Ling-Ling
Cerpen
Kutipan Cerpen Ling-Ling
Karya junialdisf
Baca selengkapnya di Penakota.id

Meski bukan pertama kalinya, namun ini kali pertama aku memasuki rumah ibadah agama lain di hari ibadahnya. Setelah hampir seharian tidak beranjak dari tempat tidur, sisa akhir pekan kali ini ingin aku ajak berkeliling dengan sepeda. Belum jauh, aku menjumpai gereja yang mulai ramai didatangi jemaatnya. Petugas keamanan menyambut jemaat yang berdatangan dengan ramah, tidak terkecuali aku yang bukan jemaat. Dari yang berkendara hingga hanya beralas kaki, dari anak-anak hingga yang bersamanya atau tidak, semua berpakaian rapih. 

 

Aku, mahasiswa tingkat akhir yang tengah sibuk (padahal terlalu santai) mengerjakan skripsi. Sekadar ingin mengetahui bagaimana sebuah lembaga pendidikan keagamaan menanamkan nilai-nilai agama kepada peserta didiknya yang masih sangat muda itu kemudian membentuk mereka menjadi pemimpin agama. Dalam hal ini adalah agama Katholik dengan Seminari sebagai sekolah keagamaan. 

 

Setelah memarkir sepeda, aku berkeliling dengan langkah sedikit was-was, mungkin malah terlihat mencurigakan. Rumah ibadah yang aku datangi cukup luas dengan beberapa bangunan di dalamnya. Bagian altar nampak sudah cukup ramai, dan sepertinya peribadatan akan segera dimulai. Ketika masih memperhatikan keramaian altar, terdengar suara lembut dari samping bertanya,


“Enggak masuk, mas?”

“Enggak, mbak.” Jawabku singkat sembari menoleh,

“Mbaknya kok enggak masuk?”

Berdiri seorang perempuan, dengan paras keturunan Tionghoa nampak seumuran denganku. Mata sipit dipayung alis dan bulu mata melengkung seperti pelangi yang muncul setelah hujan, padahal masih mendung. Rambut hitam lurus menyandar di bahu terurai di hembus angin terlihat lebih indah dari debur ombak laut di pantai. Senyum bibir tipis sedikit kering tanpa lipstik yang lebih manis ketika kedua ujungnya naik dan saling berjauhan,


“Saya sudah (ibadah) tadi pagi. Kalau gitu, saya permisi, mas." Jawab perempuan itu seraya meninggalkan obrolan.

Seakan tidak rela matahari terbenam lebih cepat, aku memutar mundur jarum jam dan menawarkan bantuan untuk beberapa sekardus barang yang sepertinya cukup merepotkan ia bawa sendirian, 

 

“Ini mau dibawa ke mana, mbak? Biar saya bantu.”

“Oh, ini mau ke…”

Belum selesai bicara, langsung kuambil barang bawaannya yang terlihat sedikit besar dan berat. Daripada ditolak, dan harus pulang lebih cepat, 

 

“Waduh, malah merepotkan. Deket, kok. Cuma di bangunan sebelah.” 

Kami hanya berbalas senyum, sepanjang jalan menuju bangunan yang tidak jauh dari altar tanpa banyak bicara. Aku berjalan tepat di belakangnya. Mengikuti langkahnnya yang tidak cepat juga tidak lambat. Aroma parfum yang belum akrab, mengajak berkenalan hidungku dengan lembut. 


Tidak lama, sampai di sebuah bangunan dengan tiga lantai. Naik ke lantai dua, ia membawaku masuk ke sebuah ruangan. Dengan beberapa komputer, berkas-berkas, dan foto-foto Pastor atau sering disebut Romo. Setelah selesai membantu merapikan beberapa barang bawaan, langit semakin gelap dan sepertinya lebih baik segera undur diri untuk pulang. 


“Kalau begitu, saya pulang dulu.”

“Oh, iya. Makasih, mas.” Belum juga membuka pintu, hujan tiba lebih dulu. Cukup deras. Menahanku. 

“Di sini dulu saja, mas. Tunggu sampai terang.”

 

Lagi, kami berbalas senyum dan aku duduk kembali. Melihat sekeliling ruangan, dan ia membawakanku sebotol minuman yang diambilnya dari dalam lemari pendingin di sudut ruangan. 

 

“Maaf, mas. Seadanya.” Tawarnya diiring senyum yang tidak bisa ditawar apapun.

“Malah ngerepotin. Makasih, mbak.”

 

Aku melempar pertanyaan basa-basi mencoba memecah keadaan yang lebih dingin dari hujan di luar. “Mbak udah lama kerja di sini?"

“Baru sekitar 3 tahun sih, mas. Lulus SMK langsung ke sini”

“Oalah, mbaknya bukan lulusan seminari?”

“Oh, enggak, mas. Yang seminari itu untuk Romo. Saya hanya di bagian administrasi.” 

Situasi mulai sedikit mencair. Ia berbalik bertanya perihalku. Ya, meski juga masih basa-basi. “Lha masnya kerja di mana?”

“Enggak. Saya masih kuliah, mbak. Mahasiswa tua.”

“Enak ya, kuliah. Kalau saya dari awal memang sudah mau langsung bekerja, mas. Makanya saya ambil SMK jurusan administrasi perkantoran, dan akhirnya kerja di sini.” 

Sedikit demi sedikit mulai saling terbuka. Diiring rintik air pada genting dan kaca, kami terus bertukar cerita. 

 

“Di jurusan mas, yang dipelajarin apa saja?”

“Banyak, mbak. Teori-teori, interaksi, tindakan, budaya, politik juga. Intinya belajar bermasyarakat, mbak. Sekarang, hampir semua di luar kepala, yang di dalam kepala hanya beberapa saja.”

“Di luar kepala maksudnya lupa ya, mas.” Kelakarnya sambil tertawa kecil.


Ceritaku tentang perkuliahan dan skripsi yang merepotkan, ceritanya semasa SMK Katholik dan pengalaman teman-temannya di seminari yang ia kembali ceritakan padaku. 

 

“Teman-teman mbak yang melanjutkan di seminari banyak?”

“Enggak juga, mas. Kebanyakan pada pengabdian di daerah-daerah, jadi jarang ketemu. Banyak dapet cerita pengalaman juga dari Romo-Romo yang kunjungan ke sini. Seperti hari ini, karena Romo gereja di sini sedang ada perlu di luar kota, makanya mengundang Romo dari paroki lain.” 

 

Sepertinya hujan mereda begitu juga bahan percakapan kami. Wajah matahari menipis, khawatir apakah masih sempat sholat maghrib jika pulang ke rumah. 

 

“Sudah mulai gelap. Masnya mau sholat di sini?”


15 Oct 2020 23:05
90
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: