SESALKU
Cerpen
Kutipan Cerpen SESALKU
Karya ininina
Baca selengkapnya di Penakota.id

Aku harus terbiasa, akan segala kalimat ejekan dan hinaan dari orang-orang sekitarku, lebih kepada mereka yang ku anggap keluarga. Terkadang, hinaan dari keluarga lebih besar dampaknya, jika dibanding dengan mereka yang hanyalah sekedar teman. Ya, entah kenapa itu terasa sangat menyakitkan, atau mungkin memang hanya aku saja yang terlalu bawa perasaan.

Aku, Xera Putri Wirawan, satu-satunya anak perempuan dikeluarga Wirawan, seorang pebisnis hebat di kota ini, bahkan mungkin juga di kota-kota lainnya. Usiaku 18 tahun, dan aku memiliki saudara kembar, Xero Putra Wirawan. Pak Wirawan itu punya empat anak, tiga laki-laki dan satu perempuan, dan akulah satu-satunya anak perempuan yang paling bungsu. Meskipun ada bang Xero yang lahirnya beda tujuh menit denganku, tetap saja dia tidak dianggap sebagai anak bungsu.

Harusnya aku bangga, dengan status sebagai anak bungsu perempuan dari keluarga kaya. Seperti bayangan dan kata orang-orang, jika anak bungsu pasti akan sangat dimanja, terlebih jika anak tersebut perempuan dan berasal dari keluarga kaya. Nyatanya, itu tidak berlaku untukku. Dimanja dan diberi perhatian lebih dibanding saudara yang lain, bagiku itu hanyalah sebuah formalitas, agar tidak dicap sebagai keluarga yang tidak harmonis.


-Pada suatu malam-


“Bang Vin, nanti malam ada acara ya di rumahnya Om Hendra?” Tanyaku pada suatu malam.

“Iya, ada. Kenapa?” Jawab bang Vin dengan suara berat dan wajah dinginnya.

Aku terdiam sesaat, memikirkan apakah aku harus mengutarakan rasa penasaranku. Pada akhirnya, aku memang harus menuntaskan rasa penasaran itu.

“Ya gak apa-apa, Bang. Tapi, kok Xera gak dikasih tahu ya kalau ada acara di rumah Om Hendra. Xera malah tahunya dari Bi Yuyun tadi siang.” Jelasku dengan sedikit takut, sebab aku sedang berhadapan dengan Abang Kevin, kakak tertuaku yang memiliki sifat tegas dan dispilin. Kalau kataku, Bang Kevin itu cerminan Ayah, dari wajah, postur tubuh, hingga sifat dan sikapnya, semuanya terlihat sama.

“Terus, sekarang masalahnya di mana, Ra?” Bang Kevin menatapku heran.

“Ya gak ada masalah sih Bang sebenarnya. Tapi, Xera ngerasa akhir-akhir ini kalian semua gak pernah beritahu atau ajak Xera kalau semisal ada acara keluarga gitu.”

“Baguslah kalau kamu sadar. Udah ya, gak usah aneh-aneh. Mending sekarang kamu tidur, ini udah malam.” Perintah Bang Kevin dan setelahnya pergi entah ke mana. Aku menghela nafas, tidak ada jawaban pasti yang ku dapat akan keanehan yang terjadi.

Ya, cukup aneh untukku.

Sebenarnya ini adalah masalah untukku, ini sudah keempat kalinya aku tidak diberitahu apa-apa jika ada acara atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keluarga besar, terutama keluarga besar Ayah. Awalnya, aku pikir mungkin mereka tidak ingin mengganggu waktu belajarku, berhubung akhir-akhir ini aku memang tengah sibuk mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan SMA, dan tentu saja persiapan untuk mendaftar kuliah. Tapi, aneh saja, Kak Xero selalu diberitahu dan diajak, padahal aku dan kak Xero sama-sama berada di kelas tiga SMA.

Tidak hanya itu saja, sikap keluargaku juga mulai aneh terhadapku. Terkadang aku berpikir, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi, semakin kesini sikap mereka semakin tidak bisa kuterima dengan akal sehat.

Saat ini, aku biarkan saja dulu semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Aku akan berpura-pura tidak ada yang aneh dengan segala sikap mereka yang mulai berubah dan segala perubahan-perubahan lainnya. Aku takut, sesuatu yang tragis akan terjadi. Ini hanyalah ketakutanku belaka, semoga tidak akan terjadi apa-apa. Semoga saja.

 

Hingga pada suatu pagi, aku terlambat bangun pagi itu, karena malamnya aku begadang menyelesaikan berkas pendaftaran kuliah. Untungnya, itu adalah hari minggu, jadi aku sedikit merasa santai. Tepat pukul 9 pagi, aku keluar kamar dan turun ke ruang makan untuk sarapan. Sarapan yang kesiangan. Saat melewati ruang tengah, terdengar suara canda tawa yang kuyakini itu dari abang-abangku dan kak Xero. Tapi, ada suara tawa perempuan juga disela-sela renyahnya canda tawa itu. Saat kulihat dari pintu penghubung antara dapur dan ruang tengah, ternyata suara tawa itu milik Sinta. Sinta adalah sepupuku. Papa Sinta, Om Hendra, adalah adik dari Ayah, dan Sinta adalah anak tunggal Om Hendra.

Tidak ingin terlalu lama melihat asyiknya kebersamaan mereka, aku lantas berjalan kembali menuju ruang makan. Saat sampai di ruang makan, aku lantas mengambil duduk di kursi meja makan dan langsung mengambil makanan yang sudah tersedia di meja. Saat tengah asyik menikmati sarapan yang sedikit terlambat, aku dikagetkan dengan lontaran kalimat mengejek yang kutahu itu dari Bang Rey, kakak ku yang kedua.

“Wow, ratu kita ternyata udah bangun nih.” Ejek Bang Rey.

Aku masih melanjutkan mengunyah makanan saat mendengar ejekan Bang Rey tersebut. aku lebih peduli akan perutku yang sudah sejak kemarin belum ku isi dengan makanan berat.

“Enak ya makanannya, sampai gak ngegubris abang sendiri.” Lanjut Bang Vin.

“Padahal yang masak Sinta loh, tapi kok dia yang nikmati makanannya duluan.” Itu suara Ayah.

Aku lantas menghentikan kegiatan makan dan menoleh ke samping, Ayah berdiri tidak jauh sambil menaruh kedua tangannya ke dalam saku. Terlihat dingin dan sedikit memancarkan aura menyeramkan.

‘Ada apa lagi sekarang?’ batinku

“Udah selesai makannya, nak? Jangan lupa abis itu cuci piring sendiri. Bi Yuyun lagi sibuk nyiapin kamar buat Sinta.” ujar Ayah sembari memaksa senyum tulus.

‘Apa?! Kamar untuk Sinta. Apa dia akan menginap di sini?’ ucapku dalam hati.

Jika iya, kenapa harus disediain kamar khusus segala. Biasanya juga dia tidur bareng aku kalau semisal lagi pengen nginap di sini.

“I-iya, yah. Abis makan, Xera bakal cuci kok piringnya.” ucapku takut.

Setelahnya, mereka meninggalkanku sendiri dengan pikiran yang berkecamuk. Ini sudah sangat keterlaluan. Selama ini, aku tidak pernah diperlakukan seperti itu. Aku mengingat-ingat di mana kesalahanku hingga perlahan sikap mereka bisa seperti itu.

Aku lantas menyudahi makanku yang masih tersisa banyak, aku sudah tidak berselera untuk makan. Tidak lupa, aku juga langsung mencuci piring, sesuai perintah Ayah tadi. Kemudian, setelah kejadian singkat itu, aku kembali berkurung di kamar, melanjutkan pekerjaan yang belum selesai.

Saat malam hari, aku bersiap ingin pergi mengurus berkas perkuliahan bersama teman-temanku. Saat melewati ruang tengah, Ayah memanggilku dengan raut wajah menahan marah.

“Xera, kamu mau ke mana-mana malam-malam begini?” Tanya Ayah.

“Aku mau ngurus berkas perkuliahan sama temen-temen, yah.” Jawabku tenang.

Ayah berdiri dari duduknya, dan menghampiriku.

“Kamu tahu kan ini sudah malam. Kamu sadar gak kalau kamu itu perempuan, tahu kan aturan kalau perempuan gak boleh keluar malam-malam. Mau jadi apa kamu, hah!!” Ayah membentakku dengan nada suara yang tinggi.

Aku kaget tentu saja. Ini pertama kalinya Ayah membentakku seperti itu. Aku masih terdiam, tanganku mulai gemetar.

“Ini sudah keberapa kalinya kamu keluar malam terus pulang telat. Mau jadi perempuan nakal kamu.”

“Gak Ayah, Xera memang akhir-akhir ini sering keluar malam. Tapi, Xera pergi karena memang mau ngurus berkas masuk kuliah.” Jelasku pada Ayah.

“Alasan aja kamu. Coba kamu seperti Sinta, tidak pernah keluar malam, apalagi sampai pulang telat. Kalaupun pergi dia selalu ada yang antar. Sedangkan kamu?”

Sudah aku duga, adanya Sinta di rumah ini dalam beberapa minggu ini, sudah membuat perlahan sikap keluargaku mulai aneh, tidak seperti keluargaku yang hangat seperti dulu, meskipun kekangan dan sikap tegas masih ada. Tapi, ini sudah sangat keterlaluan. Aku sering dibanding-bandingkan dengan Sinta, yang notabennya adalah sepupuku sendiri, dan umur kami juga sama.

Abang-abangku dan Kak Xero juga selalu memperlakukanku berbeda dengan Sinta, seakan-akan Sinta adalah permata berharga di rumah ini. Jadi, sebenarnya yang menjadi anak perempuan di keluarga ini adalah aku atau Sinta?

Sinta memang sekarang tinggal di rumah kami, semenjak keluarganya memutuskan pindah ke Australia karena lebih ingin melanjutkan bisnis di sana. Alasan Sinta tidak ingin ikut keluarganya adalah karena dia takut akan merasa sepi di sana, karena jelas tidak ada keluarga lain yang tinggal di Australia. Sehingga, karena itulah Om Hendra memutuskan untuk menitip Sinta di keluargaku. Tapi, kedatangannya di rumah ini, menjadikan rumah yang dulunya aku anggap sebagai surga, perlahan mulai menjelma menjadi neraka.

“Kalau aku suka keluar malam emangnya kenapa, yah? Aku keluar juga ada tujuannya, bukan untuk main-main. Dan jangan banding-bandingkan Aku sama Sinta.” ucapku bergetar. Mataku memanas, air mata seakan ingin keluar jika tidak aku tahan.

“Berani kamu sekarang sama Ayah!. Udah mulai gak sopan kamu sama orangtua!!” Amarah Ayah semakin meninggi. Kemudian setelah itu

Plak

Tamparan dari Ayah untuk pertama kalinya semenjak aku hadir sebagai anak perempuan di keluarga ini. Rasa sakit dan panas menjalar dipipi kiriku, aku meringis memegang pipiku pelan dan aku yakin sekarang pipiku sudah memerah. Kemudian, aku memberanikan diri menatap mata Ayah dengan mata yang sudah basah air mata entah sejak kapan.

“A-ayah benci ya sama Xera. Sekarang, Ayah boleh pukul Xera sampai rasa kesal Ayah mereda.” Suruhku pada Ayah. Aku kemudian mengalihkan pandangan ke orang-orang yang sejak tadi sudah berdiri di belakang Ayah. Menyaksikan bagaimana aku bertengkar dengan Ayah tanpa ada yang mau menghentikan. Orang-orang itu adalah Abang Kevin, Abang Reyzan, Kak Xero, dan tentu saja ratu baru di rumah ini, Sinta.

Aku mengulas senyum ke arah mereka dengan air mata yang masih tidak ingin berhenti untuk menangis.

“Ayah, Bang Vin, Bang Rey, Kak Xero, dan Sinta, Xera mau minta maaf ya kalau selama ini Xera belum bisa menjadi anak, adik, dan saudara perempuan yang baik untuk kalian. Maaf, Xera juga masih belum bisa seperti apa yang kalian harapkan, Xera gak bisa masak, nyuci baju, rawat diri, berhias, dan masih banyak lagi yang Xera belum bisa. Xera gak minta pujian dari kalian kalau semisal Xera sudah bisa dengan semua hal itu. Xera hanya ingin kalian bahagia dan selalu sehat. Xera harap, Ayah dan saudara-sudara Xera ini tidak menyesal akan semua yang sudah pernah kalian lakukan untuk Xera.” Tangisku pecah seketika. Aku lantas berlari ke kamar meninggalkan mereka dengan masih berderai air mata. Saat sampai kamar, aku bergegas mengemas beberapa baju dan barang-barang penting untuk kumasukkan dalam ransel. Aku akan pergi dari rumah ini. sudah cukup segala perlakuan mereka yang tidak bisa menghargai diriku.

Aku berlari meninggalkan kamarku menuju garasi, tanpa memperdulikan panggilan mereka terhadapku. Yang aku pikirkan saat ini hanyalah pergi dari rumah ini. Aku lantas memakai helm, menyalakan motor dan melajukannya meninggalkan rumah. Kulajukan motorku dengan kecepatan tinggi, tanpa menghiraukan ramainya jalanan saat ini. Fokusku melayang ke mana-mana, ku rasakan sesak yang amat sangat di dada.

Kemudian, tanpa aku sadari, sebuah mobil melaju cukup kencang dari arah berlawanan tepat berada beberapa meter di depanku. Tanpa bisa kuhindari, mobil itu menghantam motorku dari arah depan. Seketika, aku merasa seperti melayang dan bebas, kemudian terjatuh begitu kencangnya. Dengan kesadaran yang tersisa, aku membuka mata perlahan, darah segar mengalir dari kepalaku membasahi aspal yang berada di bawahku, rasa sakit menjalar disekujur tubuhku. Hingga dengan perlahan, aku mulai kehilangan kesadaranku.


-Tiga tahun kemudian-


Pagi yang cerah ini, aku bersiap untuk menyiapkan sarapan di dapur. Sudah setahun ini, aku mulai menekuni tugasku sebagai seorang istri. Ya, aku sudah menikah dengan seorang pria berhati malaikat yang sudah menolongku saat tragedi kecelakaan naas menimpaku tiga tahun silam. Pria tersebut adalah mas Rendra, seseorang yang sudah menyelamatkanku dan kini menjadi suamiku.

Setelah kecelakaan itu, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan niatku untuk kuliah. Saat aku dinyatakan sembuh total, aku hidup seorang diri dengan bekerja disalah satu warung makan sederhana. Awalnya, aku dikasih amplop berisi uang oleh salah satu suster yang merawatku selama aku sakit, saat ku tanya siapa yang memberikan, suster tersebut hanya diam dan pergi begitu saja. Sebenarnya, aku tidak ingin memakai uang tersebut, tapi karena aku sadar tidak memiliki apa-apa saat itu, akhirnya aku memakainya untuk mencari tempat tinggal, dan sisanya masih aku simpan hingga aku mendapatkan pekerjaan.

Saat aku bekerja di salah satu warung, mas Rendra datang sebagai pelanggan waktu itu. Namun, tidak hanya sekali itu saja mas Rendra datang. Hampir tiap hari mas Rendra selalu makan siang di warung tempatku bekerja. Kemudian, suatu hari, mas Rendra mengajakku ngobrol dan memberitahu semuanya, bahwa selama ini dialah yang sudah menolong diriku dan memberikanku uang. Mas Rendra sempat kehilangan diriku, namun mas Rendra yakin aku tidak akan bisa pergi jauh dari kota ini. Dan pada akhirnya, aku semakin dekat dengan mas Rendra, aku merasa mulai nyaman akan kehadirannya dalam hidupku.

Hingga, mas Rendra meminta agar aku menjadi istrinya. Kaget tentu saja, tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Aku sudah menceritakan semua permasalahanku dengan keluarga dan mas Rendra memberikanku dukungan dan perlindungan layaknya seorang suami kepada istri.

“Sayang, jadi kan nanti kita ke makam ibu kamu?” tanya mas Rendra saat aku tengah menata sarapan di meja akan.

“Iya mas, jadi kok. Ayok mas sarapan dulu.” Ajakku kepada mas Rendra.

Sehabis sarapan, kami langsung bergegas pergi ke pemakaman umum, mengunjungi tempat peristirahatan terakhir ibuku. Ya, ibuku telah tiada sejak aku masih SMP, satu fakta yang belum pernah aku ceritakan.

“Assalamu’alaikum Ibu, ini Xera bu sama mas Rendra, suami Xera. Maaf ya bu, Xera baru datang sekarang.” Aku berbicara pada makam Ibu, berharap semoga Ibu mendengarku dari atas sana.

“Assalamu’alaikum bu, ini saya Rendra, suami Xera. Maaf baru bisa sekarang mengunjungi ibu, sekalian saya mau minta restu ibu. InsyaAllah, saya akan selalu menjaga dan melindungi Xera. Dia berhak untuk bahagia.”

Aku memandang nisan ibu lalu kemudian menoleh ke arah mas Rendra, aku tersenyum manis ke arahnya.

“Terimakasih mas, sudah mau menjaga dan melindungi Xera.”

“Iya Ra, mas senang kalau kamu bahagia.” ucap mas Rendra tulus. “Yasudah, ayo kita pulang Ra, matahari udah mulai tinggi.” Ajak mas Rendra kemudian.

Saat hendak melangkah pergi, langkah kami terhenti melihat segerombolan orang yang memakai pakaian hitam sedang mengantar jenazah ke pamakaman ini. kemudian, tanpa sengaja, aku bersitatap dengan seorang pria. Pria itu adalah Abang Reyzan. Aku terkejut, kemudian memalingkan wajah ke arah lain, menghindar agar tidak ada yang melihatku. Tapi, sia-sia aku berusaha menyembunyikan wajahku, karena suara panggilan menghampiri runguku.

“Ra, Xera.” Suara Bang Reyzan.

Aku kemudian menoleh ke sumber suara, Abang Reyzan berada beberapa langkah di depanku dan mas Rendra. Aku semakin mengeratkan remasan pada lengan baju mas Rendra.

“Ra, Ayah meninggal.” Aku kaget akan apa yang dikatakan oleh Abang Reyzan barusan. Masih tidak percaya akan ucapan Abang Reyzan, aku lantas melangkah tergesa menghampiri segerombolan orang tadi. Aku melihat pigura foto Ayah dipegang oleh Kak Xero, aku terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Aku masih tidak percaya Ayah pergi secepat itu sebelum aku meminta maaf pada Ayah.

“A-ayah! Ayah, Ayah! Jangan pergi, Ayah!.” Jeritku dibarengi dengan tangisan.

“Xera, ikhlas, ra. Ayahmu sudah tenang di sana.” Tenang mas Rendra memelukku.

Aku menyesal, menyesal pergi meninggalkan rumah malam itu. Seharusnya aku tidak menyulut amarah Ayah. Aku tahu, beliau pasti takut karena aku satu-satunya perempuan di rumah semenjak kepergian Ibu. Sekarang aku menyesal.

‘Maaf Ayah, maafkan Xera. Xera ikhlas, yah. Ayah yang tenang di sana.’ Batinku mengusap nisan Ayah.

 

TAMAT


18 Jun 2021 20:29
60
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: