Matanya nanar, gigi geraham mengeras, tangannya mengepal, dan suara nafasnya berderu. Segalanya jelempah, kamar begitu berserakan. Tum tersudut dengan mengerang seperti pesakitan. Tidak seindah yang dibayangkan.
Rohim perlahan menurunkan emosinya. Memapah diri menuju kursi yang menghadap cermin. Membelakangi Tum yang sedari tadi masih diam membisu. Rohim mendongakkan wajahnya ke langit-langit kamar. Cahaya lampu memburam berganti dengan kenangan-kenangan semasa dulu. Tidak seindah yang dibayangkan.
Setahun mereka kawin, seolah tiada hari tanpa pertengkaran. Seputar perbedaan pilihan, distribusi penghasilan, hingga masalah sepele pembagian tugas dan wewenang. Semua menjadi alasan untuk bertikai, sampai puncaknya adalah tuduhan perselingkuhan. Doa akad nikah tentang sakinah mawadah warahmah ternyata tidak manjur bagi keluarganya.
“Siapa dia?” Rohim membuka percakapan yang sebelumnya lumayan lama dalam suasana hening.
****
Semasa SMA, Rohim begitu aktif memimpin rohis sekolahnya di kota Bekasi. Aktif melakukan kegiatan sosial dan diskusi seputar keagamaan. Ia terlihat begitu bijaksana dan disiplin menuntun anggotanya menjadi pemuda-pemudi yang loyal tehadap agama dan taat kepada syariat.
Rohim begitu mencolok di antara teman-temannya. Selain bapaknya seorang ustaz, ia juga tergolong remaja yang cerdas menyerap ilmu pelajaran sekolah. Meskipun tidak mengenyam pendidikan pesantren, Rohim begitu cakap membaca Alquran. Di usianya yang baru mengijak 17 tahun, ia sudah khatam Alquran berkat didikan keras orang tuanya terhadap agama.
Karisma Rohim tercium seantero sekolah. Banyak remaja putri mendadak masuk rohis agar bisa bercengkrama dengan Rohim, syukur bisa dipinangnya. Afifah yang dikenal sebagai primadona sekolah pun turut mengantri agar bisa berkenalan lebih jauh dengan Rohim.
“Sekarang giliranmu!” Rohim menunjuk Afifah untuk membaca Alquran. Perasaanya begitu campur-aduk. Ketakutan belum fasih membaca Alquran, kecanggungan duduk di dekat Rohim, hingga perasaan was-was pada perkenalan perdana di teras masjid.
“Aku memang masih belum lancar baca Alquran. Tapi aku janji akan serius belajar agar tidak ketinggalan dengan yang lain.” Rohim menangguk menyetujui janji Afifah untuk serius belajar Alquran.
Seiring berjalan waktu, mereka dekat. Rohim yang ganteng dan Afifah yang ayu terlihat serasi di mata teman-temannya. Afifah pun cepat mempelajari kajian-kajian keagamaan dan tentunya sudah lancar membaca Alquran. Apapun alasannya, dengan mencintai Rohim, ia merasa semakin serius mendalami agama daripada sebelumnya.
Menjelang kelulusan, Rohim berkunjung ke rumah Afifah berniat meminangnya. Meskipun masih cukup muda, Rohim menyakini bahwa nikah muda adalah anjuran agama, Afifah pun mengamininya.
“Mbok jangan terburu-buru....” pinta Ibu Afifah yang berharap keduanya bisa kuliah atau kerja terlebih dahulu. “Nikah itu butuh kesiapan mental dan ekonomi. Kalau kalian menikah, kalian mau makan apa? Kerja saja belum”
Bapak Afifah pun turut berkomentar, “Nak Rohim, nikah itu bukan hanya bermodal cinta dan rujukan-rujuakan kitab yang baru saja kamu sampaikan. Om dan tante sudah jauh berpengalaman daripada kalian yang masih seumur jagung. Bila mau, tunggu Afifah menyelesaikan kuliah dulu. Kamu juga bisa kuliah atau kerja agar punya penghasilan tetap. Baru setelahnya Om berikan anakku kepadamu.”
Kegagalan lamaran hari itu membuat Rohim merasa kecewa dan memutuskan tidak berhubungan lagi dengan Afifah. Tanpa obrolan, tanpa kejelasan, Rohim menghilang bak ditelan bumi. Kuliah ke Jogja dan mencari pelabuhan hati yang baru. Meninggalkan masa-masa indah bersama Afifah.
****
Di balkon. Rohim menimang foto kenang-kenangan semasa menjabat ketua rohis SMA. Tentu ada wajah Afifah yang begitu mencolok di antara rohis wanita lainnya. Tapi di sampingnya ada Tumini Astuti alias Tum yang juga teman dekat Afifah sekelas. Dipandanginya dengan tekun. Rohim tersenyum sendiri melihat santun dan lembutnya sikap Tum waktu itu.
Tum tidak banyak bicara, wajahnya sayu dan sering menunduk ketika berjumpa lawan jenis. Paling membuat Rohim terpikat adalah keengganannya bersentuhan dengan yang bukan muhrim. Meskipun tidak secantik Afifah, karakter ayu adalah yang sempurna bagi Rohim.
Seketika mengambil handphone di meja samping ia duduk. Mencari kontak bernama “Tum SMA”. Ketemu. Kemudian mengetik beberapa kata untuk basa-basi bertanya kabar. Sepanjang percakapan, Tum ternyata juga kuliah di Jogja. Meskipun beda kampus, namun tidak menghalanginya untuk bertemu dan melanjutkan tujuan hidupnya: nikah muda.
“Apakah kampus melarang mahasiswanya untuk menikah?” sanggah elakan Tum.
“Tapi....”
“Kalau mau minggu depan kita lamaran, sebulan berikutnya kita menikah. Soal kebutuhan rumah tangga, nanti aku kuliah sambil kerja. Aku dapat beasiswa, jadi biaya kuliah tidak begitu mengganggu.”
“Ya sudah mas, aku ikut saja”
Bak dayung bersambut, Rohim segera menemui orang tua Tum. Meminta anaknya untuk dipinang. Dengan berbagai alasan agama dan kesiapan di antara keduannya, orang tua Tum akhirnya merestui. Rohim dan Tum menikah di usia 21 dan 20 tahun. Mereka mendeklarasikan konsep taaruf (tanpa pacaran) seperti yang sering mereka kaji sewaktu kegiatan rohis di SMA.
Tanpa kemewahan, pernikahan mereka tampak sederhana. Tamu undangan juga hanya kerabat keluarga. Bahkan teman kuliah pun tidak ada yang diundang. Setelah selesai melangsungkan pernikahan, mereka menyewa kontrakan di antara kampus Rohim dan Tum.
Awal menjalani mahligai rumah tangga, Tum begitu santun melayani Rohim yang selesai kuliah selalu menyempatkan diri untuk bekerja freelance. Tum juga masih menerima kiriman uang kuliah dari orang tua karena biayanya mahal yang tidak cukup dibayar dengan penghasilan Rohim.
Sampai akhirnya uang kuliah kerap digunakan Tum untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kuliah Tum tidak dilanjutkan dan fokus menjadi ibu rumah tangga yang baik. Namun masalah tidak sampai di situ. Rohim akhir ini terlihat begitu emosian. Entah karena stres mikir rumah tangga, kuliah, dan pekerjaan sekaligus.
Di sisi lain, karakter anggun Tum juga berubah ketika mengetahui kekurangan Rohim. Tum sering meninggalkan sembahyang, pergi tanpa izin suami, dan jarang melayani suami. Keretakan rumah tangga mereka semakin menjadi ketika Rohim menjumpai Tum dibonceng pria lain di jalan.
Tak kuasa menahan amarah, Rohim pulang kerja duluan dan menunggui Tum di rumah. Ia mengobrak-abrik seisi kamar untuk mencari barang bukti perselingkuhan. Sampai pada akhirnya Tum masuk ke kamar diiringi dengan ayunan tangan Rohim menampar pipi kanan Tum.
“Aku kuliah pagi, kerja sore sampai malam, kamu malah enak-enak selingkuh dengan pria lain! Kukira kamu wanita solehah dan paham agama. Ternyata sama saja seperti wanita PSK! Murahan!”
Rohim lalu mendorong Tum jatuh ke sudut kamar. Suasana semakin dramatis ketika tiba-tiba gemuruh petir menyambar diiringi suara hujan berjatuhan di atap rumah. Suara tangisan Tum bersembunyi di balik kencangnya suara angin hujan malam itu. Tidak dengan Rohim yang di sekujur tubuhnya menyala bagaikan bara api di tengah kegelapan.
Mereka membayangkan indahnya mengarungi mahligai rumah tangga yang ternyata terpontang-panting seperti mahligai rumah hantu. Mencekam, menakutkan, dan ingin segera keluar dari dalamnya. Karena konsep sukses dalam pernikahan bukanlah dicapai sekadar melalui menemukan pasangan yang tepat, melainkan juga menjadikan pasangan yang tepat
Jika tidak siap lahir dan batin, menikah tidak seindah yang dibayangkan. Bahagia menjadi sengsara, suka menjadi lara, tawa menjadi duka, surga menjadi neraka, cinta hanya menjadi mitos sejarah. Menikah bukan tentang perlombaan, bukan soal cepat atau lambat. Tetapi, siapa yang siap mengemban amanah yang besar.