Si Dia Yang Mengubah Dunia
Cerpen
Kutipan Cerpen Si Dia Yang Mengubah Dunia
Karya karenpm
Baca selengkapnya di Penakota.id

 

            

           *Riiinnngg…*


           Nada dering alarm elektronik yang menjengkelkan membangunkannya dari tidur yang tidak begitu nyenyak. Ia bangkit dari tahtanya, mengambil telepon genggam kesayangannya, dan termenung untuk beberapa saat. “Ah sial, aku terlambat. Banyak sekali tugas pula! Apa-apaan ini?!”. Munculnya si musuh kesayangan yang tak pernah absen menyentrikkan panasnya dengan angkuh membuatnya semakin jengkel. “Bagaimana ini.. Banyak sekali tugasku, harus yang mana duluan yang kukerjakan?” tanyanya dengan penuh frustasi dalam hati. “Kaka, jangan lupa sapu kamar nanti ya. Sekalian masukin baju yang udah disetrika Bibi kemaren ke lemari.” Ujar sang Ibu dari kejauhan. “Aarrgh! Aku merasa sangat durhaka karena merasa kesal setiap disuruh-suruh. Tapi memang menjengkelkan. Kenapa tidak dilakukan sendiri sih, harus suruh orang dulu. Gak tau apa orang lagi numpuk PR!” gumulnya dalam hati. “Iya Ma, nanti ya. Kaka banyak banget tugas.” sahutnya dengan suara lantang yang jelas-jelas terdengar hampir gemetar karena menahan amarah. “Duh, maaf Ma. Bukannya tidak mau bantu, hanya saja mumet sekali rasanya. Mana belum mandi pula. Ah sudahlah, bodo amat dengan mandi, aku juga tidak kemana-mana kok.” Dengan itu Ia beranjak dari tempat termenungnya dan segera bersiap mengerjakan tugas-tugasnya. Tapi tunggu, rasanya semua berjalan terlalu cepat. Mari kita mundur ke beberapa hari yang lalu, hingga ke penyebab mengapa bisa ia sampai pada titik ini.


           *Beberapa minggu yang lalu..*


           “Eh Kar, Corona serem banget ya.. Wuhan sampe lockdown gitu.” Ujar salah seorang temannya yang duduk tak jauh darinya. “Iya woi. Indonesia apa kabar? Hahaha” sahutnya dengan ringan sambil mempersiapkan buku dan alat tulisnya, tak menganggap itu sesuatu yang serius. Jam demi jam berlalu dengan sangat cepat, tak memberi ampun pada letihnya murid-murid dengan ironi tugas sekolah yang belum tentu terpakai di masa depan. Hari pun berganti hari, dan harapan buruk semua orang ternyata jadi kenyataan. “Jokowi mengonfirmasi adanya dua orang Indonesia yang dinyatakan positif Corona,” Berita elektronik membanjiri gawai dan televisi masyarakat dengan judul berita utama yang intinya relatif sama. Pemerintah yang nampaknya berusaha tetap tenang agar tak membuat masyarakat panik, justru dianggap terlalu lambat mengambil tindakan. Entah apa yang terjadi di belahan bumi bagian sana sampai seluruh dunia ikut turut berdukacita karenanya. Mungkin alam sudah letih dengan kita. Lihatlah, mereka akhirnya memberontak juga. Memberontak karena kita hanya bisa menikmati hidup penuh keegoisan. Karena kita yang selalu memanfaatkan dayanya namun tak mampu menjaga kelestariannya. Tapi mungkin memang seperti itu adanya. Alaminya, manusia akan berjuang mati-matian untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Apapun caranya, segala sesuatu rela dikorbankan demi merealisasikan cita-cita ‘mulia’ mereka, termasuk merusak Ibu Pertiwi. Mungkin sebab itulah ‘Ia’ hadir, barangkali ‘Ia’ dikirim untuk kembali menyadarkan kita bahwa di bumi ini kita masih berbagi tempat tinggal dengan saudara lama kita, alam.


           *Sementara itu..*


           Beberapa hari yang berlalu ini terasa seperti khayalan yang muncul dari film laga dimana pemeran utamanya menyebarkan virus ke seluruh dunia dan menyebabkan kehancuran skala besar, tetapi bedanya ini bukan fiksi dan kita belum menemukan antivirus yang akan mengakhiri seluruh kekacauan ini. Untuk kali kesekian dalam sejarah, dunia sekarang disibukkan dengan satu hal yang sama. Berusaha memerangi yang tak terlihat, mereka mencanangkan berbagai kebijakan untuk menuntaskan pandemi yang entah kapan reda ini. ‘Ia’ yang diam-diam mulai merayap ke dalam kehidupan masyarakat, sedang dengan penuh kesabaran menunggu datangnya mangsa yang empuk. Sayangnya, jumlah mangsa ini sudah mencapai angka yang tidak masuk di akal. Sekolah, kerja, usaha, dan semua urusan di luar rumah terpaksa diberhentikan sementara guna menahan penyebaran yang selama ini sudah terjadi. Hal yang sama dialami olehnya. Ia, yang sekarang hanya bisa berdiam di rumah dan menghabiskan berjam-jam mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk sambil berbaring mendengarkan lagu-lagu kesukaannya. Lucunya, mungkin Ia tak sepenuhnya membenci realita karantina ini. Setidaknya Ia dapat melakukan segala sesuatu sambil berbaring, mendengarkan lagu, dan makan sesukanya, tanpa khawatir akan ada yang mengusiknya. Tapi tunggu, apa benar seperti itu?


           “Ka, tolong cuciin piring dong..”, “Ka, tolong angkatin jemuran dong..”, “Ka, tolong ambilin barang dong di bawah, jangan lupa disemprot disinfetkan dulu ya.”, “Ka, ini..”, “Ka, itu..”, “Ka, anu..” Berbagai hal tersebut hanyalah sekian dari banyaknya ‘permintaan tolong’ yang ia terima. Mungkin sudah nasibnya sebagai anak tunggal untuk menerima semua ini, dan lagi, siapa juga yang mau mengerjakannya kalau bukan dia, si bungsu satu-satunya di rumah itu. “Ahh, aku mulai merindukan sekolah. Walaupun banyak tugas dan sangat melelahkan, setidaknya masih ada yang bisa membuatku tertawa sepanjang hari. Entah karena tingkah lucu apa, teman-temanku selalu bisa membangkitkan senyuman di wajahku.” Pikirnya dalam hati. Barangkali ada hikmahnya di balik musibah ini. Mungkin alam ingin mengajarkan kita untuk menghargai hal-hal kecil yang selama ini kita anggap angin lalu, bahwa semua hal yang kita miliki di dunia ini bersifat sementara oleh karena itu setiap kesempatan adalah sebuah keistimewaan. Kesempatan untuk bisa berkumpul dengan teman-teman, memeluk dan menyalam siapapun yang kita inginkan, pergi ke tempat-tempat kesukaan kita, ke luar untuk makan di restoran kapan pun, bahkan kesempatan untuk bisa menghirup udara segar tanpa takut tertular oleh penyakit mematikan pun kadang-kadang adalah hal yang kita tak pernah syukuri. Siapa sangka, ternyata dibutuhkan sebuah pandemi untuk mencolek hati nurani kita.


  Selain merasa diberikan waktu tambahan untuk istirahat, Ia rasa Tuhan sedang memberi kesempatan baginya serta mungkin seluruh manusia lainnya untuk berdamai dengan diri sendiri. Terkadang harus terjadi sebuah bencana dulu untuk melihat seberapa berserahnya umat-umatNya kepadaNya. Salah satu negara yang akhirnya menyerahkan diri kepada kuasa ilahi adalah Italia. Kapan lagi kita melihat negara maju berdoa bersama-sama untuk meminta kuasa pada Tuhan? Tak hanya di Indonesia, bencana ini juga melanda negara-negara lain. Ini berarti bahwa kehidupan masyarakat mereka juga berubah, sama seperti yang Ia sedang rasakan sekarang. Toko-toko ditutup, pusat perbelanjaan ditutup, perkumpulan-perkumpulan umum dilarang untuk sementara, dan banyak hal menyedihkan lain yang juga terjadi di belahan bumi lainnya. Ini seakan-akan menjadi teguran bagi seluruh dunia. Barangkali ini terjadi agar manusia mengingat bahwa di atas mereka masih ada yang Maha Kuasa, sehingga manusia tidak menjadi besar kepala dengan semua pencapaian mereka.


Baginya, ini juga merupakan ajang yang tepat untuk menghabiskan banyak-banyak waktu dengan keluarga. Terutama karena Ia adalah anak tunggal yang tinggal di asrama dan hanya pulang seminggu sekali, itu membuatnya sulit memiliki waktu bersama keluarganya. “Walaupun dunia sedang gempar karena virus mematikan ini, setidaknya ada ketenangan dan kedamaian di dalam hati dan rumahku”, pikirnya. Home-learning yang mulai membuatnya merasa kewalahan, juga membuatnya sedikit bersyukur bahwa ia masih sehat dan masih dapat melakukan aktivitasnya seperti biasa, walaupun dengan cara yang berbeda. Ia merasa sedikit beruntung bahwa nasib buruk yang menimpa banyak orang, tidak ikut menimpanya.

 

           *Epilog*


           Suara tetesan hujan yang terdengar dari jendela kamar itu, selalu bisa menimbulkan perasaan nyaman baginya. Perasaan nyaman yang selalu bisa meyakinkannya bahwa akan selalu ada hal baik yang datang setelah hal buruk. Perasaan itulah yang meyakinkannya bahwa sama seperti bencana lainnya, ini pun akan berakhir. Semua ini akan dapat terlalui dengan baik apabila semua orang mau bergandeng tangan untuk bersama-sama menyelesaikan rantai penyakit menular mematikan ini. “Ah, aku rindu teman-temanku. Mungkin setelah ini selesai, aku akan bertemu dengan mereka untuk menebus rasa rindu ini. Aku juga munkin ingin berkunjung ke rumah Eyang dan Oma Opa, apa kabar ya mereka? Ohh, aku juga sudah tak sabar untuk makan di restoran favoritku, dan juga yang paling penting, mungkin ini agak aneh, tapi aku rindu sekolah. Haha , aku tak percaya aku mengatakannya, tapi ya memang benar. Ternyata sekolah lebih menyenangkan daripada Home-learning. Ah, cepat-cepatlah semua ini berlalu, aku sudah tak sabar lagi.” ujarnya dalam hati sambil tersenyum sendiri, membuatnya merasa sedikit ngawur tapi bahagia, setidaknya untuk saat itu.

           


05 Apr 2020 18:50
125
Legenda Wisata, Nagrak, Bogor, Jawa Barat, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: