadis misterius di atas jembatan merah. Kepalaku kembali menyembul ke luar demi mencari tahu akan keberadaan.

Dia masih ada disana. Lengan kanannya dililit logam berwarna perak, tampak mengeluarkan seberkas cahaya memantul di udara. Bagiku hal itu terlihat seperti layar transparan berisi tulisan-tulisan yang sulit dibaca.

Gadis itu terlihat sibuk mengotak-atik layar transparan di hadapannya. Tak lama kemudian, pandangannya mendadak menoleh ke arahku. Mata kami bertemu satu sama lain selama beberapa saat.

Aku menelan ludah, entah kenapa rasa takut mendadak menyusup di sanubari. Retina mata terlihat memancarkan berkas cahaya hijau. Berpendar redup menatap lekat kedua bola mataku dari kejauhan. Mata itu terasa dingin menusuk.

Rambut sebahu yang ia miliki tergerai angin yang berhembus pelan. Sejenak gadis itu merapihkan rambut depan yang agak menutupi mata, lalu mengotak atik benda di lengan kanan berbentuk gelang berwarna perak.

Sedetik kemudian. Tubuhnya berubah transparan— menghilang dari pandangan layaknya debu terbang disapu angin.

Aku masih berusaha untuk mempercayai apa yang kulihat. Tapi tak ada satu pun logika yang bisa menjelaskan kejadian barusan. Mungkin dia semacam makhluk halus, jelmaan dari jin atau arwah gentayangan. Hanya itu kesimpulan yang bisa kudapatkan.

Perang seolah usai, deru entakan senapan mesin mereda seiring semakin banyak pasukan milisi yang mundur ke garis belakang. Aku merasa serangan ini akan memancing Inggris untuk melakukan serangan balasan yang jauh lebih besar.



..................
~


Benar saja—

Sepuluh hari kemudian, ketakutanku terbukti benar. Pasukan inggris mengeluarkan ultimatum bagi para pejuang di kota Surabaya dan sekitar. Mereka menuntut tegas, agar para milisi mundur, seraya menyerahkan senjata masing-masing.

Tentu saja Ultimatum itu langsung dibalas oleh sumpah serapah. Semua orang berteriak lantang sambil mengangkat senjata masing-masing, menyerukan nama tuhan dan simbol harapan negeri ini— Merdeka atau mati.

***
~ 
Dalam rasa kantuk yang mendera, aku memaksakan diri untuk terbangun di antara bangunan kota besar.

Hari ini, tanggal 10 November. Jantungku berdebar kencang tiada henti. Aku tahu, kali ini aku tidak bisa meringkuk ketakutan, berpura-pura terluka atau berlagak mati. Inggris telah mengepung seluruh kota Surabaya. Aku memang akan mati andai mereka menemukanku walau sedang dalam keadaan terluka sungguhan.

Maka keputusan bulat yang kubuat adalah perang. Perang sungguhan dengan tekad sungguhan tanpa ada lagi kepalsuan.

Dada terasa sesak oleh degup jantung tak terkendali. Kedua mata terbuka lebar, membayangkan segala potensi terburuk yang bisa saja terjadi.

Bantuan datang dari kota terdekat, namun itu tak akan cukup melawan 45 ribu pasukan musuh dengan senjata modern dan perlengkapan canggih.

Maka terjunlah warga sipil untuk membantu sesama. Walau nihil pengalaman menembakkan senjata, mereka siap mengorbankan jiwa dan raga demi menegakkan kemerdekaan yang susah payah diraih setelah berabad-abad lamanya.

Suara Bung Tomo melengking di setiap radio tentara milisi. Tiap kalimat yang ia ucapkan membakar semangat rakyat pribumi, menyingkirkan segala keraguan, menghapus rasa takut, membuat kami berani menghadapi gempuran yang menanti.

Aku memegangi senapan Springfield ditangan. Tugasku menembaki musuh di kejauhan. Aku mahir dalam menembak runduk. Pimpinan menempatkanku di atas bangunan Administrasi milik pemerintahan Belanda.

Tubuhku terlindung di balik bata tebal dan gelapnya bayangan rongga atap. Matahari bersinar terang di luar sana, para musuh pasti akan sulit melihat keberadaanku.

