Lambat laun kita menjadi setabah tanah, menaungi genangan air di jalanan selepas hujan reda.
Begitulah nampaknya rindu di antara kita; yang terkadang diam-diam menggenang di sudut mata.
---
Sabtu pagi di awal hari. Tanah basah akibat hujan.
Entah kenapa, aromanya sesedap asap kopi. Tersirat pula aroma tubuhmu yang khas.
“Sial..,” pikirku.
Dalam tarikan napas yang panjang, rupanya, di otakku masih tetap kamu saja yang datang.
Sudah dua pekan ini tak lagi kudapati dirimu muncul dari balik pagar rumahku.
Perjalanan-perjalanan pendek menuju ke tempat makan yang letaknya tak jauh dari sini juga sudah mulai jarang kutemui.
Dunia sedang menunjukkan perubahannya sedikit demi sedikit.
Jalanan mulai sepi bahkan pada saat terik matahari masih menyinari.
Anehnya, hal itu terjadi di hampir seluruh belahan dunia.
Mengapa dunia sekejap menjadi tidak baik-baik saja?
Lalu mengapa, di atas semua itu, ada rindu yang harus dikorbankan?
Aku mulai sering membaca ulang percakapan kita. Nampaknya sekarang aku dapat kembali mendengar suaramu meski hanya di dalam ingatan.
Aku ingat saat kali pertama menolak menerima kenyataan bahwa dunia ini sedang menunjukkan masa kritisnya.
Aku ingat pernah menganggap bahwa dunia ini masih sama seperti kemarin-kemarin.
Sampai akhirnya, aku menyaksikan sendiri kala kekhawatiranmu semakin menjadi.
Pada minggu-minggu berikutnya, tak ada lagi pertemuan.
Dari balik jendela kamarku yang gelap, aku mengantarkan sebuah pesan berisi: “Jaga dirimu selalu, ya.”
Andai saja kamu tahu, bahwa resah ini semakin meletup-letup.
"Satu pertemuan saja akan dapat mengobatinya.” pikirku dalam hati.
Hanya saja, saat ini, dunia sedang tak mengizinkan kita untuk saling bertukar peluk.
~
Masih di hari Sabtu.
Aku menyematkan rindu pada derasnya hujan yang kala itu memaksa kita untuk menepi dan berteduh.
Kita, yang saat itu masih dapat menciptakan dekap hangat kala jemari kita saling bertaut.
Rintik hujan yang menghantam tanah kemudian menjadi pengisi lengang tanpa adanya obrolan.
Dan itu adalah saat bahagiaku bersamamu.
Sebab tak butuh membicarakan banyak hal, namun hati kita terasa dekat.
Hal itu jauh terjadi sebelum masing-masing dari kita menjalani kehidupan seperti ini.
Sekarang ini. Kita saling bersembunyi dari balik dinding, tempat kita menaruh rasa percaya bahwa ia dapat menjauhkan kita dari serangan buruk yang dapat menghantam sewaktu-waktu.
“Kamu ingat kan, aku pernah bilang bahwa tahu-tahu merasa sangat rindu?”
Pertanyaan itu kamu kirimkan melalui sebuah pesan singkat. Seketika, membuat otakku mencari-cari ingatan mana yang dahulu pernah kusimpan rapat.
“Oh iya, tentu ingat!” jawabku.
“Mungkin memang merasa aneh karena biasanya dapat menemuimu barang seminggu sekali, atau bahkan terkadang lebih dari itu.” Ucapmu kembali.
Di layar telepon genggamku, dapat terbaca bahwa kamu sedang mengetik sesuatu dan cukup lama.
Aku menunggumu.
Aku selalu setia menunggu hadirnya pesan-pesanmu.
Saat pesan itu tiba, nafasku sedikit tercekat.
Ada sesuatu yang memaksa keluar dari mataku.
Namun dengan getirnya tetap bisa tertahan.
“Sepulangnya aku dari kantor, sebenarnya aku melewati sisi belakang rumahmu. Namun kupikir, di saat-saat seperti ini, kita sebaiknya tidak bertemu.”
Itu adalah pesan yang kamu kirimkan.
Yang pada akhirnya, membawa obrolan kita pada harapan-harapan saat pandemi ini telah berakhir.
Termasuk di dalamnya menyampaikan serangkaian kalimat berwujud rindu meski kata tersebut hanya diucapkan secara tersirat.
"Tidak apa-apa, sayang.” kataku.
“Setidaknya kita dibuatnya belajar untuk menjadi kuat dan setabah tanah. Meski kerap diinjak oleh ribuan pasang kaki, kita tetap mampu menaungi genangan air di kala hujan turun. Seperti halnya kita. Dunia sedang menguji banyak penghuninya. Jika kita mau bersabar dan menahan diri untuk tidak bertemu, kelak dunia akan menyajikan pertemuan yang lebih menyenangkan dari sebelum-sebelumnya.”
Pesan itu terbaca olehmu.
Sedetik kemudian, kamu membalasnya.
“Aku hanya berharap rindunya segera tuntas.”
Dari sudut bibirku, terbentuk sebuah senyuman.
Sembari membayangkan kamu duduk bersila di ruangan ini dan turut membalas senyumanku.
Sementara kita menunggu dunia pulih, mari tetap saling mengirimkan pesan sebagai wujud kerinduan meski sedang tak saling pandang.