Apa salah aku jatuh cinta lagi? Apa salah cintaku menemukan dan ditemukan kembali? Apa dengan mencintai aku harus membiarkan anakku dirampas dariku? Buah cintaku? Darah dagingku? Apa aku harus memilih? Tidakkah aku punya kebebasan dalam hidup sebagai manusia? Sebagai Perempuan? Siapa yang menciptakan pilihan-pilihan itu? Siapa yang menghadapkan aku pada pilihan-pilihan itu?
~~~
Tentu aku kehilangan. Jangan ada seorang pun merasa kehilangannya lebih menyedihkan dari kehilanganku. Suamiku adalah cinta pertamaku. Perjumpaan pertama kali antara cintanya yang telah lama mencari-cari dengan cintaku yang telah lama menanti-nanti adalah perjumpaan paling suci yang pernah kami alami. Dan hari-hari sesudahnya ialah perjumpaan-perjumpaan paling kami rindukan. Sampai kematian menghentikan perjumpaan itu. Menyisakan kata-kata penghiburan bahwa akan tiba hari di mana aku dan suamiku dipertemukan kembali dalam sebuah kehidupan setelah kematian. Tentu aku percaya, dan tidak sedetik pun kulewatkan tanpa mendamba hari itu segera tiba. Tapi aku masih berjalan dalam kehidupan ragawi, dan segala hal bisa terjadi. Kehidupan yang mengejar sekaligus dibuntuti kemungkinan-kemungkinan pada saat bersamaan. Mencintai kembali adalah salah satu kemungkinan yang membuntutiku sejak kematian suamiku. Aku? Aku sibuk mengejar kemungkinan-kemungkinan.
Membesarkan putri semata wayang buah cintaku dengan mendiang suamiku, dan bekerja menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan kami. Kadang aku juga harus membantu biaya sekolah adik-adikku yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Semuanya kulakukan sepenuh dan setulus hati sebagai seorang Ibu dan seorang Kakak. Untunglah, di samping mengajar Fisika di Sekolah Menengah Pertama di Soposurung, aku masih punya waktu untuk mengajar les di luar jam sekolah. Dengan begitu aku bisa memperoleh tambahan penghasilan untuk menutupi segala kebutuhan.
~~~
Sudah beberapa bulan sejak kepergian Bang Tongam, aku masih bertahan di rumah mertuaku di Laguboti. Hal itu merupakan keputusan simatua, haha doli, anggi doli, juga intervensi dari para edaku. Aku disuruh meninggalkan rumah kontrakan kami. Kata mereka, aku tak akan sanggup membayar uang kontrakan. Bang Tongam yang semasa hidupnya bekerja di pabrik tepung tapioka tidak meninggalkan banyak tabungan. Sedangkan gajiku sebagai guru honorer mungkin cukup untuk mengontrak rumah, tapi tidak akan cukup lagi untuk makan. Sebenarnya aku sudah memperhitungkan itu semua. Bisa saja kami bertahan di rumah kontrakan itu. Dengan hidup hemat dan menekuni beberapa pekerjaan sampingan, semua kebutuhan pasti bisa terpenuhi. Tapi mertua dan ipar-iparku selalu mendesak agar aku tinggal di rumah mertuaku saja. Lebih hemat dan aman. Ditambah lagi, anak perempuanku, Uli bisa dijaga Ompungnya selagi aku mengajar. Dengan alasan-alasan itulah, dengan berat hati aku harus meninggalkan kontrakan dan tinggal bersama mertuaku.
Tinggal serumah dengan mertua, banyak hal yang berubah dalam kehidupanku, dan perubahan-perubahan itu terasa sangat mengganggu. Membuat aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Di saat-saat seperti ini, aku sangat merindukan Bang Tongam. Dia adalah tipikal lelaki dengan pikiran terbuka dan berwawasan luas. Meski lahir dan besar di kampung, dia memiliki cara pandang yang luar biasa terhadap dunia dan segala persoalannya. Mungkin itu didapatnya dari kesukaannya pada buku. Ya, di tengah kesibukannya sebagai Ayah dan Suami, Bang Tongam masih menyempatkan diri untuk membaca. Bacaannya kebanyakan dia pinjam dari perpustakaan maupun dari kawan-kawannya.
Berbanding terbalik dengan Bang Tongam yang cenderung memberikan kebebasan padaku untuk mengerjakan setiap pekerjaanku, mertuaku, terutama mertua perempuan sangat mengekang. Hampir setiap hari sepulang kerja, aku selalu ditanyai layaknya terdakwa di pengadilan. Gerak-gerikku serta penampilanku selalu diperhatikan. Tidak perlu dandan, tidak perlu pakaian bagus, tidak perlu ini, tidak perlu itu. Intinya, tidak perlu cantik, tidak perlu berpenampilan menarik. Kan, sudah janda? Begitu perkataan ibu mertuaku yang membuatku tersedu sedan selama beberapa hari. Menyesali kematian, mengutuki keadaan.
~~~
Dari pendopo kayu beratap pelastik biru, aku memandang jauh ke luasnya Danau Toba. Menghirup aroma danau dan merasakan terpaan angin menjadi terapi tersendiri bagiku. Aku terbayang masa-masa aku dan Bang Tongam sering menghabiskan waktu di pantai ini. Bahkan sebelum dikembangkan menjadi destinasi wisata dan dikenal dengan nama Pantai Lumban Bul-Bul seperti sekarang, kami sudah sering bermain ke sini. Kini, segala sesuatunya masih terus dibenahi agar pantai ini bisa menjadi destinasi wisata yang lebih berkelas. Menjadi “Bali Baru” kata pemerintah. Aku tersenyum pahit kalau mendengar slogan itu. Kenapa mereka tak biarkan saja Danau Toba tetap sebagai Danau Toba? Tak perlulah menjadikannya sebagai Bali.
“Kau tak pesan makanan?” Torang membuyarkan lamunanku.
“Ah, tak usah. Aku tidak lapar. Tidak biasa juga aku makan jam segini” jam memang baru menunjukkan pukul lima lewat beberapa menit. Di kejauhan, langit unjuk keindahan dan mulai berubah warna menjadi jingga.
“Oh, yasudah kalau begitu” Torang melempar senyum dan aku balas tersenyum. Ketika aku mengalihkan pandang dari langit dan hendak menyesap teh manis hangat di depanku, aku mendapati Torang sedang memandangiku. Tatapan kami bertemu sesaat sebelum secara berkelakar aku menegurnya.
“Apa kau nengok-nengok?” kami berdua tertawa kecil.
“Bagaimana? Tentang permintaanku kemarin” mimik Torang berubah serius. Aku justru kembali memandang langit, tidak langsung menjawab. Aku merasakan tangan Torang menggenggam tanganku yang sedikit gemetaran. Aku membiarkannya. Mungkin karena aku rindu sentuhan, atau mungkin karena aku mengkhayal kalau tangan itu adalah tangan Bang Tongam.
“Minggu depan aku harus kembali ke Medan. Beri saja aku jawaban. Apapun itu, aku terima” kata-kata Torang bercampur baur dengan desing angin dan deru ombak kecil-kecil. Aku masih membisu. Tangannya masih menggenggam tanganku.
“Bang Tongam itu sahabatku. Bahkan kuanggap layaknya Abangku sendiri” bibirku bergetar ketika Torang menyebut nama Bang Tongam. Aku berusaha menyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca.
“Aku tahu kalian menjalin cinta saat aku belum pernah sempat menyatakan perasaanku. Sebelum kalian menikah, aku menemui Bang Tongam dan mencurahkan seluruh isi hatiku. Aku menitipkan cintaku padanya untuk diberikan padamu. Dan sekarang dia sudah pergi” kini aku bisa merasakan tangan Torang juga gemetar dan bicaranya setengah terisak. Aku belum juga mampu mengucap sepatah kata pun. Dalam kepalaku berdengung tiada henti suara mertuaku.
Tak usah kau kawin lagi! Apalagi dengan laki-laki dari marga lain seperti si Torang itu! Kalau kau memang mau kawin lagi, biar kami yang carikan laki-laki untukmu! Pastinya dari marga kita!
Suara-suara itu mulai membuat kepalaku berdenyut pusing. Perutku mual. Ingin muntah rasanya.
Kalau kau berkeras hati, silakan kau kawin dengan laki-laki dari marga lain. Tapi Uli adalah bagian dari keluarga ini. Kau tak berhak membawanya pergi!
Torang belum juga melepas genggamannya. Dia mulai lagi berkata-kata.
“Kita boleh berduka atas kepergian Bang Tongam, tapi hidup terus berlanjut. Dan aku mau, kita melanjutkan hidup ini bersama-sama” sekarang Torang dengan nada tegas dan tegar.
“Uli aku anggap sebagai darah dagingku sendiri. Akan aku cintai kalian berdua” sesak di dada dan pusing kepala tak tertahan lagi. Aku menangis tak bersuara. Hanya air mata menggenangi pipi yang lelah menahan derita.
“Aku bisa mencintai siapa saja dan kapan saja. Itu kebebasanku sebagai manusia. Tapi kebebasan itu agaknya telah direnggut sejak lama entah oleh siapa. Makhluk lemah sepertiku lalu ditampilkan sebagai makhluk yang punya kebebasan untuk memilih. Pilihan-pilihan yang pada saat bersamaan telah memenjarakan kebebasan sejati” aku menghentikan bicaraku sejenak untuk mengatur napas yang jadi tak beraturan karena gejolak emosi.
“Aku akan menitipkan cintaku pada seseorang untuk diberikan padamu. Tapi aku tak mungkin melakukan hal serupa pada Uli. Semuanya akan berlalu. Segala-galanya pasti pergi. Jangan berhenti mencintai, jangan berhenti mengasihi walau tak bisa memiliki secara ragawi. Itu adalah kesempatan bagi kita untuk memeluk cinta sejati dan terlelap dalam dekapannya” Torang tertegun mendengar kata demi kata yang kuucapkan. Lekat-lekat kutatap mata Torang.
“Hidup terus berlanjut. Meski dalam derita. Meski dalam penjara” langit jingga berubah hitam, tapi belum usai unjuk keindahan. Kali ini dengan butir-butir bercahaya amat terang. Air Danau Toba kian tenang. Ombak kecil-kecil tadi sore tak lagi kelihatan. Torang menyeka pipinya yang basah oleh air mata. Dia menangis kencang, tanpa suara.
Laguboti, Juni 2020
Keterangan:
Simatua = Mertua.
Haha doli = Kakak ipar laki-laki.
Anggi doli = Adik ipar laki-laki.
Eda = Kakak/Adik ipar perempuan.
Ompung = Kakek/Nenek