Meski dengan semua perlindungan yang kupunya, tubuhku tetap saja tak mau berhenti gemetar. Tak ada yang bisa menjamin keselamatanku di peperangan ini. Mulut pun tiada henti meracau, berdoa pada sang kuasa. Kali ini aku benar-benar terjun kedalam suatu peperangan tanpa bisa melarikan diri.

Ultimatum berakhir hingga pukul sepuluh pagi. Suasana kota begitu sepi. Wanita dan anak-anak sudah diungsikan sejauh mungkin. Menyerahkan urusan pertumpahan darah pada lelaki. Baik tua maupun muda, tak ada yang sudi utuk beranjak sejengkal pun dari tanah kelahiran mereka.

Tiupan angin dingin serasa berbisik lewat celah bebatuan. Burung kenari bahkan berhenti bernyanyi, ikut diam dalam sebuah kebisuan massal.

Semua orang mempersiapkan diri menghadapi perang melawan kaum penjajah. Mereka tahu, ini akan menjadi perang besar yang tak akan mudah untuk dimenangkan.

Jarum pendek di jam tangan tepat menunjukkan ke angka sepuluh. Aku mematikan radio di sampingku, bunyi sirine terdengar mengaung di seluruh penjuru kota. Mataku terpejam erat, seraya menarik napas dalam gengaman senapan di tangan.

Ini dia...

Deru mesin pesawat terdengar keras sekali. 4 buah bomber melayang rendah, menjatuhkan sesuatu di kejauhan. Burung-burung beterbangan ketakutan. Keheningan itu berlanjut beberapa saat...

Disambut dengan bola api membumbung di kejauhan, gemuruh suara ledakan berlanjut dengan mementahnya jutaan puing bangunan ke segala arah. Empasan angin terasa sampai ke tempatku berlindung.

Bom tadi bahkan meledak tak jauh dari tempatku berada. Menciptakan dinding energi hingga mementahkan debu dan bebatuan.

Kutekan helm di kepala, semata agar tak jatuh tertiup angin ledakan.

Nyaris saja… sepertinya aku belum akan mati dalam waktu dekat.

Rentetan ledakan lainnya terdengar dari kejauhan, suaranya datang dari tembakan meriam raksasa. Armada sekutu yang mengelilingi pantai Surabaya menembakkan altileri ke seluruh perkotaan.

Suara angin melecit terdengar memekakkan telinga, terbentuk dari sebuah bongkahan bom yang melesat membelah udara. Rangkaian ledakkan lainnya tercipta di sekeliling kota. Tanah bergetar diikuti dengan suara gemuruh kehancuran. Tanganku bergetar hebat, aku hanya berharap tak ada satu pun dari bom itu yang mendarat di gedung tempatku berlindung.

Kota ini digempur dari darat, laut dan udara. Serangan yang luar biasa dahsyat, untuk para milisi yang hanya bermodalkan senapan tua hasil rampasan saja.

Letusan senjata terdengar tak jauh dariku. Aku berada beberapa kilometer dari pantai, pasukan sekutu mendatangi tempatku beberapa saat setelah gempuran altileri mulai mereda.

Aku menembak prajurit yang keluar dari sebuah tikungan. Sisa pasukan lainnya sontak mencari perlindungan di kanan kiri jalan. Mereka berusaha mencari keberadaanku yang terlindung sempurna di balik rongga atap. Daun pepohonan tinggi disamping bangunan menyulitkan pandanganku, tapi berkat itu pulalah mereka akan sulit mencari keberadaanku.

Jdaar..!!

Sniper lainnya mengikuti aksiku, total ada enam orang keseluruhan. Semuanya menembaki kumpulan pasukan yang sedang kuincar dari titik yang berbeda.

“Allahuakbaaar..!!!”

Puluhan pejuang melewati bangunan tempatku berlindung, dengan gagahnya mereka menantang kumpulan pasukan musuh tanpa mengenal rasa takut. Amunisi kecil yang mereka bawa, membuat tiap tembakan terasa berarti. Kondisi itu amat kontras dengan musuh yang tanpa ragu segera memamerkan rentetan senjata otomatis tak terkendali.

