Senja dan Sebuah Dendam
Cerpen
Kutipan Cerpen Senja dan Sebuah Dendam
Karya ivanasha
Baca selengkapnya di Penakota.id
Aku menatap langit di atas kepala sedang berwarna ungu. Kukira, ia habis bertengkar dengan waktu hingga lebam seluruh wajahnya. Aku pun mengingat seorang lelaki yang setengah mati kucintai, dengan bertanya kepada langit, apakah warna yang disebut senja ini sampai juga di langitnya yang terpaut begitu jauh dari tempatku berdiri?

Aku tidak bisa menebak rupanya, bagaimana kepala lelaki itu berisi. Apakah serumit pikiranku yang dipenuhi tatapan mata dan senyumannya, atau bahkan memang tidak pernah serumit itu. Sementara, puisi senja pernah kukirimkan kepadanya—sepenuh keberanian. Tetapi sampai sekarang pun ia tidak menjawab apa yang kutuliskan kepadanya. Dan aku lagi-lagi berusaha mencari jawaban dengan bertanya-tanya sendiri sambil menatap langit jauh-jauh. Meski aku tahu tidak ada gunanya, setidaknya aku harus berusaha untuk menghibur rasa gelisahku. Sebab langit selalu mampu menampung apa pun yang orang-orang tak bisa menampungnya. Seperti pertanyaanku. Seperti perasaanku.

Sore sebentar lagi pergi dan aku masih perlu mengeluarkan banyak pertanyaan. Kakiku rasanya ingin melangkah dan lalu berlari tak berarah. Mungkin aku hanya butuh udara lebih banyak untuk masuk ke rongga paru-paru, sebab merindukannya, telah membuat dadaku menyesak. Sementara aku tidak rela malam datang terlalu cepat dan menutup mataku dengan gelap. Sebab kusadari ketika ia tiada di sini, aku bukan siapa-siapa, dan aku tidak memiliki cahaya apa-apa. Aku hanyalah setitik yang hilang karena memikirkan dirinya dengan teramat buta.

Sebuah pohon berdiri menjulang di hadapanku. Dahan-dahannya meninggi dan rindang, dipenuhi daun yang hijau dan banyak juga yang kuning—mungkin pertanda gantinya musim. Sepenuh harap kubayangkan daun-daunnya itu ialah rambutnya yang melingkar-lingkar, dan tubuh pohon itu adalah tubuhnya yang selalu ingin kupeluk. Aku menganggap langit sedang menghadiahkanku keteduhan untuk mengingat lelaki itu dengan lebih lapang lagi. Mungkin juga sebenarnya langit sedang mencari dirinya, tetapi tidak menemukannya, sebab aku tahu ia sedang bersembunyi di balik kesunyiannya.

Tiba-tiba angin yang sangat kencang datang dan membuat seluruh pertanyaanku berantakan, terserak di jalan raya yang sepi. Aku bahkan enggan memungut kata-katanya yang terurai untuk kembali ke dalam kepalaku, sebab tiba-tiba aku merasa lelah untuk mencoba. Kemudian aku menyadari bahwa pertanyaan tidaklah ada arti jika yang ditanya tidak pernah menjawab. Kemudian kuketahui kalau rasa penasaranku ini sudah tersesat terlalu jauh. Aku tidak lagi mencari cara untuk lepas dari kesendirian, karena aku telah mencuri jawaban dengan berkhayal dalam-dalam. Sekali lagi kusadari angin beserta gunanya yang tiba-tiba; aku tidak perlu bertanya, jika bisa kurangkai kenyataannya.

Sebab kata-kata bisa kumiliki seluruhnya dan seutuhnya, aku bisa menulis apa saja dan menjadikan diriku sendiri tuhan di dalamnya. Aku bisa membuat seseorang bersedih membawa isi kepalanya yang sangat berat karena ia tidak bisa berhenti bertanya dan merasa penasaran. Aku bisa juga membunuhnya karena itu membuat ia ingin menyerah. Aku akan membuat seolah-olah ia sedang terjebak senja yang panjang usia, hingga ia mencari keberadaan waktu di lain hari. Aku tahu aku bisa merangkai kenyataan apa saja.

Maka aku menulis, seperti sedang membalas dendam.




