pernah dipublikasikan di: Qureta.com
David Stillman dan anaknya, Jonah Stillman, membutuhkan 1 buku berisi kurang lebih 260 halaman untuk menjelaskan generasi Z.
Dalam buku yang diberi judul Gen Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace, pakar generasi David Stillman menguraikan dengan apik sifat-sifat utama Gen Z yang akan mengubah ruang kerja yang monoton menjadi lebih asyik.
Bergaya lugas, santai, dan penuh canda khas percakapan sehari-hari, tentu saja—buku yang saya kira diperuntukan bagi pemilik-pemilik perusahaan—dapat dinikmati dengan baik oleh masyarakat yang lahir di antara tahun 1995 sampai 2012, yaitu Gen Z seperti saya ini.
David dan Jonah pandai menyentuh hati saya dan mungkin pembaca yang lain.
Kabar baik, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja. Ya, meskipun agak terlambat setahun sejak diterbitkan pertama kali pada tahun 2017.
Saya sendiri berharap para calon atasan saya segera membaca buku ini. Namun, saya rasa beberapa di antara mereka terlalu sibuk untuk jalan-jalan ke toko buku dan menyelesaikan seluruh halaman untuk sekadar mencari tahu seperti apa calon karyawannya nanti.
Untuk itu, tanpa mengurangi rasa hormat pada The Stillman, saya akan menulis versi pendek buku mereka. Saya tidak ingin menunggu lebih lama, karena sebentar lagi saya akan mendapatkan gelar sarjana dan calon atasan saya belum mempersiapkan apa pun.
Inilah 7 sifat utama Gen Z untuk para calon atasan saya yang sedang sibuk:
Figital
Generasi Z tidak hanya dibesarkan oleh ayah dan ibu biologis, tapi ada pengasuh tambahan yang datang tanpa diundang, yaitu gawai canggih tanpa kelamin. Kami bertumbuh dengannya dan telah menjadi bagian dari kehidupan kami.
Ketika memasuki usia kerja, dengan mudah kami bisa mengakses informasi mengenai kantor yang kami incar, bahkan bentuk gedungnya, dan dengan mudah mendapatkan alamat kantor dengan GPS.
Bukan berarti generasi sebelum kami tidak menggunakannya. Hanya saja, kami tidak memikirkan cara lain selain GPS, ide yang memang sudah ada di kepala kami.
Baca Juga: Gen Z dan Akses Mereka ke Media Massa
Dan, bagi kami, memasukkan barang belanjaan di keranjang digital dan keranjang fisik tidak ada bedanya. Menulis CV dan permohonan lamaran pekerjaan dengan pena tidak lebih menyenangkan ketimbang mengetiknya dan mendesain CV kami semenarik mungkin agar dibaca.
Kondisi tanpa membedakan fisik dan digital, meski cenderung melihat pada efensiensi digital, kami sebut Figital.
Hiper-Kustomisasi
Generasi kami sangat gemar menunjukkan betapa berbedanya kita di antara teman-teman, baik segenerasi maupun yang tidak.
Sebagian besar kami tidak mengincar jabatan tinggi. Kami lebih suka pekerjaan yang lebih spesifik sesuai hobi. Untuk itulah kami cenderung menonjolkan keahlian-keahlian unik yang dianggap penting bagi sebuah perusahaan.
Dengan mengetahui hal ini, bukankah calon atasan saya akan mengurai jenis-jenis pekerjaan yang dibutuhkan perusahaannya menjadi lebih spesifik?
Mungkin dengan begitu kantor akan dipenuhi pekerja-pekerja kece dan kreatif yang siap membuat perusahaan yang ditempatinya menjadi inovatif dan lebih produktif. Hal yang terpenting bagi kami adalah sikap adil dari calon pemimpin kami.
Realistis
Akses ke segala penjuru dunia telah kami dapatkan sejak kami masih sangat muda. Saya sendiri telah melihat berbagai video es mencair di Kutub Utara, anak-anak kelaparan akibat krisis ekonomi karena perang, dan gundukan sampah di Samudra Pasifik. Itu membuat saya sadar kalau kita sedang hidup di dunia yang rapuh.
Kekhwatiran terdekat kami adalah kondisi keuangan. Untuk itu, mempersiapkan karier sedini mungkin menjadi sangat penting.
Jika generasi sebelumnya akan mati-matian mendapatkan gelar sarjana mereka kemudian melangkah ke dunia kerja, maka dengan percaya diri generasi kami mau bekerja di tempat yang membutuhkan keahlian kami tanpa ijazah.
Dengan kesadaran ini, kami pun segera belajar keahlian apa pun secara mandiri lalu mempromosikan diri kami di berbagai situs rekrutmen. Tentu saja calon atasan saya menginginkan pekerja yang banyak pengalaman praktis daripada sekadar ijazah sarjana, bukan?
