(1)
Pada subuh yang lengang,
di ujung ranjang,
ia menuju tidur yang lebih lelap dari biasanya,
bersama nyanyian panjang ninabobo.
Semalam
tak kudengar suara kepak gagak yang mengakak,
yang ada hanya suara embusan angin
dan purnama yang purna.
Sejak tadi pagi,
di depan rumahnya,
dipasang tanda berkabung,
karangan bunga berdukacita,
dan bendera kuning,
seakan sebagai tanda bahwa ia tak akan pernah kembali.
Siang mengantarnya pulang,
daun-daun berayun,
sebagian lain yang kering
mulai berguguran.
(2)
Yang paling bengis dari kehilangan adalah kesendirian.
Ketika ruang kian sepi,
dan dada mulai gemuruh,
saat seluruh isi kepala memutar kembali kenangan berkesan dan seluruh memori,
lalu otak memunculkan kata-kata jika dan seandainya.
❝Merataplah seperti selayaknya seorang yang kehilangan❞ kata seorang perangkai kata ulung.
Dan kini kematian kian akrab,
seakan kawan setia yang berjalan di belakang
dengan rupa tak kasatmata,
entah jauh ataupun dekat,
terkadang takut menjadikan itu momok kehidupan.
Nistanya menjadi dewasa
adalah kita mesti belajar berdamai dengan keadaan,
tak bisa merengek seperti bocah
dan berharap esok akan lupa
dengan apa yang ditangisinya.
(3)
Pada akhirnya,
kita semua memang akan kembali,
dan berpulang kepada Tuhan.
Selepas pemakaman,
pelayat pulang sembari membawa kantong,
berisi bermacam kepingan dongeng dalam mimpi
yang sudah diwasiatkan jauh-jauh hari.
Ya, di ruang ini,
aku abadikan ia selamanya,
bersama dongeng-dongeng syahdu
yang dilafazkan dengan khidmat.
Dan rapalan doa
menjadi halaman yang tenteram untuk mengenang.
(Jakarta, 2020)
–Kinandita; 2712.
@indahdfy
#Kisah2712