oranment
play icon
Mangsa Adiluhung
Cerpen
Kutipan Cerpen Mangsa Adiluhung
Karya ikraamesta
Baca selengkapnya di Penakota.id

Ini adalah rumah yang ke-12, jadi Hairi langsung mendobraknya tanpa mengetuk pintu dulu. “Mana Muslihat?!” pertanyaannya penuh ancaman. Seorang nenek, seorang ibu, dan 3 anak kecil yang di dalam rumah membatu, tercekat oleh rasa kaget sebelum sempat memproses jawaban. Komandan mendekat lalu berdiri tegap menghalangi sinar mentari di ambang pintu sambil tersenyum simpul. Keabsenan seorang pria di gubuk yang mungil ini sudah cukup meyakinkannya bahwa Muslihat pastilah si penghuni yang kabur.


Maka dua kelompok pasukan segera dikerahkan. Satu untuk menginterogasi para penghuni rumah, satu lagi untuk menyisir perkampungan dekil ini sebelum Muslihat lolos ke hutan belantara. Setiap anggota pasukan berseragam itu memasang raut serius yang sama. Namun, belum juga beres interogasi dilakukan, belum lenyap pula gema derap sepatu bot yang bergegas pergi, Komandan langsung memerintahkan kepada yang masih tersisa untuk ikut bersamanya ke hutan.


“Datangkan satu kompi lagi,” titahnya kepada Sersan. “Kita babat habis sekalian!”


~


Dua tahun sudah Komandan memburu Muslihat. Berganti 3 Sersan, 2 angkatan pasukan, 5 anjing pelacak, dan 1 istri namun Muslihat masih melanglang, bebas berkeliaran dengan ide-idenya yang berbahaya, yang mampu merasuki orang-orang semudah virus. Tentu saja dua tahun adalah waktu yang lama. Makanya setiap kali ia menengok jarum detik di jam tangannya, ia diliputi keresahan kalau Muslihat sudah menghimpun pasukan.


Oleh karena itu mimpinya semalam tidak bisa dianggap enteng. Matahari menemuinya di kantor, bulat sempurna dan menyilaukan, lalu berujar dengan suara teramat berat, “Hari ini kau akan menangkap Muslihat!” Lalu pijaran api melalap segala benda di sekelilingnya, diikuti panas dahsyat yang menguapkan keringat. Lalu entah dari mana, angin topan datang dan menyapu sang surya ke awang-awang. Komandan selamat dari mati terpanggang tapi ada sebuah kobaran kecil yang sempat memekik tepat sebelum dihapus topan: “Atau Muslihat yang akan menangkapmu!”


Kalimat itulah yang membuatnya bangun. Daya kejutnya tak bisa ia terima. Sesuatu yang berat melesat bak elang ke ubun-ubunnya, entah itu rasa jengkel atau mungkin kepanikan, yang jelas hari ini ia dipenuhi determinasi, dan itu sangat terasa ketika ia sibuk menghisap persediaan rokoknya sementara anak-anak buahnya menyabet aneka flora hutan yang menghadang jalan.


“Sayang sekali kita tidak boleh membakar hutan,” ucap Sersan berusaha mencairkan ketegangan. Komandan hanya mengangguk, membenarkan ide tersebut yang sudah mengitari pikirannya dari berjam-jam yang lalu. Dengan sinisnya ia pun mengutuk semilir angin yang meraba daun telinganya.


~


Mobil yang dikemudikan Hairi tampak tergesa-gesa di jalan raya. Hairi sudah menabung keberanian dari sejak lama dan hari ini ia harus bisa menunaikannya. Sesekali matanya menuju spion, mengawasi Komandan yang sibuk memberi instruksi lewat telepon dari kursi belakang.


“Awasi jalanan. Kita harus tangkap orang yang berambut kribo,” telapak tangan Komandan menepuk bahu kiri Hairi. Nyaris tanpa aba-aba.


Hairi mengangguk patuh namun untuk yang kesekian kalinya ia mendebat keputusan Komandan itu di dalam benaknya. Betapa tidak, di mata Komandan, Muslihat selalu berganti bentuk dan wajah. Hanya namanya yang terus melekat. Dahulu, Hairi mengingat-ingat lagi, Muslihat adalah pria yang memakai kacamata. Namun sebulan berselang, Muslihat jadi pria yang berkepala plontos. Lalu Muslihat sempat berubah lagi jadi pria berjenggot panjang, jadi pria berambut merah, jadi pria berperut buncit, dan sebagainya.


Kendati instruksi Komandan selalu tegas: tangkap dan tahan ─ namun perintah tersebut belum pernah bisa dituntaskan. Suatu kali Hairi pernah membawa seorang pria plontos yang diborgol ke hadapan Komandan tetapi ia malah diperintahkan untuk melepasnya lagi beberapa lama kemudian. Selalu ada keragu-raguan yang tiba-tiba menghapus bara di bola mata Komandan bahwa Muslihat tidak mungkin tertangkap, bahwa orang yang ditangkap anak buahnya tidak mungkin Muslihat. Bersamaan dengan itu pula Komandan mengumandangkan perintah baru, “Muslihat tidak hanya botak. Cari dan tangkap siapapun yang botak dan berkacamata!” Dan selalu seperti itu selama 2 tahun ini. Selalu Komandan yang menentukan apa dan bagaimananya Muslihat tanpa jelas kenapanya.


