Jakarta
Aku mulai dari Cengkareng, tol melintas di hadapan Latumenten, tapi aku mesti empat belas kilometer memutari Grogol, mereka bangun jalan layang meliuk-liuk menyiasati jumlah kendaraan. Kota ini memakan separuh waktu di jam tangan kulit imitasi, tapi mereka bersikeras itu kulit asli. Gambir pernah menyaksikan rapat raksasa berisi lima kalimat, tapi di lapangan seberang Gambir aku merasa kota ini telah mencuri bongkahan emas yang menyembunyikan bentuk tubuh wanita duduk di puncak lingga yoni itu.
Kota pincang disangga gedung. Orang-orang berebut liang satu kali dua meter di Karet, sedang tanah terban empat puluh sentimeter per tahun. Berdesakan menuju batas kota setiap senja raya untuk kembali sebelum matahari terbit, mereka seperti pecandu pelesiran yang menyimpan kekhawatiran di kantong belanjaan, menggantungkan nasib baik pada kartu kredit. Perempuan-perempuan membeli harga diri di toko pakaian, laki-laki menggantungkan kebahagiaan di selangkang, anak-anak tumbuh di luar tubuh.
Setiap malam kurasakan napas sesak dan kepala serasa dikapak, bangun pagi dengan hidung berdarah sepekat getah. Aku merasa harus menanggalkan badan di akhir pekan. Kota ini menuakan tubuhku lebih dari usia, membenamkanku di gerbong-gerbong kereta.
Jakarta, 2018
*Dimuat dalam Antologi Pemenang Bulan Bahasa UGM 2018