Banyak hal aneh yang kutemui akhir-akhir ini. Sebut saja ketika aku mengaku bahwa aku begitu mencintai caramu bercerita tentang nikmatnya rasa kopi, mengingat aku sudah tidak bisa lagi meneguknya setelah terkena penyakit asam lambung.
Atau caramu menarik rem tangan pada mobil saat kita berdua hendak membayar parkir sepulangnya dari menonton di bioskop. Aku menemukannya aneh karena, kupikir hal-hal yang kusebutkan tadi tidak termasuk di dalam cara-cara orang biasa dapat jatuh cinta. Seringkali perihal tatapan. Paras. Kepiawaian seseorang melalui caranya berbicara. Atau bagaimana seseorang dapat menciptakan frekuensi nyaman melalui salingnya perhatian. Dan bahkan tak jarang, kekayaan seseorang yang berupa materi dapat meluluh lantahkan hati dan pikiran seseorang untuk berhasrat ingin memilikinya.
Aku bertanya pada diriku sendiri.
Mengapa hal itu tidak berlaku bagiku?
Dunia mana yang sebenarnya sedang aku singgahi saat ini?
Lalu siang ini kembali kutemukan diriku menatap layar pesan di telepon genggam yang memunculkan tanda bahwa kau telah membacanya.
~
Aku menunggu.
~
Aku yakin kau sedang mengeluarkan kata-kata terbaikmu.
~
Kubiarkan layar telepon genggamku menyala dan seketika aku mendambakan suara pemberitahuan pesan masuk yang begitu khas itu. Di saat itu menyala namun ternyata yang kujumpai bukan pesan darimu, aku lebih memilih untuk mengabaikannya.
Masih saja kutemukan diriku memutar kembali kejadian saat kali pertama kau menjemputku di gang rumahku. Saat itu tetanggaku sedang mengadakan hajatan sehingga mobilmu tidak dapat masuk lebih jauh lagi.
Aku yang kala itu cuma sekadar menjawab pertanyaanmu daripada bercerita tentang apa-apa yang kusukai. Sampai kemarin kau menyinggungku soal itu. Soal kenapa aku menjadi pendiam padahal sebenarnya tidak?
“Nah, kan.” Aku bergumam pada diri sendiri.
Nampaknya kutemukan lagi bagaimana caraku dapat mencintaimu.
Melalui ingatan yang baru saja terputar di kepala, aku sadar bahwa aku mencintai caramu menanyakan hal-hal yang berkaitan denganku. Mungkin perasaan ini pun seringkali timbul pada setiap hati manusia.
Sungguh, semenyenangkan itu jika seseorang yang kita sukai mencari tahu apa-apa soal diri kita. Sudah, tidak usah mengelak. Bagaimana perasaan kalian jika seseorang yang kalian sukai diam-diam mengamati linimasa profil Instagram kalian?
Semua perasaan-perasaan itu muncul dan nyata adanya. Kali ini, padamu.
Yang seingatku pernah lupa membawa kacamata minus dua mu lalu tertukar dengan milikmu yang lama—yang angka minusnya masih rendah sehingga matamu harus menyipit ketika menembus jalanan tol yang gelap nan sepi, juga setelahnya harus menyalakan lampu jauh, agar bisa tiba di kotamu dengan selamat.
Aku kadang membayangkan kalau saja aku dapat meminjamkan kacamata minus dua milikku, mungkin kau tak sampai bersusah payah untuk memandang jalanan yang gelap itu. Maafkan aku, ya. Habisnya kamu pun tak lekas bercerita saat itu. Tapi, ya, sudahlah.
Setidaknya, kamu sudah membiarkan aku tahu bahwa kamu sudah tiba di rumah pukul 4 pagi sembari mengirimkan pesan,
“Aku sudah sampai.”
Hati mana yang tak lega setelah membaca ketiga kata tersebut?
****
Lalu pada hari-hari berikutnya, ribuan pesan menghujaniku lebih banyak.
Semuanya darimu.
Mulai dari pembahasan tempat-tempat yang kerap kita kunjungi,
saling melempar rekomendasi film, hingga bagaimana cara kita berdua mengapresiasi diri sendiri.
“Jangan lupa untuk mengapresiasi dirimu, ya!” katamu, melalui sebuah pesan singkat yang kubaca sekelebat dari layar telepon genggamku. Kubayangkan nadamu tatkala mengucapkannya—pasti dengan penuh semangat.
Jemariku lekas beradu dengan layar telepon genggamku, memunculkan kalimat demi kalimat yang berisi pertanyaanku:
“Menurutmu, mengapresiasi diri sendiri bisa dengan cara apa? Caramu, lebih tepatnya. Aku ingin tahu.”
Aku menekan tombol “kirim”
Dalam waktu sembilan menit, aku kemudian mendapatkan jawaban itu.
“Tentu apa saja. Kalau pergi ke coffeeshop favorit, mencoba seluruh manual brew yang tersedia…”
“….dan tentu saja, menghisap rokok.”
Aku menatap lama-lama layar telepon genggamku. Membaca kalimat yang baru saja kau kirimkan melalui pesan singkat itu berulang-ulang.
“Senang mengetahuinya.” balasku.
“Tapi aku ingat kamu pernah bilang katanya sedang mencoba berhenti merokok? Namun kalau hal itu masih menjadi sesuatu yang ingin kamu lakukan, maka, lakukanlah..” aku menambahkan beberapa kalimat setelahnya.
Sesaat kemudian, serangkaian kata ini terlintas di otakku:
“Tubuhmu paham kapan harus berhenti.”
***
~
Iya, berhenti.
~
Nampaknya, bersamaan dengan dikirimkannya pesan singkat itu—berhenti sudah pesan-pesan yang semula saling dikirimkan.
Tak kudengar lagi nada dering khas bunyi pemberitahuan saat pesanmu masuk.
Pun, tak dapat kujumpai namamu muncul dalam layar telepon genggamku.
Dialog-dialog tengah malam yang seperti biasa kita lakukan, bercerita tentang apa-apa yang kita lewati pada hari itu, sudah berhenti.
~
Baiklah.
Setidaknya, kamu pernah mampir.
Lain kali, jangan lupa bawa kacamata minus dua mu, ya.
Supaya kamu selamat sampai tujuan, hingga berhasil menemukan rumah yang nyaman untuk kamu tinggali—sampai ujung waktu.