Sekarang, setelah perburuan di hutan tadi berujung sia-sia, Hairi membawa mobil ke gedung konser untuk meringkus pria-pria kribo. Hairi setuju pasti ada satu-dua mahluk kribo di pertunjukan musik, bahkan akan sangat mudah membedakannya di antara ratusan pengunjung. Tapi sebuah kepastian tentang siapa itu Muslihat jadi perhatian terpentingnya. Bisa jadi pria kribo yang diinginkan Komandan itu adalah pria yang sedang duduk-duduk di bangku taman. Mungkin juga pria itu ada di dalam bus kota yang sedang melaju di samping mobil. Atau kalau tega, Hairi bisa saja menyerahkan tetangganya yang kebetulan kribo sejak lahir dan mengakui kepada Komandan kalau itu adalah Muslihat.


“Muslihat itu memang bunglon,” Hairi membuka pembicaraan, “pandai berganti rupa. Dasar manusia licik!”


“Makanya itu dia sangat berbahaya.”


“Saya tidak sabar ingin cepat-cepat menangkapnya.”


Komandan langsung mengatupkan bibirnya. Kedua matanya tajam menatap pantulan sorot naif Hairi pada kaca spion depan. Di dalam hatinya ada sesuatu yang menggelitik dan itu memunculkan sebentuk prasangka yang menggelisahkan. Sambil menarik punggungnya dari sandaran jok ia berkata, “Coba jelaskan, kenapa Muslihat harus ditangkap.”


Dalam sekejap nyali Hairi mengkerut, terhimpit oleh keyakinan bulat bahwa ia harus bisa menjawab dengan sangat tepat. Masalahnya adalah perburuan ini sudah berlangsung terlalu lama dan seiring waktu, visi dalam misi ini bercampur-baur dengan banyak persepi dan asumsi. Jika Hairi menanyakan hal serupa kepada sesama rekannya, tentu jawabannya akan sangat bervariasi. Beberapa tuduhan akan mengemuka semisal bagaimana Muslihat telah mencuri atau merampok atau menista atau meneror, dan beragam alasan kriminal lainnya sejauh apa yang dipercayai.


Lalu dengan sigapnya Hairi pun menjawab, “Muslihat harus ditangkap karena dia adalah penjahat, Pak.”


Raut wajah Komandan tampak tidak puas. Ia memandang keluar jendela untuk menahan kekecewaannya. “Seharusnya kamu lebih memikirkan calon anak-cucumu kelak,” katanya. “Apa jadinya mereka kalau Muslihat masih belum bisa dibungkam? Isi kepala dia akan dengan mudah menerobos masuk ke banyak kepala yang lain. Secepat kilat. Kita berhadapan dengan orang yang sanggup membelokkan iman hanya lewat satu kalimat saja. Satu kalimat! Bayangkan kalau nanti anakmu menganut cara hidup yang jauh berbeda denganmu. Hancurlah generasi penerus!”


Hairi hanya mengangguk. Hairi setengah mengerti. Terkubur sudah keberaniannya untuk menyampaikan motif pribadinya menangkap Muslihat. Ialah karena istrinya yang sedang hamil tua itu mengidam ingin melihat sosok asli Muslihat dari foto kamera handphone Hairi. Istrinya itu sudah bosan hanya mendengar nama Muslihat terus-menerus didengungkan suami tercintanya di rumah.


~


Tiga pria kribo siap digelandang ke markas untuk diperiksa lebih lanjut. Konser musik dibubarkan tanpa ada kerusuhan, bahkan persis sebelum acaranya dimulai, dan sekarang yang terlihat hanya tinggal beberapa pengunjung saja yang masih tersisa, menunggu giliran untuk diinterogasi.


Saat itu jam menunjuk pukul 07:45 malam, Komandan menyalakan rokok terakhirnya dengan dingin di dalam toilet. Wajah lelahnya menggantung dibungkus sunyi. Bertambah satu hari lagi di mana ia terpaksa harus pulang tanpa hasil menangkap Muslihat, begitu lubuk hatinya mengakui. Menghisap rokok jadi satu-satunya pelipur yang bisa ia nikmati sekarang.


Lima belas menit selanjutnya, Komandan keluar toilet secara nyaris bersamaan dengan seorang perempuan hamil dari pintu toilet wanita tepat di seberangnya. Awalnya Komandan bersikap ramah dengan setengah tersenyum seraya diam-diam menaksir usia kandungan di dalam perut itu. Cukup besar dan menggembung, kira-kira sekitar 7 atau 8 bulan. Kehadirannya di tempat ini, semalam ini, seorang diri, memunculkan kilatan spekulasi aneh di kepala Komandan yang segera berkembang jadi semacam penghakiman karena situasinya yang terasa tak wajar secara pribadi. Lalu, seolah-olah benang kusut di kepalanya tersambung oleh sehelai benang merah yang terang, dia buru-buru menelepon Sersan.


“Oh, rupanya dia sembunyi di dalam perut!” katanya dengan mata berkaca-kaca. “Kita akan menangkapnya dalam sebulan lagi!” Nada teriaknya teramat bahagia.



calendar
26 Oct 2018 09:15
view
449
wisataliterasi
Cimahi, Kota Cimahi, Jawa Barat
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig