oranment
play icon
TENTANG KRITERIA PEREMPUAN IDAMAN
Cerpen
Kutipan Cerpen TENTANG KRITERIA PEREMPUAN IDAMAN
Karya kalabendu
Baca selengkapnya di Penakota.id

Jangan salah! Meski dikata culun, cungkring, cupu, kurang gaul, atau apalah, tetap saja saya punya kriteria tersendiri dalam memilih pasangan. Mau tahu seperti apa? Pertama, cantik. Kedua, langsing. Ketiga, tirus. Keempat, tinggi. Saya masih punya kriteria khusus. Itu baru kriteria umumnya saja. Yang penting sekarang adalah pertanyaan; kenapa pria cungkring dan culun seperti saya berani-beraninya memasang kriteria dalam mencari pasangan? Baiklah, biar saya ceritakan pada kalian. Culun, cungkring, cupu, kurang gaul, dan sebagainya itu. Pernahkah terpikirkan oleh kalian, darimana datangnya itu semua? Saya berpakaian dengan nyaman. Dengan baju dan celana yang pas untuk saya. Tidak kebesaran dan tidak kekecilan. Dan tentunya saya merasa telah memancarkan semua kharisma yang saya miliki dengan mengenakan pakaian itu. Lantas kenapa saya dikatai culun? Sudah pasti karena ada jenis dan cara berpakaian tertentu yang harus diikuti oleh orang-orang agar dapat dikatakan “tidak culun”. Nah, katakanlah demikian. Sekarang, ketika ada orang yang mengikuti jenis dan cara berpakaian itu agar dirinya tidak dikatai culun, apakah itu berarti tidak culun? Bagi saya, itu teramat sangat culun, karena dia tidak punya selera yang dumunculkan oleh hasratnya sendiri tentang bagaimana caranya berpakaian. Walhasil, dia hanya mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan umum di mana dia berpijak. 


Lalu, saya bergaul di banyak tempat. Mulai dari perpustakaan daerah, warung kopi, taman bacaan, komunitas filsafat, dan klub futsal. Lantas, kenapa saya dikatai kurang bergaul? Sudah pasti karena ada jenis pergaulan serta cara bergaul tertentu yang harus diikuti oleh orang-orang agar dapat dikatakan “tidak kurang bergaul”. Lagi-lagi, argumen yang sama seperti sebelumnya. Justru seseorang yang tidak punya hasrat bergaul, kemudian pergi mencari pergaulan ideal sesuai dengan apa yang dipatri oleh tempat di mana dia berpijak.


Sekarang, mengertilah kita bahwa sebutan-sebutan tersebut: cupu, culun, cungkring, dan sebagainya itu, muncul karena ada konstruksi sosial. Konstruksi yang terlampau sering membuat orang-orang lupa, kalau pada hakikatnya, mereka memiliki hasrat yang menjadi sumber segala kebahagiaan. Itulah mengapa di awal saya katakan pada kalian. Walaupun memperoleh semua label yang bersumber dari konstruksi sosial itu, saya tetap punya kriteria tersendiri dalam memilih pasangan. Karena, label-label itu tidak ada kaitannya dengan selera, dan juga tidak sanggup mengintervensi hasrat. 

~~~


Begitu herannya saya melihat bocah lanang di hadapan saya ini. Masak iya tak punya kriteria perempuan macam apa yang ia ingini. Muka bocah lanang ini tak dapat dikatakan jelek. Perawakannya tegap. Bicaranya berirama walau huruf “R” tidak kedengaran jelas dalam setiap kalimat yang diucapkannya. Jambang, kumis, dan janggut tumbuh tipis-tipis di sekitar pipi, dagu, dan bawah hidungnya. Secara keseluruhan, bocah lanang ini tentu layak untuk memasang kriteria perempuan yang hendak dijadikan pasangan. Saya saja yang cungkring layak, apalagi dia. 


Selesai saya seduh kopi yang dipesannya tadi, lalu menyodorkan ke depannya, saya lagi-lagi menanyakan hal ini. Bagaimana bisa dia tidak punya kriteria perempuan idaman? Tapi jawaban bocah ini malah seperti jawaban psikolog, filsuf, ahli fengsui, atau semacamnya. Dia memberi penjelasan rumit yang sungguh tak menjelaskan apa-apa. Membuat gerah kuping saya yang terbiasa dengan hal-hal sederhana. 


Saya memotong penjelasannya yang berbelit itu. Lagipula, kasihan saya melihat dia yang tampak setengah mati ketika akan mengucapkan kalimat-kalimat yang ada huruf “R” di dalamnya. Kepada bocah lanang ini saya lantas berkata;


“Kau dengar baik-baik, dik. Ungkapan Mengalir Saja itu hanya omong kosong. Manusia dilengkapi dengan otak, nurani, dan piranti imajinasi, bukan untuk sekadar mengikuti arus. Kalau demikian adanya, lalu apa beda manusia dengan kotorannya yang ia berakkan di jamban pagi tadi?” Si bocah lanang masih menyimak. Dan memang tak pantas dia menyela bicara orang yang lebih tua darinya. 


“Tadi kau bilang kau tak punya kriteria dalam mencari perempuan. Artinya kau menyerahkan segala-galanya pada kehendak alam. Mengalir saja, katamu. Nah, sekarang, tidak sadarkah kau kalau persoalan perempuan, persoalan pasangan hidup itu merupakan persoalan MENCARI? Dan kau tak punya motivasi, tak punya petunjuk dalam melakukan pencarian? Hanya mengalir saja? Aduh, omong kosong apa itu, dik?” saya hentikan kata-kata saya sejenak karena tiga orang gadis SMP tiba-tiba saja sudah menongol di depanku hendak mengembalikan novel cinta-cinta remaja yang mereka pinjam beberapa hari yang lalu. Oh, ya, hampir saya lupa menjelaskan latar tempat kisah kita ini. Kita sedang berada di kedai kopi yang merangkap sebagai Taman Bacaan. Saya merintisnya bertahun-tahun lalu sebagai Taman Bacaan kecil-kecilan. Menyewakan komik, novel, maupun buku-buku non-fiksi. Karena memang gandrung akan rasa kopi yang diseduh secara manual, maka Taman Bacaan ini saya buat sekaligus jadi kedai kopi. Coffee Shop, barangkali begitu lidah anak-anak muda keminggris lebih suka menyebutnya. 


“Kalau kau tak punya kriteria, itu artinya memang sudah pada dasarnya kau tak punya motivasi. Tanpa motivasi, kau tak punya alasan untuk mencari. Lalu, masih pantaskah hidup disebut hidup, jika tanpa pencarian?” Lagi-lagi, kata-kata saya tertunda, kali ini disebabkan ketibaan istri saya tercinta sepulang mengajar di kampus yang berada tidak jauh dari kedai kopi sekaligus taman bacaan kita ini. Saya sapa mesra istri saya, dan saya buatkan kopi kesukaannya. Selagi menyeduh, saya lanjutkan dulu urusanku dengan bocah lanang tuna-asmara ini. 


“Eh, Bang!” rupa-rupanya si bocah lanang angkat bicara duluan. Terpaksa saya menyimak dulu apa yang hendak ia katakan. 


“Istri Abang? Tadi, kriteria perempuan idaman Abang?”


Hohoho… Ternyata bocah lanang ini belum paham juga. Mungkin begitu pula dengan kalian para pembaca cerita ini. Mengenai kriteria perempuan pujaan hati saya yang saya ceritakan di awal perjumpaan kita tadi, kalian masih ingat bukan? Baiklah kawan-kawan! Biar saya ceritakan sesuatu pada kalian. Tentang perjumpaan saya dengan istri saya tercinta ini. 


Kala itu, sewaktu masih menyandang status sebagai mahasiswa, di perpustakaan universitas. Tak mungkin bisa sirna dari ingatan, momen-momen luar biasa mendebarkan itu. Dari sela buku yang berjarak pada raknya, dengan saksama saya saksikan dan saya nikmati setiap detik yang memberi detak pada jantung kehidupan saya. 


Tak akan dan tak mungkin sirna dari ingatan. Bagaimana kaki perempuan pendek dan bantet itu, yang bagaikan kaki mastodon, melintas bolak-balik dari satu lorong ke lorong berikutnya. Bagaimana tiap pijakan kakinya terasa begitu bertenaga. Sampai-sampai lantai dua perpustakaan universitas itu mau rubuh saja rasanya, rata dengan tanah. 


Saya perhatikan lagi perempuan cebol itu. Tak mungkin lenyap dari ingatan. Bagaimana tangannya menyibak satu per satu buku sepanjang rak. Agaknya dia belum juga ketemu dengan buku yang dicarinya. Sedang saya masih sulit percaya, mengira semua ini hanya mimpi belaka, bahwa pencarian saya usai sudah. 


Kau! Bocah lanang tuna-asmara! Dan kawan-kawan! Dengar, simak baik-baik.


Sungguh. Tak pernah ada pengingkaran ataupun pengkhianatan antara apa yang diidealkan manusia dalam kepalanya, dengan apa yang telah disediakan takdir baginya. Sebentar, kopi untuk istri saya tercinta sudah selesai saya seduh. Nanti kita lanjutkan!


Medan, Agustus 2020


calendar
07 Sep 2020 14:00
view
63
wisataliterasi
Jl. Melati Raya No.16, Sempakata, Kec. Medan Selayang, Kota Medan, Sumatera Utara 20132, Indonesia
idle liked
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig