Barangkali kau hanya ingin sendiri, sepanjang hari. Membaca dirimu, berbicara dengan sosok lain dalam tubuhmu. Kau berupaya melakukan hal-hal yang kausuka seperti: melamunkan seekor trenggiling bermain di meja kerjamu, menggambar objek asing dengan gradasi warna aneh, atau menulis puisi dengan mengeksplorasi metafora yang ganjil—kegiatan tersebut kaujalani dengan perasaanmu tinggal separuhnya.
Pernah terlintas di benakmu suatu cara untuk mengatasi kesepian. Langkah pertama, tentu keluar dari kamar terkutuk yang sebetulnya sangat kaucintai. Kau mengemas beberapa potong celana dan pakaian di dalam tas cangklongmu. Kau memutuskan untuk melakukan sebuah perjalanan. Dari satu kota ke kota lain, dari satu suasana ke suasana yang berbeda. Tak ada tujuan pasti, ke mana dan melalui rute apa. Kau hanya ingin tubuhmu dibawa oleh apa saja yang memiliki roda.
Begitulah caramu merawat kesedihan. Sampai kau tiba di sebuah pelabuhan.
Tetapi, kau sedang tidak menangis, bukan? Tentu sangat buruk dan harus dihindari. Memang, sebuah kapal selam tidak mampu melacak radar kesedihanmu. Kau memilih laut yang dalam dan gelap. Sinyalmu tak terbaca. Kau pun tidak pernah diajarkan cara mengapung, demi menjemput sedikit cahaya. Kesedihan, ucapmu, telah memecah di antara terumbu dan lebih dulu habis menjadi santapan jutaan plankton.
***
Kau tidak pernah tahu bagaimana kondisi tubuhmu setelah mati. Mati, kau sudah mafhum, adalah proses menyakitkan yang pasti kaualami—setidaknya sekali, atau mungkin berulang kali.
Kau bisa saja mendapati tubuhmu di lautan setelah tiga hari. Mengambang dan bengkak. Kulitmu mulai mengelupas dan sekumpulan ikan menyerbumu bergantian. Mulut kecil mereka terlatih membereskan daging lembekmu. Usus, limpa, dan seisi perutmu memburai, menjadi pesta singkat bagi mereka tanpa pamrih kepada muslihat mata kail atau jaring perangkap. Tulang-tulangmu terpisah dan tak utuh, tenggelam menuju pasir tanpa terumbu di dasar laut yang gelap.
Apakah kau masih mengingat bagaimana sakitnya ketika berliter air asin memenuhi paru-parumu? Mengaisini seluruh rongga dan pori-porimu. Tanganmu berusaha menggapai sesuatu, mungkin sebuah pelampung atau papan kayu. Tetapi tak ada, kau tidak dapat meraih apa-apa selain ketakutan. Dan kau bergerak acak serampangan meminta pertolongan. Kepada apa dan siapa pun. Tidak ada lagi bahasa dan bunyi di sana. Tak seorang pun dapat mendengarmu, hanya hening panjang dan ruhmu yang tersapu angin.
Pusaramu laut dan nisanmu adalah kapal-kapal besar yang melintasinya. Tanpa peziarah.
***
Atau atas dalih penelitian dan praktikum anatomi. Tubuh malangmu bersedia menjadi kadaver dengan bau aneh bercampur formalin. Tubuh yang dingin dan kaku sebab disemayamkan berbulan-bulan di ruang pendingin. Kau terpaksa menerima prosedur itu, agar bakteri dan jamur tidak lekas merusakmu. Kau yang tidak memiliki identitas dan sebatang kara. Tak ada yang mengingatmu. Tiada seorang pun yang berupaya mencarimu di papan pengumuman atau berita orang hilang di surat kabar.
Sekelompok manusia, kau tak mengenalinya, masuk ke ruangan itu membawa peralatan yang beberapa di antaranya pernah kau lihat di film. Mereka mengidentifikasimu dalam sebuah map yang kau tak tahu apa isinya. Satu di antara mereka yang terlihat andal berucap, “kita bisa mulai sekarang”, sedangkan satu lainnya—ia terlihat seperti orang baru, menyaksikan dengan mata yang menyimpan kengerian.
Lalu, peristiwa itu pun dimulai. Kau memiliki pengalaman baru sebagai objek.
Kau rela dadamu dibelek mata pisau bedah. Juga kepala dan lehermu. Pisau itu mengirismu dengan cermat dan detail. Pelan dan dalam. Kau merasa sakit yang kedua kalinya pasca kematianmu. Ngilu yang hebat kaurasakan ketika paru-paru dan jantungmu diangkat, lalu diletakkan dengan agak serampangan di baskom kecil berbahan aluminium. Tidak ada setetes darah pun yang mengalir karena seluruh pembuluhmu tidak berfungsi. Dokter ahli forensik, dari balik maskernya, berkata kepada para mahasiswanya di ruang itu, “Mari kita tuntaskan kemalangan orang hilang ini dan kita rayakan ilmu pengetahuan.”
***
Tetapi, sungguh tidak kreatif jika kau mengakhiri hidup hanya dengan seutas tali.
