Ujung jariku gemetar menyambut tetesan hujan yang jatuh. Butir-butir airnya seperti deras jarum yang menusuk setiap inci tubuhku. Jalanan terasa dingin. Bibirku mulai tak sanggup mengeluarkan suara apa pun. Samar-sama kurasakan ada hangat di pipiku mengalir tanpa berhenti. Tidak lagi kutahu apa itu nyeri. Yang kutahu, kini aku benar-benar sendiri..
**
“Aku tahu ya kamu banyak bohongnya sama aku!!!’ suaranya meninggi. Kupingku sampai sakit. Jarinya masih semangat menunjuk-nunjuk wajahku. Aku bisa apa?
“Mau sampai kapan kamu tutupin semuanya? Jelas kemarin aku lihat kamu jalan sama dia!”
“Perempuan nggak bener kayak kamu pantesnya di jalanan!”
“TAI!!!”
Mulutku masih terkunci. Jujur aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. Dadaku gemetar karena debar jantungku yang tidak karuan. Aku tidak bisa mengelak lagi setiap perkataannya, karena dia pun tidak percaya dengan alasan yang kuberikan. Kemarin aku hanya menemani sahabatku mencarikan kado untuk kekasihnya. Aku memang salah, aku tidak memberitahu rencana ini kepadanya. Ya, aku salah. Bisa apa lagi aku..
Tetesan hujan mulai jatuh satu per satu membasahi kaca jendela mobil yang kami kendarai. Teriakan demi teriakan yang keluar dari mulutnya masih menusuk telingaku tanpa ampun. Dan, ya, aku masih saja terdiam dan hanya bisa berdebar ketakutan. Aku lebih takut jika aku menjawab, maka urusan ini akan semakin panjang. Aku hapal betul bagaimana sikapnya. Tujuh tahun kebersamaan kami telah mengajariku banyak hal tentangnya.
Amarahnya. Kasarnya. Suaranya. Tangannya.
BUGKKK!
Ah.. Bukan lagi tamparan..
Perih dan hangat terasa di ujung bibirku. Aku yakin ada darah yang keluar dari sana. Dia memang paling tahu caranya membagi fokus untuk menyiksaku sambil tetap menyetir dan memperhatikan jalanan. Bahkan mungkin dia hanya menonjok seadanya, tanpa peduli bagian tubuhku mana yang mengenai kepalan tangannya. Dia hebat sekali. Dadaku semakin nyeri menjadi-jadi. Bisa apa lagi aku..
“Aku turun di sini.”
Seperti kerasukan setan mulutku bersuara sendiri. Atau mungkin sebagian besar diriku mulai kehilangan waras dan sengaja menantangnya sekalian. Ada kepasrahan yang menjalar di dalam hatiku lantaran menyaksikannya memutar setir mobil ke kiri secara mendadak dan menginjak rem tiba-tiba. Tubuhku bergerak tak menentu dihalang sabuk pengaman. Sedikit mual dan pusing rasanya.
Ketika mobil telah sempurna berhenti, tangan kirinya menjulang melewati tubuhku dan membuka pintu di sampingku dengan hentakan kasar sehingga pintu itu terbuka lebar. Sigap tangannya membuka sabuk pengamanku, lalu tubuhku didorong keluar dengan kasar.
“Pergi lo perek!!!”
Aku tidak sempat mencerna kejadian itu seutuhnya. Semua terjadi begitu cepat. Tubuhku jatuh ke aspal di tengah-tengah hujan deras. Ketika aku bangkit, ia sudah kembali menancap gas mobilnya dan berlalu dengan kecepatan tinggi sehingga pintu yang tadi terbuka pun terbanting tertutup. Aku memperhatikan mobilnya samar-samar menjauh. Penglihatanku terganggu hujan deras yang jatuh.
Belum sempat kutangiskan seluruh sakit yang kini menjalar di sekujur tubuhku, tiba-tiba kurasa dentuman hebat dari belakangku. Aku terpental jauh. Terguling-guling di kasar aspal yang terasa begitu keras menghujam badanku.
Hujan berhasil menyamarkan segalanya…
Di tengah-tengah jalan raya, ia mengakhiri kisah kami berdua.
Hebatnya, beserta nyawa yang kupunya.