1//
Ba'dah maghrib menjelang isyak,
Kereta berhenti di Stasiun. Di ujung peron seorang gadis berbaju biru dengan kerudung abu nampak gelisah menunggu seorang pemuda tanpa wujud tanpa raut.
Berulang kali ia sapu kacamatanya dengan katun agar pandang tak terhalang apapun, pemuda tak kunjung tampak.
Dalam benaknya tertanam rindu yang saban subuh disiram harap yang meluap-luap. Bunga merekah merah jambu, wanginya membius sungguh.
Jangan dulu dipetik, biar kupu-kupu hinggap tepat pada sukmaku.
2//
Fajar mengambang sejengkal di atas kepala, selepas Dhuha.
Seorang pemuda dengan kemeja hijau tergulung setengah lengan, menaiki gerbong kereta dengan senyum yang ia alamatkan pada angan.
Kupu-kupu yang ia besarkan dalam doanya telah sampai duluan, menyesap rindu pada wangi kalbu.
Tepat di samping jendela kereta ia duduk, setiap yang tertangkap mata terbias menjelma kata. Mencoba melipat jarak lewat gerimis yang turun menambah sedikit khawatir. "Aku tanpa wujud, tanpa raut, hanya sebutir doa yang tak pernah surut".
3//
Dengung kereta melengking panjang,
Sang gadis bangkit dari lamunan, sosok yang ditunggu nampak dari kejauhan.
Senyum manis terkembang, dibenahinya letak kacamata dengan pipi sedikit merona.
Pemuda gusar mencari sosok yang ia tanam pada lamunan. Namun tak lama kemudian terdengar namanya disuarakan.
Tepat berjarak satu langkah, dua insan saling berhadapan.
Saling berjabat rindu dengan senyum yang sedikit menggantung, disodorkannya isi kepala pada peluk yang teramat sejuk.
Kupu-kupu terbang dimana-mana, muncul dari sukma tanpa raga.
Ia membaur, menyatu, melebur.
Doa telah ditunaikan, ayat-ayat rindu ditasbihkan.
Mereka sepakat untuk tidak mengakhiri salam.
Dalam lamunan,
16 November 2019