Kau mempersiapkan semuanya dengan baik. Tali tambang yang kauikat simpul seukuran diameter kepalamu, akan menyusut dan menjerat ketika menyentuh lehermu. Kemudian, kau melontarkannya ke atas penyangga atap kamarmu yang melintang. Kamar yang sejak lama banyak melahirkan kecemasan itu memang tidak memiliki plafon. Kau mengunci kamar itu dengan pelan. Sebuah kursi—atau benda lain yang dapat kaunaiki, kau letakkan persis di bawah temali itu. Kau melakukan semua itu nyaris tanpa suara.
Kau sengaja tidak meninggalkan pesan apapun di secarik kertas, entah ucapan permintaan maaf atau semacamnya, sebagaimana peristiwa lain yang kerap kaujumpai di televisi dan media sosial belakangan ini. Terlalu klise, pikirmu. Dan tentu saja pesan semacam itu akan membuat orang-orang yang selama ini mungkin mencintaimu, menjadi semakin bersedih. Kau hanya sempat memposting sebuah gambar bunga kamboja di instastorimu, sehari sebelum kejadian itu, tetapi kau menghapusnya beberapa jam kemudian.
Ketika jasadmu ditemukan pertama kali oleh kucing kesayanganmu, ia nampak biasa saja dan tidak terkejut. Ia mengamatimu sebentar, mengeong tiga kali, lalu melengos menuju mangkuk yang berisi tuna kering. Baginya, tampilanmu sungguh tidak menarik dan merusak selera makannya. Dalam persaksiannya, kondisimu didapati dengan lidah menjulur, dengan wajah yang mulai membiru.
Setelah kau dikebumikan, sekali lagi, dengan pandangan sinis masyarakat di kampungmu yang moralis dan agamis. Kau merepotkan orang-orang di rumahmu dengan pergunjingan tetangga dari dapur sampai ke beranda. Cerita yang kemudian digunakan untuk menakuti anak-anak yang pulang bermain terlalu sore. Kamarmu menguarkan nuansa kelam. Lembab dan ganjil. Di malam tertentu, dari dalam kamarmu, acapkali terdengar suara sosok menangis dan tertawa. Mulanya, mereka merasa takut dan meminta juru doa untuk mengusir arwahmu. Tetapi, semua itu nihil belaka, hingga akhirnya mereka pun terbiasa.
***
Bagaimana kalau kau meminum racun serangga saja? Atau menyiram tubuhmu dengan spiritus lalu menyulutnya dengan korek api? Atau melompat dari sebuah menara pemancar sinyal provider? Atau, agar lebih punya nilai estetik, kau melakukan semacam harakiri versimu sendiri—bukankah kematian juga semacam perayaan seremonial? Kau punya banyak pilihan dan kau bisa segera memutuskan.
***
Dan begitulah. Kau sama sekali tak pernah menyesali keputusan ini. Kau sudah memikirkannya sejak lama, tepatnya sejak satu peristiwa sangat menyedihkan yang mengubah watak dan hidupmu. Kau merasa kehilangan diri. Kau merasa terasing dan mulai menutup diri dari interaksi dengan teman-teman baikmu.
Kau mulai banyak berdebat dan bertengkar dengan dirimu sendiri, mempertanyakan banyak hal: Bagaimana bentuk udara yang kau hirup selama ini? Bagaimana rasa sakit ketika nyawamu bertengger di tenggorokan? dan pertanyaan lain yang tak kau ketahui jawabannya. Kau berusaha terlihat baik-baik saja. Kau memang pelakon yang ulung; sudah banyak topeng yang kaukenakan. Tetapi, aku tahu—karena aku adalah dirimu, kepalamu penuh dan sesak. Begitu riuh.
Rencana ini sudah matang. Tidak ada yang tahu.
Hanya tinggal satu langkah lagi. Ya, sebentar lagi.
***
Kau tiba di stasiun itu lebih pagi. Pondok Ranji, stasiun itu, tentu akan sangat fasih mengisahkan ulang kronologimu. Kau sengaja mengincar jam keberangkatan pertama saat penumpang lain masih menahan setengah kantuk. Jam menunjukkan pukul 04.25. Sebuah bangku memanjang, kosong dan dingin, lalu kau mengistirahatkan rasa letihmu sejenak di sana. Menanti kereta itu sesaat melaju tepat di hadapanmu.
Kau tidak menangis—sama sekali tidak. Sebab, menurutmu itu memang tidak perlu. Kau justru tak berhenti tersenyum, seperti membayangkan sesuatu yang melegakan. Kau begitu tenang menikmati menit terakhirmu. Tak ada gerak-gerik mencurigakan darimu yang bisa saja membuat beberapa penjaga stasiun was-was dan sigap menghalangi keinginanmu.
Kereta itu pun tiba. Embus yang ditinggalkannya menyentuh kulitmu. Dengan lekas dan terukur, kau melemparkan tubuhmu ke arah rel. Beberapa penumpang di peron itu tidak benar-benar melihat kejadian ringkas tersebut. Hantaman awal kepala kereta membuatmu sedikit linu sebelum pembuluh darahmu pecah dan berceceran.
Kau tidak bisa menolak tubuhmu terseret cukup jauh, sebelum masinis menyadari dan menarik tuas rem dalam kondisi darurat. Kau membiarkan tubuhmu tergilas roda besinya, tulang yang remuk, kepala yang pecah, dan memisahkan anggota lain badanmu menjadi potongan-potongan kecil.
(Cerpen ini pernah dimuat di Radar Banyuwangi, Sabtu, 3 Februari 2024.)
Ciputat, 7 Januari 2024