Tapi kami harus beradaptasi dan bertahan. Jumlah peluru yang terbatas membuat kami harus extra hati-hati dalam melepaskan tembakan. Tiap letupan senjata dari pejuang kami pasti akan selalu berbayang oleh bau kematian.

Prajurit sekutu lainnya berdatangan, sontak melepaskan tembakan dari berbagai sudut.

Banyak yang gugur, tapi aku berusaha menolong lewat kemampuan sniper yang aku miliki. Lengan yang bergetar hebat tak menjadi penghalang untuk menurunkan akurasi bidikanku.

Enam… Tujuh… Delapan… Sembilan… Aku terus menghitung jumlah prajurit yang berhasil kubunuh. Senapan Springfield yang kugenggam seolah bersatu dengan kedua lenganku, tak kubiarkan mereka datang mendekat. Akan kuhabisi mereka semua.

Namun aksiku terhenti ketika itu juga. Menatap tak percaya akan keberadaan sebongkah besi raksasa yang muncul di balik tikungan. Sebuah kendaraan berlapis baja dengan moncong ledak siap menembak, perisai logamnya tak bisa dihancurkan hanya dengan tembakan atau granat.

Pasukan di bawahku sontak mundur, modal nekat saja tak akan bisa untuk menghancurkan benda itu. Masing-masign berusaha menyelamatkan diri seraya melepaskan tembakan perlawanan. Pertempuran mulai berjalan tak imbang, ratusan semut tak akan sanggup untuk menjatuhkan seekor gajah. Mereka tak akan bisa menang melawan sebuah Tank hanya dengan bermodalkan senapan tua hasil rampasan.

Seorang komandan yang duduk di atas tank menatap lekat gedung tempatku bersembunyi. Lengannya mendadak bergerak menunjuk tepat menuju ke arahku.

Aku bersumpah, dadaku terasa sakit sekali oleh lonjakan degup jantung berisi adrenalin. Jelas sekali terlihat moncong tank itu perlahan bergerak membidikku. Entah berapa detik yang kupunya sebelum mereka melepaskan tembakan.

Dadaku mengembung mengambil napas. Alisku mengkerut keras, berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan diri. Kubidik orang di atas tank itu, berniat untuk membunuh sang komandan yang memimpin satuan kompi.

Kutarik pelatuk senjataku, melontarkan proyektil tembakan berisi timah panas hingga mendarat di kejauhan.

Kulihat peluruku berhasil mengoyak tepat di bagian lehernya. Darah memancar deras sedetik kemudian, di ikuti geliat tubuh sang komandan yang jatuh merenggang nyawa bak cacing kepanasan.

Aku sontak bergegas. Jantungku berdengup kencang, mengetahui bahwa moncong tank dikejauhan siap menembak tiap saat. Telingaku mendengung kencang, aku sontak melempar diriku ke arah tangga.


DUAAAAAARR..!!!!

Tembok tempatku berlindung hancur, melemparku lebih keras hingga jatuh satu lantai. Sekujur tubuhku terasa sakit sekali, tadi itu aku jatuh berguling terantuk-antuk sudut tajam anak tangga. Laju badanku lantas terhenti tatkala punggung ini menabrak dinding berisikan paku. Beberapa di antaranya menancap dibagian bahu.

“Aaaaaaaaaaaaa!” Mulutku membuka, meringis kesakitan. Aku lemas terduduk, merasakan aliran darah merembes dari balik baju.

Tak bisa begini, aku harus beranjak pergi. Musuh pasti akan datang ke tempat ini.

Sekuat tenaga aku berusaha bangkit untuk melepaskan diri dari paku besar. Pandanganku menoleh ke luar jendela.


DUAAAAR..!!!

Jendela itu hancur ditembak tank. Menghempas diriku lewat sapuan angin panasnya. Berkat itu pula aku berhasil terbebas dari paku.

Aku masih selamat. Aku harus menyelamatkan diri saat ini juga.

Adrenalin pun terpacu, dengup jantung berdetak liar tak terkendali. Pikiranku mulai panik, tapi aku berusaha untuk menenangkan diri. Tubuhku seolah mendapat kekuatan untuk bergerak, kakiku bergerak memaksakan diri untuk berlari ke sisi lain bangunan. Kakiku menjejak tinggi untuk keluar dengan melompati kaca. Tak kupedulikan serpihan tajam kaca yang jatuh mengiringi.