***




Pagi ini saya terbangun menemukan langit berwarna ungu. Saya kira, ada yang mengganti tirai saya tiba-tiba. Tetapi mana mungkin begitu. Saya selalu berangkat tidur sendiri, pula terbangun disapa sepi. Tidak mungkin ada orang lain berjingkat malam-malam hanya untuk mengganti tirai kamar saya ini. Tidak mungkin itu. Tetapi tetap saja saya memikirkan kemungkinan lainnya, sembari mengumpulkan nyawa dan berusaha bangkit dari kasur.

Saya menduga-duga akan ada berita apa hari ini. Langit pagi dengan warna keungu-unguan. Tidak terlalu mendung, cenderung teduh, seperti sesaat ketika hujan akan datang. Mungkin langit menjadi seperti ini karena hujan akan datang. Mungkin datangnya akan sangat deras dan orang-orang bisa tersapu ke entah. Kalau begitu, mungkin saya perlu mengunci diri di dalam kamar. Atau sebaiknya saya pergi mencari dataran tinggi?

Tubuh ini berat sekali rasanya untuk bangun dan mencari tahu. Seperti ada kesedihan yang murung. Saya tidak tahu apakah kemalasan sedang bertamu, atau saya terlalu nyaman memendam diri di atas kasur. Tapi yang saya pikirkan sekarang hanya tentang pagi ini yang asing. Saya ingin sekali segera berangkat mencari tahu dan mendapatkan jawaban. Tiba-tiba saya khawatir kalau-kalau saya akan telat menyelamatkan diri saya sendiri. Duh!

Saya mencoba sekali lagi bertanya kepada pikiran. Mungkinkah subuh tadi ada hujan deras jatuh dari langit dan menyisakan pelangi yang begitu terang dan panjang. Siluet yang biasa samar kini menjadi fenomenal. Orang-orang sehabis beribadah di masjid berbondong-bondong mengambil kameranya di rumah dan memotret angkasa yang semakin siang waktu menjulang, semakin terang pelanginya benderang. Kemudian mereka memanggil tetangganya yang lain untuk ikut menikmati apa yang mereka sebut-sebut sebagai keajaiban dari Tuhan.

"Lihatlah ke luar! Pagi melukis pelangi yang aneh! Terang sekali!"

"Maha Kuasa Tuhan!"

"Potret yang banyak! Abadikan keajaiban usia kita sebagai kaum yang beruntung!"

Tiba-tiba saya keluar dari labirin pikiran saya sendiri. Dunia masih terlalu lengang untuk suatu keributan. Dari balik jendela yang bercahaya ungu itu sama sekali tidak terdengar suara seorang pun. Saya justru mendengar napas saya sendiri semakin menderu, yang saya yakin dipicu oleh rasa resah dan penasaran saya di pagi yang asing ini. Bagaimana tidak, pagi ini langit berwarna ungu terang! Meski sebagian hati saya seperti mengatakan kalau cahaya di balik jendela itu sungguh indah, tetapi kepala saya tetap menganggapnya sebagai hal yang ganjil.

Setelah beberapa saat, saya akhirnya mengalahkan beban kemalasan yang sempat menimpa tubuh. Saya perlahan bangkit dari kasur dan berjalan ke arah jendela untuk menyibak tirai di hadapan cahaya ungu itu. Kepala saya mulai lelah dituding pertanyaan dan rasa penasaran yang tidak sudah-sudah. Saya menjulurkan tangan dan meraih kain tirai untuk kemudian menyibaknya ke samping. Kemudian, saya tidak menyangka apa yang saya lihat di hadapan mata saya.

Cahaya ungu itu benar-benar terlukis di langit di atas bumi ini. Garis melintang berwarna merah dan oranye tergores di sana-sini, menghiasi keseluruhan warna ungu tersebut. Saya tahu, ini adalah langit senja. Saya pernah melihatnya seperti sewaktu saya kecil dan masih senang bermain-main di lapangan dekat rumah sebelum maghrib. Tetapi ini senja yang berbeda. Senja ini begitu indah. Sangat indah hingga sepasang mata saya enggan memercayainya. Sinarnya memantul di balik awan teduh, memanjakan mata saya dengan pemandangan yang mencuri napas saya perlahan-lahan.

Tetapi, senja apakah yang datang di pagi hari? Ataukah saya masih bermimpi dan belum terbangun dari tidur saya? Saya mencubit lengan sendiri. Nyeri. Ini bukan mimpi. Tetapi lantas ini apa?

Langit yang begitu indah masih terlukis di atas sana, sementara saya masih terkagum-kagum dan bertanya-tanya. Keindahan ini sepantasnya saya nikmati ketika tidak terasa asing. Keindahan ini sepantasnya terpapar ketika sore hendak menjemput malam. Keindahan ini begitu ganjil, tetapi saya tetap mencintainya. Seakan sengaja membuat saya jatuh di dalam cantiknya yang begitu janggal. Terpesona sejadi-jadi, tanpa berhati-hati.

Di dalam ruang kamar saya tergantung sebuah jam dinding. Saya ingat, saya belum melihatnya sejak saya membuka mata pagi ini. Sekejap kupalingkan kepala dari senja ke arah jarum jam yang berdetak. Jam setengah tujuh pagi. Saya kemudian merasa semakin aneh. Waktu seperti terbalik! Seharusnya senja belum datang sampai setidaknya sebelas jam lagi. Seharusnya tidak ada warna ungu, merah, dan oranye yang bersinar di langit pagi hari. Seharusnya tidak ada. Ini tidak nyata!

Sudah, nikmati saja senja itu. Sebut saja hadiah dariku.

Suara apa barusan? Saya seperti mendengar dengung lembut yang mampu dipahami. Seperti kalimat, tetapi tak bersuara. Sementara tidak ada siapa-siapa di dalam kamar ini.

Tahukah kau seorang perempuan yang pernah mencintaimu dengan terlalu, tetapi tak pula kaulihat sedikit pun perasaannya?

Saya semakin bingung. Tetapi kalimat-kalimat ini terdengar semakin jelas. Saya seperti mendengarnya dari dalam kepala. Saya mencoba mencerna arti dari kata-katanya. Tiba-tiba, saya pun teringat tentang seorang perempuan yang pernah mengirimkan saya sepotong puisi. Di dalam puisi itu, ia mengemas senja begitu teduh dengan bait-baitnya. Tetapi betapa pun indah kata-katanya, tak satu huruf pun mampu membuatku membalas puisinya. Saya tidak bisa menulis puisi untuk seseorang yang tidak saya cintai.

Aku tahu. Maka kini aku menuliskanmu.

Tiba-tiba air mata saya jatuh. Ada kesedihan yang membalut hangat dan perlahan memanas di dalam dada ini. Saya ingat ia pernah menangis di dalam sepotong puisi. Puisi itu mencintai saya, tetapi saya memutuskan untuk tidak memedulikannya. Saya kira, sebaiknya saya tidak memberikannya harapan sama sekali jika saya tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Tetapi kali ini, bagaimana ia bisa masuk ke dalam kepala saya? Air mata saya jatuh semakin basah. Saya sungguh tidak tahu kenapa saya menangis. Saya tidak seharusnya sedang bersedih. Ada masalah lain yang harus saya pikirkan jalan keluarnya. Senja di hadapan jendela semakin ungu, saya harus menemukan pagi yang sebenarnya. Segera.

Ya, kau memang tidak pernah membalas sepatah kata pun yang telah aku tangiskan untukmu. Puisi itu, adalah puisi yang kutulis dengan senja agar indah dan cantik rupanya; agar bisa menarik perhatianmu meski hanya sedetik saja. Tetapi, kau tetap menjadi seseorang yang dingin tanpa hati. Kaupatahkan kecintaanku dengan kejamnya sikapmu. Kau bahkan tak menjawab sama sekali setelah kaubaca puisi yang kutangiskan itu. Tanpa kau sadari, kau telah melukai hati yang sungguh, mencintaimu dengan terlalu.

Saya berusaha tidak mendengar kalimat-kalimat yang berdengung di kepala saya kian tajam. Meski akhirnya saya sadari itu tidak mungkin. Sebab semakin saya berusaha, semakin dalam saya terjebak ke dalam arti yang terlalu saya pahami.

Saya mengenal perempuan itu. Saya pernah membaca senja yang ia kirimkan. Begitu indah, begitu cantik. Senja yang kemudian saya sadari terbaca seperti senja yang sedang saya lihat ini. Senja itu cinta di hatinya. Cinta yang berwarna ungu dengan semburat merah dan oranye. Cinta yang begitu tabah menahan lebam, sebab tak sekali pun saya menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Lalu mata saya kembali meneteskan airnya semakin deras. Kini saya sadari mengapa saya bersedih. Saya merasakan apa yang perempuan itu rasakan.

Saya menangis seakan air mata yang pernah dijatuhkan perempuan itu mengalir di mata saya. Jatuhnya kemudian membasahi dada saya yang kian sesak. Mungkinkah ini sebentuk duka yang pernah perempuan itu rasakan? Saya semakin terisak. Sambil menatap senja, saya mencoba untuk mengenang kata-kata di dalam puisi yang pernah perempuan itu kirimkan. Tetapi sayang sekali, sungguh, sungguh sayang sekali—saya menyesal—tak satu kata pun mampu saya ulangi bunyinya. Saya tidak mengingat puisi perempuan itu, sama sekali. Tetapi kesedihannya semakin tajam menusuk kekhawatiran saya. Saya menangis sejadi-jadi.

Lihatlah senja di hadapanmu, kekasih. Langit yang kuhadiahkan kepada kau, agar mampu kaurasakan duka yang palung, yang bersandar lama di penantianku. Bukankah cahayanya begitu indah? Membuatmu menyempatkan sedikit waktumu untuk mengenang seseorang. Sementara kenangan diciptakan untuk mengulang sesuatu yang tak pernah kembali, baik dengan kebahagiaan atau dengan penyesalan. Dan kuhadiahkan pagi ini, senja yang begitu silau, yang membuatmu bertanya-tanya dan merasa takut karena tak kau ketahui jawaban dari pertanyaanmu.

Begitulah aku. Perempuan yang pernah tenggelam di dalam senjanya sendiri. Tak lama setelah kau berlalu, aku menunggu jawaban darimu. Tetapi kutemukan diriku tidak akan pernah mendapatkan jawaban. Dan aku bertambah resah setiap hari. Seiring senja berganti senja, aku terbakar oleh rasa penasaranku sendiri. Aku mengutukmu sebab cinta tak lain hanyalah sebagian dari benci yang belum tumbuh. Jika dulu pernah kutuliskan kepadamu sebuah senja, kini aku menuliskanmu kepada senja. Aku ingin kau terbunuh seperti aku membunuh perasaanku sendiri. Dan kau tahu, kematian setitik perasaan tidaklah pernah menjadi hal yang mudah. Dan itu semua kutanggung sendirian.

Saya tertegun dan menahan napas. Sesak semakin membakar di dalam dada saya. Kemudian, meskipun saya tahu saya akan terdengar gila, akhirnya saya bersuara dan bertanya, seakan sedang berbicara dengan diri saya sendiri.

"Apa yang kaulakukan kepadaku? Apa yang kaulakukan kepada langit?"

Lalu saya menunggu jawaban.

Saya menunggu

dan menunggu.




***




Hari demi hari berlalu, senja itu masih menyala-nyala di hadapan jendela saya. Ungunya masih sama, seperti awal saya melihatnya di suatu pagi. Cahaya yang indah itu kini seperti penjara bagiku. Saya tidak pernah menemukan jawaban dari pertanyaan yang saya katakan dulu. Saya mulai kehilangan waras. Mungkinkah pada waktu itu saya memang sudah gila, sebab berbicara dengan diri saya sendiri?

Saya tidak bisa keluar dari keindahan senja ini. Dan kesedihan seperti membangun rumah mewah di dalam dada saya, hingga sesak tak pernah hilang, dan air mata saya seperti telah kering.

Saya tidak pernah mendapatkan jawaban. Senja masih begitu nyala di hadapan jendela kamar saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengambil tali dan mengaitkannya di kayu yang melentang di atap kamar saya. Saya menaiki sebuah meja dan melilitkan tali itu di leher saya. Lalu perlahan tapi pasti, saya tinggalkan pijakan kaki saya dari atas meja tersebut.


Kemudian, saya merasakan air mata terakhir perempuan itu jatuh di pipi saya.
15 Oct 2018 03:08
190
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: