Pintalan benang kusut belum terurai dengan semestinya. Lantaran, jarum pemintal kini telah hilang entah kemana. Dibiarkan saja terbengkalai oleh tuannya. Masa bodo, dengan nasib kusut si benang. Di pojokan dekat mesin jahit hitam kuno, ia menanti ketidakpastian sebatang kara.

Kala malam memenuhi relung kegelapan. Kala mentari bersinar terang memancarkan cahaya. Kala senja menorehkan cakrawala jingga di ufuk langit. Pintalan benang itu tetap kusut tak tersentuh. Menemani mesin jahit tua di sampingnya, yang tak sampai saban hari sebelum menjelang kematiaannya. Akibat keropos karat termakan waktu.

Sang tuan kini lebih memilih menggunakan mesin jahit dan pintalan benang baru yang masih mulus. Tak pernah sedetik pun ia menoleh ke arah pojokan meja di sudut ruangan yang tak bercahaya itu.

Ini semua salah jarum pemintal. Andai saja ia tak pergi menghilang. Setidaknya beri kejelasan tentang keberadaan. Tak sedetik pun hingga kini, ia menunjukkan batang hidungnya. Kalau seperti ini, tak tanggung jawab namanya. Meninggalkan masalah yang masih mendera.

Hanya jika, massa tak tergerus jarum waktu. Serpihan harapan kehidupan mungkin masih bisa dirasakan. Agar pelik tak menusuk sukma. Agar debu angin tak memakan lapuk.

Nyatanya, setelah gelap terbitlah terang. Sang tuan menyentuh pintalan benang. Tak lupa si mesin jahit kuno yang kini sudah menjadi tulang-belulang. Secercah harapan muncul, sumringah berharap digunakan.

Dipegangnya erat dalam pangkuan tangan tuan. Hangat lembut terasa pada tubuh. Berdesir kelembutan dalam genggamannya.

Akhirnya. Ia mengeluarkan benda kusam itu dari kegelapan gulita, menuju ke tempat cahaya melesak masuk lewat kilas jendela.

Lalu, tanpa diduga keduanya berakhir di ruang kelam. Dibuang jatuh sembarangan di tumpukan barang usang lainnya.

Kasihan.....