Namun sial sekali, tank lainnya muncul di tikungan itu. Kakiku sontak berganti haluan, berlari menuju gedung terdekat sambil dihujani timah panas dari senapan otomatis.

Aku mendobrak pintu untuk masuk ke dalam salah satu gedung.

Semoga mesin pembunuh itu tidak mengikutiku sampai di sini.

Namun itu hanyalah angan-angan kosong. Buktinya, tank itu kembali menembak hingga dinding di sampingku meledak keras. Tubuhku menghempas ke arah berlawanan, hingga terjerembab jatuh menabrak dinding lainnya. Aku selamat berkat pintu tebal yang melindungi dari percikan timah panas. Gigiku beradu keras, meringis menahan sakit.

Lemas sekali, tapi jika aku menyerah, aku jelas akan mati. Dentum ledakan silih bersahutan mengoyak bangunan tempatku berlindung. Tank tadi bergerak tak acuh, menembak membabi buta berusaha membunuhku. Mereka tak terima atas kematian sang komandan. Aku benar-benar sedang diburu.

Pandanganku menjadi buram, samar-samar kulihat keberadaan sosok gadis cantik dengan rambut lurus sebahu. Mata hijau terangnya mengingatkanku pada sosok yang kulihat sepuluh hari lalu. Dia adalah gadis yang kulihat diatas jembatan merah sewaktu terjadi insiden mallaby.

Kenapa dia bisa ada di sini?? Apa dia tertinggal dari proses evakuasi?

Aku berusaha mengangkat tanganku untuk menyuruhnya pergi. Tempat ini terlalu berbahaya baginya.

Namun gadis itu hanya membalas dengan sebuah tatapan bisu. Kakinya melangkah pelan beranjak memasuki sebuah lorong di sudut ruangan.

Aku berjalan tergopoh-gopoh, berusaha menyusul sosok misterius itu. Kehadirannya seolah menyihirku. Aku bahkan tidak mempedulikan tank di belakangku yang sedang memutar moncongnya, bersiap melumat tubuh lemas ini dengan satu tembakan mematikan.

Langkah gontaiku mengantarkan tubuh penuh luka ini berbelok ke dalam lorong sempit. Perlahan menuruni tangga demi mengikuti sosok tadi. Mataku hanya menangkap ayunan tangan yang menghilang di balik tikungan selanjutnya.

Dinding dibelakangku hancur dihempas tembakan lainnya. Telingaku berdengung keras, seluruh indra dalam tubuhku mendadak tumpul. Pandangan memburam, aku bahkan tak bisa merasakan kedua kakiku. Tubuhku terhempas jatuh, menyusuri tangga dengan sekujur tubuh sebagai alasnya. Pipi, pundak, tulang selangka, semuanya terbentur keras pada tiap sudut tajam sebuah anak tangga.

Pintu lorong bawah tanah itu terkubur, aku terjebak di dalamnya. Keadaan menjadi gelap gulita. Namun aku bisa menangkap cahaya redup dari sudut kegelapan.

Tempat itu adalah penjara bawah tanah, cahaya tadi datang dari salah satu sel tahanan. Aku hendak berdiri, namun kaki ini tak bisa di gerakkan. Tungkai lutut sebelah kanan nampak tertekuk ke arah sebaliknya.

Nyeri pun semakin menyengat sedetik kemudian. Perutku mengalami luka sobekan. Beberapa tulang rusukku mungkin patah. Tiap napas yang kutarik adalah sebuah perjuangan. Sengatan rasa sakit terasa begitu menyiksa.

Tapi aku tetap berjalan. Menyeret kaki kanan yang tak bisa digerakkan. Lenganku bertopang pada tembok dengan permukaan dinding rontok. Tanpa memedulikan ngilu yang mendera, aku berusaha mencari tahu apa yang ada di balik sel bercahaya.

Langkahku yang tergopoh-gopoh berhasil mengantar hingga tiba di tujuan. Tak pernah kurasakan kusadari betapa jauhnya jarak lima meter ini. Kesadaranku mulai menghilang secara perlahan, seiring mengucurnya darah tiada henti. Wajahku pasti terlihat pucah. Rasa kantuk pun menyerang, seolah hendak menghapus segala penderitaan yang sedang kurasakan.

Tapi aku tetap bertahan. Memaksakan kesadaran demi mengobati rasa keingin tahuan.

Tempat itu memiliki cahaya temaram. Berbagai macam layar setengah transparan menempel di dinding ruangan. Gadis berambut hitam sebahu tengah duduk mengotak-atik peralatan aneh yang terhubung pada layar. Dari sana aku bisa melihat jalannya pertempuran lewat berbagai sudut yang dirasa mustahil untuk dilakukan.

Aku hanya bisa terdiam, ribuan pertanyaan muncul tak terkendali.

“Apa yang kau lakukan..?? Siapa kau..??”

Mulutku berucap dengan sendirinya, tanpa melepaskan pandangan dari beberapa layar aneh yang menempel pada dinding kotor.

Ia menoleh, “Aku sedang merekam, namaku Sanelia.”

“Merekam..??”

Aku tidak tahu apa maksudnya. Apa dia merekam suara menggunakan kaset? tapi aku tidak melihat satu pun alat perekam disini.

“Kau tak akan mengerti, sebaiknya kuobati dulu lukamu itu...”

Jarinya menekan salah satu tombol aneh dalam gelang yang melingkar di lengan kanan. Ia mengarahkan telapak tangan pada tempat kosong, lalu mengeluarkan berkas cahaya sedetik kemudian.

Rangkaian kubus dan balok muncul dari cahaya berwarna hijau. Tak lama kemudian, rangkaian tersebut berubah menjadi berbagai benda solid berupa peralatan P3K dan obat-obatan.

Ia mengambil sebuah benda kecil seukuran jemari, lalu menempelkannya di leherku.

“Maaf, kita berpisah disini..” ucapnya dengan wajah datar.

Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, aku merasa sangat mengantuk. Mata ini perlahan terpejam, tidur pulas dalam mimpi tak lama kemudian.



*******************
 ~
Kelopak mataku mendadak terbuka lebar. Namun binar cahaya terasa begitu menyakitkan mata. Pupil mataku tanpa sengaja menatap langsung pada sang surya.

Tidurku terasa nikmat sekali. Aku bahkan lupa kalau saat ini aku sedang berada di tengah-tengah peperangan.

Segalanya terlihat berbalut cahaya putih, pandangan mataku masih buram, belum mampu menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Aku berusaha mengumpulkan kesadaran. Aku bahkan tidak tahu berapa lama aku tertidur. Mataku sontak melirik jam tangan, berusaha mengecek angka berisi nominal kalender. Dari sana aku tahu bahwa aku telah tidur lebih dari dua hari.

Aku mendapati diriku terbaring di barak penampungan. Orang-orang tengah meringis kesakitan. Ada yang lengannya putus, kehilangan kakinya, ada pula yang dibawa dengan kondisi perutnya terbuka lebar. Jelas sekali kulihat berbagai organ yang menjulur keluar. Aku bergidik ngeri tatkala menyadari bahwa sang korban masih dalam keadaan sadar dengan mata setengah terkatup.

Merasa ngeri, aku beranjak dari tempat itu. Berjalan menuju tempat senapan disimpan. Senjata-senjata itu berada dalam keadaan berlumuran darah, tanda kalau pemiliknya telah meninggal atau sedang terluka parah.

Aku bingung, karena seingatku badan ini juga rontok dikoyak peperangan. Secara ajaib tubuhku kini sembuh tanpa luka.

Pikiranku menghubungkan anomali dengan sosok bernama Sanelia. Dia pasti orang yang telah menyembuhkanku. Lalu entah bagaimana caranya, dia juga pasti sosok yang bertanggung jawab hingga membuatku berakhir di sini. Gadis itu memiliki segudang peralatan misterius.

Mungkin dia menguasai semacam ilmu sihir.

Aku mengambil sebuah senapan B.A.R dengan bayonet di ujungnya. Aku harus menemuinya kembali, penjara bawah tanah itu kemungkinan besar adalah tempat dia berlindung. Aku memantapkan diri hendak melangkahkan kaki.

Hingga akhirnya seseorang mencegahku.

“Rio..!” suara itu memanggil namaku.

Aku menoleh, menatap sosok jangkung berkacamata. Namanya Wiwi, sepupuku yang juga masih berdarah blasteran. Ia tampak seperti orang eropa dari pada orang pribumi. Model rambutnya di spike pendek. Jaket dengan kaos lusuh menempel di tubuh. Sepatu boats dan sabuk besi bertengger dengan kokoh.

“Mau kemana kau..?”

Aku menunjuk satu titik di peta kota Surabaya yang menempel di dinding kamp.


“Itu dekat pantai! Kau gila..? Area sana udah dikuasai pihak musuh.”

“Aku tahu..” jawabku tanpa mempedulikannya. Rasa penasaranku menutup semua logika yang ada. Aku yang dulu pengecut entah kenapa kini merasa bisa melakukan apapun. Aku bahkan tidak terlalu takut andai kematian datang menjemput sedetik kemudian.

“Memangnya ada apa di sana hingga kau bersikeras seperti ini?” ucapnya setengah bingung.

Aku tak menjawab, atau mungkin tak tahu bagaimana harus menjawab. Tak mungkin kujelaskan bahwa aku ingin menemui seseorang yang bisa menghilang, mengeluarkan berkas cahaya dari lengannya, serta menyembuhkan semua lukaku dalam sekejap. Wiwit tidak mungkin akan mempercayainya.

Walau entah kenapa aku agak kaget, menatap pantupan wajahku di kaca gedung sana. Kedua pipi ini terlihat memerah tanpa sebab.

Tak perlu kujelaskan pula akan reaksi Wiwit yang tersenyum dengan ekspresi seperti sedang meledek habis-habisan. Membuatku naik darah walau hanya memikirkannya.

Bayangkan! Seorang prajurit yang siap mati bisa-bisanya menunjukan raut wajah kasmaran menahan malu. Ini persis seperti anak gadis yang baru mendapatkan periode menstruasi pertama saja. Oh dan aku ini laki-laki normal, jadi wajah merona kemerahan ini amat sangat tak wajar. Euh, bisa saja ini efek karena terlalu lama terpapar terik matahari yang menyengat.

Wiwit menatapku sejenak, berdehem beberapa kali dengan batuk dibuat-buat. Lengannya lalu bergerak mengambil senapan M1 Garrand. Senapan semi automatis yang memiliki daya ledak lumayan besar.

“Aku ikut bung...”

“Jangan, terlalu berbahaya..” cegahku.

“Heh, ini perang.. emangnya kenapa kalo aku mati..?” balasnya tak acuh.

Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. “Terserah kau sajalah..”

Kami berdua sontak berlari, membaur di antara para pejuang lain. Terus maju melewati ratusan, bahkan ribuan mayat-mayat saudara seperjuangan yang teronggok kaku di pinggiran jalan.

Deru senapan mesin terdengar di kejauhan, truk dengan senapan mesin muncul dari balik tikungan gedung besar. Mobil lapis baja lainnya terlihat asyik membantai saudara seperjuangan. Mereka yang selamat menjadi panik berlarian kocar kacir mencari perlindungan.

Beberapa orang disampingku terkena hempasan peluru panas. Lengan dan kepala mereka beterbangan. Darah menciprat dimana-mana, jeritan kesakitan membahana mengisi jalannya peperangan.

Suara kapal terdengar mendekat, aku dan Wiwit secara insting meloncat menerobos sebuah jendela di bangunan sebelah kiri.

Beberapa pesawat menukik turun dengan moncong senjata terarah menuju tanah. Ribuan peluru dimuntahkan, mengoyak tubuh para pejuang dengan peluru berukuran besar. Mereka semua tewas seketika. Jalan raya yang barusan kulewati kini berubah menjadi ladang pembantaian.

Aku dan Wiwit perlahan menyusup ke dalam salah satu gedung hancur, kami sebisa mungkin menghindar dari tiap kontak bersenjata. Mengambil jalan-jalan tikus dan menyelinap masuk ke dalam pertahanan musuh.

Kami hampir tiba di tempat tujuan. Tinggal beberapa gedung lagi yang harus dilewati.

“It’s them..!!! Shoot those yellow monkey..!!!”

Keberadaanku terlihat oleh sekompi pasukan. Ratusan tembakan memberondong sedetik kemudian. Kaca pecah, dihempas peluru, letupan senapan ledakan granat tak henti-henti menghujani kami berdua.

Aku dan Wiwit mencari perlindungan dengan berbelok ke sebuah gang sempit. Dalam usaha untuk menyelamatkan diri, aku melepaskan dua buah granat, melilitnya dengan tali dan menempelnya di tengah-tengah gang sempit. Kami lanjut berlari hingga menuju penghujung gang.

Tiba di sana, kami berbalik dengan senapan membidik siap di tembak. Sebuah kain jemuran terlihat sempurna menutupi keberadaan kami, mereka tidak akan bisa melihat arah datangnya serangan dari mulut gang.

Aku merunduk dengan posisi lutut tertekuk, sementara Wiwit berdiri dengan posisi kaki membentuk kuda-kuda bela diri. Daya tolak balik senapan cukup untuk mendorong jatuh seseorang yang berdiri dengan kaki tertutup rapat. Jadi sudah semacam kewajiban bagi penempak untuk menjaga posisi tubuh agar tetap stabil. Kami berdua menahan napas, menyadari bahwa pasukan musuh mulai muncul di pertigaan kejauhan. Seraya berdoa dalam hati agar mereka tidak menyadari keberadaan kami.

Salah seorang di antara mereka menyenggol tali rapia yang aku ikatkan di bawah jalan. Granat yang kutempelkan melayang di udara, hening sejenak. Jelas sekali kulihat ekspresi pucat di tiap wajah tentara itu. Dilanjutkan dengan sebuah ledakan keras, melontarkan berbagai serpihan timah panas, mengoyak anggota tubuh mereka yang berada di sekitar.

Angin ledakan menghembus kain jemuran. Aku dan Wiwit sontak menekan pelatuk, mengosongkan selongsong magasin, memuntahkan sebanyak mungkin timah panas demi menjatuhkan tiap orang yang terlihat. Gang itu lumayan sempit, mereka tidak bisa lari kemanapun, kecuali menerima berondongan peluru dari senapan B.A.R dan M1 Garrand dari kami berdua.

Puas membantai musuh dalam satu trik sederhana, perjalanan kami berlanjut dengan mengambil jalan memutar menuju gedung tahanan tempat Sanelia berada.

Melewati beberapa gang, kami tiba di jalan utama. Mendapati puluhan mayat tergeletak dengan tubuh berlumuran darah. Beberapa lainnya terlihat menodongkan senjata mereka pada sesosok gadis berambut biru sebahu, terpojok tak berdaya. Dia terlihat meringis kesakitan seraya memegangi lengan kanan yang terluka. Kulihat logam perak di lengan kanan yang sakti mandraguna itu tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan dirinya. Yang benda itu lakukan hanyalah mengeluarkan cahaya berwarna merah berkedip-kedip tanpa suara.

“Sanelia..!”

Aku sontak mengarahkan senapanku. Menembaki orang-orang itu dalam waktu singkat.

“Kau..? Kenapa ada disini..?” wajahnya seolah tidak percaya melihat keberadaanku.

“Wow... Sekarang aku bisa melihat alasan kenapa kau ingin ke sini,” sindir Wiwit, ekspresinya itu seperti sebuah kepuasan dari dugaannya selama ini.

“Bukan waktunya untuk itu...”

Aku sontak menarik lengan Sanelia dan membawanya pergi dari tempat terbuka.

“Tunggu..! Mau dibawa kemana aku..!?”

“Kemana saja asal jangan disini.. disini tidak aman,” jawabku.

“Aku.. harus kembali,” potong Sanelia, berusaha menolak pertolonganku.

“Kemana..??” tanya Wiwit.

Ingin aku berucap bahwa ini bukanlah saat terbaik untuk beradu pendapat. Namun mulutku tak mampu berkata tatkala puluhan prajurit musuh muncul secara tiba-tiba.

Dalam satu gerakan refleks, aku sontak memposisikan tubuhku sebagai pelindung bagi Sanelia. Membentangkan kedua tanganku untuk menghalangi lajurnya peluru yang mereka tembakan.

Tubuh ini tersentak beberapa kali, dikoyak oleh deru timah panas yang merobek tiap organ tanpa terkendali.

Aku terbatuk mengeluarkan darah. Tubuhku mendadak terasa lemas tak bertenaga. Wiwit sontak membalas tembak sambil menyeret bahuku dari belakang.

“Tidak...”

Sanelia berubah panik, air mukanya yang senantiasa datar kini terlihat pucat melihat tubuhku ditembus peluru. Wiwit menyeretku memasuki sebuah aula hancur. Tak ada pintu keluar, kami semua terperangkap. Hanya bisa menunggu prajurit-prajurit itu untuk tiba di pintu, mereka tentu akan memberondong kami dengan timah panas.

Kedipan di gelang Sanelia berganti warna menjadi biru, entah apa maksudnya itu.

Raut wajah gadis itu sontak berubah. Ia sontak bangkit seraya berbalik dengan mengangkat kedua lengannya setinggi bahu. Ujung telapak tangannya terarah jitu pada pintu masuk aula. Pendaran cahaya biru terlihat muncul di kedua lengan, membentuk struktur sebuah senapan raksasa layaknya blueprint dari sebuah rancangan. Secercah sinar menyeruak dibarengi kemunculan dua buah benda mengkilat.

Senjata itu memiliki banyak sekali moncong peluru. Selongsong panjang itu mulai berputar kencang.

Prajurit musuh tiba disaat bersamaan. Sanelia menekan pelatuk dengan cepat. Menciptakan rentetan ledakan bising disertai muntahan peluru dalam jumlah besar. Tubuh mereka hancur berkeping-keping. Beberapa ada yang mencari perlindungan di balik sebuah tembok. Walau itu terlihat sia-sia saja. Karena begitu Sanelia mengarahkan ujung tembakan pada tembok itu, hancur lah seisi dinding beserta mereka yang berlindung di dalamnya.

Benda berwujud aneh itu masih berputar, namun tak ada satu pun peluru yang tersisa. Asap tipis menyembul dari tiap moncongnya.

“He.. hebat sekali..” aku berusaha berbicara diselingi batuk berdarah.

“Rio..” perhatian Wiwit kembali tertuju ke arahku, jemarinya menekan luka di dadaku, berusaha agar tak banyak darah yang keluar dari sana.

Sanelia berbalik perlahan, layaknya sihir yang biasa kubaca dalam sebuah dongeng. Senapan raksasa di kedua tangannya perlahan menghilang disapu angin. Wajahnya tersenyum sambil memijat salah satu tombol gelang yang menutupi lengan kanan.

Gelang itu membelah dua di bagian ujung, lalu berputar kencang diiringi pendaran sinar hijau.

Cahaya itu menyinari tubuhku, diikuti dengan kemunculan asap tipis dari permukaan dada. Tak lama kemudian, dari sana muncul berbagai logam kecil yang sebelumnya tertanam dalam tubuhku.

Pendarahanku secara ajaib terhenti begitu saja. Rasa sakit perlahan hilang dengan sendirinya. Namun, tubuhku masih sulit untuk digerakkan.

“Sihir..??” Wiwit menyelidik.

“Bukan..” Sanelia menggeleng. “Ini yang dinamakan teknologi.. Kelak ada masa dimana manusia bisa mencapai teknologi seperti ini.”

“Siapa kau..?” tanyaku dengan suara lemas.

Sanelia tidak menjawab, ia berjalan mundur seraya mengangkat lengan kanan sebatas telinga.

Angin berhembus kencang, sebuah pintu udara terbentuk di belakangnya. Bagaikan dinding transparan terbuat dari permukaan air dengan riak yang tenang. Aliran listrik memercik di sekeliling, bahkan terlihat tak berbahaya.

Tubuh Sanelia perlahan tersedot kedalamnya. Aku dan Wiwit hanya terperanggah melihat pemandangan yang sangat tidak lazim bagi kami berdua.

“Akan sangat bermasalah jika kau sampai mati... kakek..”

Wajahnya tersenyum memandangiku.



THE END...


31 Jan 2018 11:26
199
Rumah Sakit MH. Thamrin Purwakarta, Cibening, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: