[ Gantari ] // I. Buaian
Cerpen
Kutipan Cerpen [ Gantari ] // I. Buaian
Karya izdhihar
Baca selengkapnya di Penakota.id
Langit basah pagi itu seakan ingin menghanyutkanku kembali kedalam tidur, namun sia-sia. Pikiranku memang tidak dapat dikatakan baik-baik saja pada saat itu, justru sebaliknya. Namaku Bumi Arya Pratama, sedang merasa kehilangan dan kecewa. Sebetulnya aku tidak tau kenapa aku harus kecewa sebegini dalamnya, mungkin perasaan marah dan tidak puas dengan Tuhan dan alam semesta ini.
~
Ruang tidurku hangat saat itu, namun yang kurasakan hanya dingin, lebih dingin dari biang es, menusuk ke tulang lalu lari ke jantung. Sungguh, aku tidak dapat berpikir jernih, pikiranku lurus tapi acak-acakan, sulit terdefinisi, aku saja bingung bukan main.
Mungkin ini rasanya kehilangan orang yang kau sayangi, mungkin ini sebabnya sebagian orang tidak ingin terlibat dalam urusan menggantungkan perasaan kepada orang lain karena untukku~ lebih baik aku sakit fisik daripada mental.

Aku masih berbaring diranjang sembari terhanyut oleh suasana pagi. Burung peliharaan ayahku terdengar lebih ceria dan lantang, kukira dia meledek.

Sebenarnya aku tau apa yang harus kulakukan namun sangat sulit untuk melakukannya, aku lebih memilih mengikuti kata hatiku yang gundah gulana. Aku ingat katanya, jika sedih jangan terlalu dan jika senang jangan terlalu dan sekarang didalam benakku sedang ada pertarungan hebat, aku sangatlah bingung kepada diriku, Tuhan dan alam. Kenapa kami tega membiarkan manusia yang memiliki mimpi sebesar galaksi pergi lebih dulu?

Mungkin memang benar, Tuhan sangat sayang kepadanya, tidak mau ia menderita menahan beban di dunia ini dan membawanya pulang atau mungkin juga benar jika yang terbaik akan dipilih Tuhan lebih dulu.
~
“Den, Aden! Bibi masuk ya!” Bi Asih, pembantu rumah tangga sejak aku berusia 4, mengetuk pintu namun aku diam karena walaupun aku tidak menjawab dia akan tetap masuk juga.

“Nih, bibi bawain sarapannya. Ditaro disini ya, den. Dimakan, loh! Oh iya tadi si ibu nitip pesen katanya masih ngurus makamnya Lana di Jogja.”
Nama itu disebut olehnya seakan tanpa dosa, ~aku mendengus.

“Bibi inget deh, den. Waktu nak Lana masih ada dulu suka main kesini. Diajak aden kan, ya? Tapi ndak boleh masuk kamar sama adennya. Kata aden nanti aja kalo udah muhrim gitu. Hehehe.”

“Bi, nanti Arya makan kok makanannya, bibi lanjutin aja kerjaan bibi. Makasih, ya.”

Untungnya dia mengerti. Sungguh, bukannya berniat untuk tidak sopan, susah payah aku berusaha melupakan kenangan semasa ia hidup yang jujur, itu memang susah bahkan mustahil lalu dengan entengnya dia mengingatkanku.

Ucapan bibi saat itu memang tidak terdengar meresahkan untuk siapapun yang tidak merasakan apa yang kurasakan. Biarlah, itu urusanku. Tapi, sungguh itu terdengar pahit dan sakit, terasa belati menusuk ke jantung. Berhasil memancing segala memori yang dicoba untuk aku kubur bersamaan dengan jasadnya.

~Lana bukanlah sembarang nama bagiku, dia adalah sahabatku, jauh sebelum aku bisa seperti ini, dia motivasiku.
Mana aku tau jika liburan tahun baru malah disambut dengan kabar duka?
Mana aku tau jika buah tangan yang sengaja kubelikan jauh hari tidak sempat kuberikan kepadanya?
Mana aku tau itu semua?

Lana adalah segalanya untukku, lebih dari seorang sahabat, pacar ataupun saudari. Menurutku, dia adalah aku. Dan disaat aku mendengar kabar sepeninggalan dia ketika sampai di Bandung, lututku langsung lemas dan masih sampai sekarang, mataku bengkak, pikiranku hancur karena tidak percaya oleh berita yang sangat buruk itu.

Merasa tertipu oleh ekspektasiku sendiri, berharap untuk bisa memeluk tubuhnya yang jauh lebih kecil dari diriku, mengacak-acak rambutnya, mencubit pipinya. Ah, semua itu membuatku kian muram. Bila saja aku pulang lebih awal pasti aku bisa melakukan itu semua walau untuk sekali saja.

Tuhan, bila saja.

Makanan yang disiapkan bi Asih tidak kusentuh sedikitpun, aku tau bi Asih tidak pernah gagal dalam memasak walaupun ibuku jauh lebih jago. Tidak ada keinginan untuk menyantapnya, untuk saat ini semua terasa hambar. Klise memang, tapi itu semua benar.

-

Kunyalakan televisi, mencari hal untuk berdistraksi sejenak, semoga berhasil, setidaknya itu yang kuharapkan.

“Den.” Bi Asih datang membawakan sepiring pisang goreng dan segelas teh hangat. “Ndak ikut ke Jogja, toh?”

“Nggak, bi.”

“Bibi tau aden sedih banget, tapi ndak baik kalo gini terus. Nanti, dianya ndak tenang, disananya juga sedih liat aden sedih.”

Bi Asih tidak salah, sama sekali tidak salah dan aku tau memang ini semua akan berlalu seiring waktu tapi untuk saat ini biarlah aku seperti ini, biarkan aku menikmati kesengsaraanku yang akan pudar suatu saat, aku hanya belum siap untuk menerima ini semua, mungkin nanti ada saatnya tapi bukan sekarang.

“Terus Arya harus apa, bi?”

“Ikhlasin, doain supaya diterima disisiNya, sing ditinggal legowo, termasuk aden. Bibi juga sedih, den. Tapi mbok yo ojo berlarut-larut toh, ndak bagus itu. Kehidupan kan harus terus berjalan kalo aden begini terus kasian adennya, kasian nak Lana.”

Tak tersadar air mataku ikut turun bersamaan dengan air langit di luar rumah, burung peliharaan Ayahku juga masih berkicau dengan nada yang sama. Rasanya aku ingin menjadi burung yang selalu ceria dan tidak pernah sedih, setidaknya itu yang aku tau.

Ucapan bi Asih sekali lagi tidak salah, sama sekali tidak salah dan dengan ucapan itu aku memutuskan untuk ke Jogja hari itu juga.

Kusiapkan keperluan untuk ke Jogja, kelihatannya memang seperti orang yang telat mudik karena bawaanku lumayan membuat tas ranselku sulit di tutup tapi ini semua kusiapkan karena aku ingin menetap di Jogja untuk beberapa hari atau mungkin minggu.

“Bi, Arya ke Jogja ya! Assalamualaikum!” Teriakku dari pintu utama, terdengar suara bi Asih dari dapur yang menyuruhku untuk menunggu.

“Loh kok yo tiba-tiba gini, den?”

“Kalo gak sekarang ya kapan lagi dong, bi?”

“Ya sudah hati-hati, nanti bibi ngebel ibu, bilang aden mau nyusul.”

“Jangan. Gak, usah. Biar surprise.”

Aku pun langsung menyetir mobil keluar dari garasi, kulihat bi Asih menutup pagar rumah dan melambaikan tangannya sembari memegang payung untuk melindungi dirinya dari butiran air hujan di tangan yang lainnya.

Keputusanku untuk ke Jogja memang spontan, tadinya aku tidak mau pergi kesana untuk menghadiri pemakamannya, kupikir itu adalah keputusan terbaikku.

Sebenarnya, aku masih berharap jika aku akan melewati penguburannya. Aku yakin tidak akan kuat melihat skenario itu semua. Aku tidak pernah suka pemakaman.

Aku tau perjalanan dari Bandung ke Jogja bukanlah perjalanan yang singkat ataupun dekat, tapi setidaknya aku bisa datang ke tempat tidur terakhir Lana.

Kuceritakan tentang dirinya, Kelana Sutji Putari lahir di Jogjakarta, bukan keturunan keraton ataupun abdi dalem, dia bahkan tidak feminine seperti kebanyakan stigma tentang perempuan Jawa. Mungkin, karena kebanyakan bergaul denganku. Kita berteman sejak kelas 3 SD, waktu itu aku sedang lomba balap karung, tujuh belasan di sekolah, aku kalah tertinggal jauh oleh Lana. Karena tidak terima, aku menaruh cicak mati di tasnya dengan harapan dia akan menangis, kenyataannya sebaliknya, malah aku yang menangis tertangkap tangan oleh ibu guru dan dimarahi.

Terakhir kali aku ketemu dengannya itu liburan tahun lalu, tepatnya waktu lebaran, sekitaran bulan Agustus, rambutnya waktu itu hitam tidak seperti teman perempuanku kebanyakan yang mayoritas dicat, ombre dan lainnya. Di saat perempuan lain sibuk dengan diskon makeup, dia sedang berada di puncak gunung mengagumi indahnya karya Tuhan.

Lana juga bukan sosok yang manja, tapi terkadang dia juga bisa manja setiap satu minggu dalam sebulan. Lana sosok yang periang, selalu bisa mencairkan suasana, selalu menjadi pendengar yang baik, teman yang setia. Tapi terlebih dari itu, dia yang terbaik.

Lana juga atlet Karateka, dia pernah bilang suatu hari dia ingin mengharumkan nama Indonesia dengan medali emas.

Asal kamu tau saja Lana, tidak perlu kamu lakukan itu, keberadaanmu di Indonesia saja sudah membuat Indonesia lebih harum. Setidaknya, saat kau didekatku.

Tak kusadari buaian ini membuatku lupa untuk mengisi bensin dan mobilku harus diderek dari jalan tol, jaraknya lumayan jauh untuk sampai ke rest area. Kebetulan perutku mulai berbunyi karena tidak menyentuh sarapan tadi sedikitpun. Arya si manusia gegabah, mungkin tepat untukku.

“Mas, paket yang itu satu ya, kentangnya yang Large, take away aja, Ma-“ disaat itu juga aku baru sadar kalau yang aku panggil mas harusnya itu “-Mbak.”

Dia hanya tersenyum.
Entah mengapa semua yang kulakukan, kukatakan dan kupikirkan, semua itu mengingatkanku kepada Lana. Ah, Lana, tolonglah untuk saat ini saja jangan seperti ini setidaknya tunggu sampai aku di Jogja.

Aku mengambil tempat di depan, di meja yang harusnya diisi oleh 2 orang. Udaranya lebih segar dan tidak terkontaminasi dengan berisiknya orang-orang yang sibuk dengan dunia.

Perjalananku ke Jogja masih sangat jauh, mobilku juga sudah terisi penuh. Tatapanku masih tertuju ke meja, bersikeras untuk menyibukkan pikiranku. Suara berisik di restoran cepat saji ini belum cukup untuk memadatkan pikiranku.

“Maaf, ini kursinya kosong?” Spontan aku mendongakkan kepalaku. Terlihat seorang wanita dengan lipstick merah di bibirnya, dagunya lancip dan rambutnya hitam dengan ujungnya yang coklat terang, mungkin karena matahari atau dicat. Aku tidak peduli. Tapi, matanya mengingatkanku kepada seseorang, seperti pernah bertemu. Bukan, bukan Lana. Seingatku, aku pernah bertemu dengannya.

“Iya, kosong.”

“Ku ambil ya, makasih.” Dia pun menarik kursi itu jauh dari mejaku dan pergi ke meja seberang bersama teman-temannya. Aku pun bergegas kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan dengan 2 plastik berisi makanan ringan dan kentang yang belum dimakan.
Seingatku aku pernah bertemu dengan mata itu.

03 Aug 2018 13:09
611
Tangerang, Banten
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: