Kau tahu nona.
Aku sering kali bermimpi tentangmu
Kau juga tak jemu bertamu.
Mimpi-mimpi itu seperti sebuah pertunjukkan theater.
Kau adalah pemeran utamanya.
Mimpi-mimpi itu berwarna-warni.
Hitam, biru gelap, hijau terang dan warna-warna lain.
Kau seringkali tersenyum
Sesekali senyummu terbungkus rapi dengan alamatku di atasnya.
Pada malam-malam yang sepi
Pada malam-malam yang penuh elegi.
Aku hanya penonton malang yang duduk di kursi belakang, yang tepuk tangannya bahkan tak kau dengar.
Lalu, setelah tragedimu selesai.
Setelah kau membungkuk dengan anggun menutup pertunjukan indah itu.
Aku akan mencintaimu.
Setelah tirai diturunkan dan semua lampu dimatikan.
Aku akan mencintaimu.
Setelah semua penonton pulang.
Lalu kau bergegas menyapa malam.
Di pelukan hangat yang bukan pelukku.
Mengecup sepasang bibir yang bukan bibirku.
Aku akan tetap mencintaimu.
Hingga aku duduk membeku dan membusuk sendiri dengan sebuah tepuk tangan yang sunyi.
Hingga darahku mengalir pada kamar-kamar dengan luka-luka yang menganga.
Hingga malam membunuhku sepenuhnya dan jasadku tergeletak di tengah panggung sembari mencumbu segala kenang yang tersisa, bekas bibirmu yang masih terasa.
Aku masih mencintaimu.