Weconomist
Ekonomi berbagi sangat identik dengan generasi Z. Kami senang berbagi dengan rekan kerja dalam hal apa pun.
Mentalitas weconomist dalam dunia kerja akan terlihat seperti ini, misalnya:
Baca Juga: Mitos Kuliah untuk Bekerja
Seorang rekan kerja membutuhkan 3 jenis desain poster publikasi dengan waktu yang cepat; dan saya memiliki keterampilan itu, sementara dia tidak. Di waktu yang sama, saya harus menulis laporan yang harus dikerjakan saat itu juga.
Rekan kerja saya tadi sangat lihai dan teliti dalam menulis, sementara saya tidak Untuk hasil terbaik, bagaimana kalau kita kerja sama?
Gen Z benar-benar memakai konsep “kita” dalam kondisi seperti itu. Tidak perlu khawatir soal tugas utama, Gen Z adalah pekerja multitasking sekaligus berempati. Aneh, bukan?
Tapi itulah Gen Z. Weconomist berlaku tidak hanya pada sesama rekan kantor, tapi dapat membuka peluang kerja sama dengan perusahaan yang lain selama itu praktis, efisien, dan juga ekonomis.
FOMO (Fear of Missing Out)
Seperti yang disebutkan di bagian Figital, Gen Z adalah penduduk asli digital atau digital native.
Kami tahu, dunia terus berjalan dengan tempo yang cepat dengan arus informasi yang memabukkan. Kekhawatiran akan ketertinggalan membuat kami terus-menerus memperbarui feed media sosial.
Lebih dari rasa ketertinggalan, ada beberapa dampak buruk yang diakibatkan: mudah stres, susah tidur, mood-swing, dan berbagai masalah kesehatan lainnya. Namun, nyatanya FOMO dialami oleh semua generasi yang hidup hari ini.
Meski begitu, sebuah studi yang dilakukan oleh David dan Jonah menemukan, 75% Gen Z tertarik dengan situasi yang memberikan mereka peran ganda dalam suatu pekerjaan. Ketika Gen Z diberi peluang untuk melakukan banyak hal, ia mungkin tidak akan merasa melewatkan sesuatu. Ini menguntungkan bagi perusahaan sekaligus membantu para karyawan.
Sebenarnya, mengerjakan banyak hal adalah cara kami mengatasi FOMO. Selama ada variasi dan ide-ide baru kami diterima, kata “bosan” tidak akan keluar dari mulut kami.
DIY (Do-it-yourself)
Orangtua kami, Generasi X, mengajarkan kami untuk tidak mengandalkan orang lain. Mereka terus memberi dukungan ketika kami memutuskan untuk belajar hal-hal baru pada siapa saja, termasuk YouTube.
Ini menjadikan kami terbiasa memecahkan segalanya sendiri, kecuali dalam kondisi tertentu yang mengharuskan kami untuk mengaktifkan mode Weconomist.
Dalam dunia pekerjaan, seorang Gen Z memungkinkan melakukan pekerjaan yang tidak terencana sebelumnya, dan berinisiatif mengerjakan tugas yang tidak mampu diselesaikan rekan kerja—selama tidak merugikan.
Terpacu
Sifat terpacu datang dari pengalaman kami sendiri melihat bagaimana orang-orang di sekitar berjuang dengan keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan ditambah dengan ketakutan akan ketertinggalan.
Baca Juga: Preferensi dalam Bekerja
Harus diakui bahwa Gen Z sangatlah kompetitif, jadi akan ada usaha ekstra yang diberikan. Meski orangtua Gen X kami mengajarkan seni untuk menang, tapi kami adalah tipe generasi yang siap menerima kekalahan sebagai pelajaran hidup.
Meski terlihat hebat, dunia kerja adalah pengalaman pertama bagi sebagian Gen Z. Bimbingan atasan dan rekan kerja sangatlah dibutuhkan.
Seperti yang dijelaskan tadi, Gen Z yang mandiri dan cenderung bergerak cepat, risiko kesalahan kritis mungkin agak sulit dihindari. Sikap cukup terbuka yang dimiliki Gen Z tidak akan mempersulit siapa pun.
***
Sangat menyenangkan, bukan, melihat akan ada generasi baru berkarakter unik, multitasking, mandiri, anti-nganggur, inovatif, dan bergairah yang sebentar lagi memenuhi ruang kerja? Saya rasa ruang perusahaan perlu memikirkan apa yang perlu dipersiapkan untuk menjemput gerombolan Gen Z ini.
Dan ada baiknya para calon atasan tidak perlu kaget dengan friend requestdi akun Facebook, peningkatan followers di Instagram atau Twitter, juga chat-chat sok asyik dari nomor misterius di WhatsApp; kemungkinan itu adalah kami yang mau bekerja di perusahaan kalian.