BARA (NASKAH TEATER)
Naskah Drama
Kutipan Naskah Drama BARA (NASKAH TEATER)
Karya lacahya
Baca selengkapnya di Penakota.id

BARA

Karya : Lacahya dan Beni Dewa

 

Seorang perempuan berada di tengah panggung. Penerangan terlihat hanya dari sebuah senthir. Dia tampak menyisir rambutnya. Wajahnya tampak gelisah. Perlahan nembang.

 

NYAI AJENG           : “Hati wanita mana yang tidak berduka jika suaminya berniat meminang perempuan lain, yang lebih cantik, jelita, dan lebih elok. Meski berulang kali hal ini terjadi, masih saja meninggalkan lara di hatiku.

(tertawa sinis) Namun perempuan itu terlalu kurang ajar. Segala pesona yang dimiliki Kanjeng rupanya mampu ditolak. Kekayaan, kejayaan, dan kehormatan di tempat ini tak juga membuatnya tergiur. Sungguh perempuan dengan prinsip yang kuat.

Gadis pesisir ayu yang telah menarik perhatian Kanjeng itu, benar-benar membuat saya merasa kagum dengan tekad dan kebulatan hatinya. Di balik keanggunannya, terpancar ketegasan saat menolak lamaran Kanjeng. Meski penolakannya justru membuat Kanjeng merasa semakin tertantang untuk memilikinya.

Sementara saya, saya tidak kuasa menolak keinginan Kanjeng. Bagi saya: sabda pandhita ratu, terlebih karena saya adalah wanita bermartabat yang harus patuh pada keinginan suami. Sudah kodrat wanita untuk masak, macak dan manak. Prestasi paling tinggi nilainya bagi perempuan adalah ketika ia menikah dan … memiliki anak.”

 

(MBOK EMBAN masuk, tak sengaja melihat kegelisahan dari NYAI AJENG)

 

MBOK EMBAN        : “Ndoro ayu, kenapa Ndoro kembali bermuram durja?” (Mengambil sisir dan menyisiri NYAI AJENG)

 

NYAI AJENG           : “Bagaimana aku tidak muram, Mbok? Aku kini tengah memegang pisau bermata dua. Sebagai perempuan Jawa, sangatlah tabu menolak keinginan lelaki, namun sebagai wanita aku tidak ingin melakukannya.”

 

MBOK EMBAN        : “Tentang Mendut, Ndoro?”

 

NYAI AJENG           : “Siapa lagi, Mbok? Meski dari daerah pinggiran, dia mampu menunjukkan kehormatannya. Tembok yang dibangunnya terlalu kokoh untuk dihancurkan dengan pesona duniawi. Aku menemukan sosok wanita merdeka dari dirinya.”

 

MBOK EMBAN        : “Benar, Ndoro, meski kadipaten tempatnya telah kalah oleh Mataram, meski dia akhirnya diboyong sebagai rampasan perang, namun dia tak mau mengaku takluk. Mendut mampu menunjukkan sosok dari para leluhurnya, yang tak ingin menyerah karena keadaan.”

 

NYAI AJENG           : “Namun aku tahu bagaimana Kanjeng akan bersikap. Kanjeng juga seorang pejuang. Dia akan terus berupaya untuk mendapatkan keinginannya. Apalagi kegandrungannya pada Mendut mengingatkan seperti saat dulu dia menggodaku.”

 

MBOK EMBAN        : “Ini sepertinya memang akan menjadi perkara yang sulit Ndoro.”

 

WIRAGUNA             : (di balik layar) “Abdi, abdi…! Diriku tersiksa dengan goda ini. Tak tuntas wibawaku tanpa hadirnya Mendut di sampingku. Abdi, abdi! Bawakan aku wanita itu sekarang juga!”

 

NYAI AJENG           : “Nah, kau bisa mendengarnya sendiri, kan, Mbok? Tak pernah bisa aku mengalihkan rasa tresna Kanjeng pada wanita itu.”

 

MBOK EMBAN        : “Tapi, Ndoro juga perempuan pilihan. Ndoro pulalah yang mampu membersamai Kanjeng hingga mencapai puncak kejayaannya. Kanjeng tentu tak akan pernah bisa meninggalkan kenangan akan itu.”

 

NYAI AJENG           : “Teriakan di balik kamar itu telah membuktikan semuanya, Mbok. Aku kenal Kanjeng. Sudah berapa penaklukan yang berhasil diraih Kanjeng bersama Sultan? Kanjeng akan mendapatkan apa yang memang diinginkannya. Aku sendiri kasihan pada Mendut. Sepertinya perempuan= itu harus bersiap menghadapi badai di depan sana.”

 

WIRAGUNA            : (di balik layar) “Mendut, Menduuttt. Wanita Jawa itu begitu menggoda. Senyumnya sepahit madu, rambutnya hitam arang, bibirnya semerah delima merasuk jiwa. Keelokannya mengakar kuat di dalam angan. Sekali tercerabut maka habis sudah kewarasanku. Mendut… Mendutt…”

 

NYAI AJENG           : “Nah, dengar, Mbok. Aku sepertinya harus ke sana sekarang juga. Harus kuredam meski sepertinya tak mungkin.” (mengambil kantong uang) “Mbok, sebagai sesama wanita, aku titip Mendut padamu yoo. Bawalah sedikit bekal ini untuk membantunya.” (memberikan kantong uang pada Mbok Emban) “Perempuan yang memegang teguh prinsipnya haruslah disangga. Berbanggalah kaum wanita yang sanggup memilih takdirnya sendiri.”

 

MBOK EMBAN                    : “Sendiko dhawuh, Ndoro Ayu.” (Keluar panggung)

 

NYAI AJENG                       : (Berbicara sendiri) “Mendut, aku percaya, meski bukan terlahir dari penggedhe, namun jiwamu begitu besar. Perempuan itu bagaikan beringin. Yang tetap kokoh meski angin menerpa. Bahkan akar-akarnya mampu menembus bebatuan yang menghalangi.”

 

WIRAGUNA MASUK

 

WIRAGUNA             : “Ke mana abdi sialan itu. Kenapa mereka tak juga menghadap padaku?”

 

NYAI AJENG           : (menarik napas panjang dan berbalik) “Tenanglah, Kanjeng. Bukankah malam ini waktunya aku yang menemanimu?” (Sambil memijit pundak dan lengan Wiraguna).

 

WIRAGUNA             : “Apa pun yang terjadi, aku harus bisa mendapatkan wanita itu! Penaklukan ini tak akan lengkap tanpa adanya Mendut. Mendapatkannya bukan sekadar merengkuh perempuan, tapi ada kebanggaan penaklukan pesisir utara Jawa. Percikan api pemberontakan itu harus mampu kupadamkan sepenuhnya.”

 

NYAI AJENG           : “Roro Mendut yang Kanjeng maksudkan?”

 

WIRAGUNA            : “Siapa lagi kalau bukan Roro Mendut! Perempuan tak tahu diri itu menolak lamaran yang bahkan dihantar langsung olehmu. Istri dari Tumenggung Wiraguna!

 

NYAI AJENG            : “Apakah hal tersebut yang membuat Kanjeng terlihat risau dan tampak begitu menyiksa diri?”

 

WIRAGUNA            : “Begitulah adanya, Nyai. Sebelum aku mendapat Mendut, maka tak akan pernah sempurna kehormatanku. Akan ada kekosongan dalam diri ini.”

 

NYAI AJENG            : “Mungkin cara saya membahasakan kehendak Kanjeng ke Roro Mendut yang membuatnya menolak lamaran tersebut.”

 

WIRAGUNA            : “Tidak! Aku tahu kau orang yang bagaimana, Nyai. Telah kunikahi engkau selama bertahun-tahun, dan aku tahu betul perangai serta tindak tandukmu. Memang pada dasarnya perempuan pesisir tak tahu diri itu yang terlalu pongah!”

 

NYAI AJENG            : “Hal itu yang perlu Kanjeng maklumi, meski dia bukan berdarah bangsawan ataupun priyayi, rupanya sangat cantik jelita. Itu yang membuatnya tak akan mengurangi kehormatan Kanjeng apabila mengambilnya menjadi selir untuk mendampingi Kanjeng di istana ini.”

 

WIRAGUNA : “Dan berani-beraninya, anak kurang ajar itu menolak anugerah Tumenggung Wiraguna yang sudah menjadi tangan kanan Sri Sultan. Dia kira, dia itu siapa! Sungguh tak tahu diuntung! Sesekali ia harus merasakan bekas tanganku ini!”

 

NYAI AJENG : “Sabar, Kanjeng. Jangan membuat hal ini justru menjatuhkan martabat Kanjeng di hadapan Sri Sultan. Kanjeng bisa memaksa Mendut dengan hukuman lain.”

 

WIRAGUNA : “Baiklah, Nyai. Akan aku turuti saranmu. Katakan pada Mendut: pajak yang harus ia bayarkan naik berkali-kali lipat! Ia harus membayar pajak sebanyak sepuluh real setiap harinya. Agar ia merasa kesulitan dan akhirnya menyerahkan dirinya padaku. Hahaha!”

 

NYAI AJENG : “Nggih sampun Kanjeng. Kalau sedianya persoalan itu telah mendapatkan sedikit titik terang, maka ijinkanlah malam ini aku menuntaskan tugas sebagai seorang wanita bagi lelakinya.” (menyampirkan selendang ke leher Kanjeng dan membawanya keluar. Lampu padam).

 

 

ADEGAN 2

Suara musik perlahan muncul. Sebuah lampu perlahan menerangi panggung. Terlihat bayangan seorang lelaki dan perempuan menari dengan anggun. Namun kegelisahan begitu dirasakan perempuan itu. Senyumnya terasa begitu getir. Hingga akhirnya tarian perempuan itu terhenti.

 

RORO MENDUT      : “Lae lae, semesta terkadang begitu lihai mengoyak benang yang kurajut. Kecantikan yang diidamkan begitu banyak perempuan, kenapa hanya menjadi petaka bagiku? Buat apa menjadi ayu jika membuat hidup bagai burung dalam sangkar? Kenapa ia memilihku untuk menjadi inangnya?”

 

PRANACITRA          : “Kenapa diajeng berpikiran seperti itu. Tak pernah Gusti salah dalam memberikan anugerah-Nya. Kecuali atas apa yang sudah sesuai dengan kehendak-Nya.”

 

RORO MENDUT      : “Tak ada ucapan yang kukeluarkan, kecuali itu yang kurasakan Kakang. Lihatlah, wanita kini tak ubahnya menjadi harta rampasan yang diboyong ke sana ke mari. Menjadi benda yang dipamerkan kecantikan dan keanggunannya.”

 

PRANACITRA          : “Dari mana pemikiran itu muncul. Wanita adalah induk dari segala kehidupan. Penggambaran swargaloka yang ada di dunia. Dia adalah tiang dari sebuah rumah, tiang dari negara. Kokoh atau tidaknya, tergantung dari tiang penyangganya.”

 

(Mendut memantik rokok yang dipegangnya, tertawa sinis. Pranacitra hanya mampu melihatnya dalam-dalam)

 

RORO MENDUT      : “Tapi inilah kenyataannya. Lihatlah Wiraguna, lelaki yang hanya mengandalkan kekuasaan, tak akan mengerti apa artinya sebuah perjuangan. Wanita baginya tidak ada bedanya dengan udud yang kupegang. Diisap hanya untuk dihabisi manis-manisnya, membuatnya terlihat begitu gagah lalu dibuang ketika sudah hilang nikmatnya.”

(Diisapnya rokok perlahan, dan diembuskan kuat-kuat ke atas)

“Tapi akulah bara pada udud yavung terlanjur dinyalakannya. Bara, tak kan pernah mudah padam. Salah kau memegang maka bersiaplah kau terbakar.

Ya, Aku wanita pesisir utara Jawa. Aku dilahirkan dari tanah orang-orang yang tak akan menyerah! Maka bersiaplah kau menjadi karang yang dihantam ombak pemberontakan.

Walaupun kadipaten dibumi hanguskan, dan kau, Wiraguna, menyeretku ke sini, bukan berarti aku harus tunduk pada Matara ! Bukan berarti aku sudah kalah! Perjuangan ini tak akan selesai bagiku. Apa pun yang terjadi aku tak akan takluk!”

 

PRANACITRA : “Sabar, Diajeng. Lihatlah ke dalam mataku, rasakan di dalam dadaku. Tak akan kubiarkan perempuanku menerjang badai seorang diri. Akulah yang akan berdiri di depanmu. Biarkan diriku, Pranacitra, seorang lelaki pengurus kuda ini, menjadi nahkoda yang membawa kapal ini mengarungi badai. Dalam waktu dekat kan kubawa Diajeng kabur. Kita pergi untuk memerdekakan diri kita.”

 

MENDUT      : “Aku percaya kakang, aku percaya…”

(Lampu padam)

 

 

BABAK 3

Mbok Emban datang untuk bersiap membuka lapak. Ditatanya mbako dan papir.

 

MBOK EMBAN        : “Den, Den Mendut sudah siap, kan? Sekilas, Simbok lihat para lelaki itu sudah bersiap menyerbu daganganmu lho, Den.”

 

RORO MENDUT      : “Sudah siap leh, Mbok.”

 

MBOK EMBAN        : “Ya sudah kalau begitu. Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga, ya, Den. Perempuan secantik Roro harus berjualan di pasar seperti ini. Kenapa perempuan semulia Roro harus terjatuh pada lubang nestapa? Menjalani hidup seperti terkurung dalam sangkar.”

 

RORO MENDUT      : “Sudahlah, Mbok. Ini memang sudah takdir yang harus kulakoni. Selama aku masih bisa mengupayakan dan memenuhi tuntutan-tuntutan Tumenggung yang tak masuk akal itu, perjuangan masih terus berjalan. Perjuangan para pendahulu masih bergelora dalam darahku. Jangankan dibakar, mati dengan keris pun akan aku terima, asal tidak menjalankan titah yang satu itu!”

 

MBOK EMBAN        : “Hus, ngawur. Jangan bicara sembarangan, Den. Bagaimanapun Den Roro tak akan pernah sendirian. Ada banyak orang kan menemani perempuan yang teguh menjaga kehormatan seperti Aden. Saya pun akan menemani meski di kondisi berat apa pun. Seperti atas kehendak Nyai Ajeng maupun atas keinginan saya sendiri.”

 

RORO MENDUT      : “Iya juga ya, Mbok, mungkin tanpa bantuan Nyai, saya tak pernah mampu berjualan udud seperti ini. Melonggarkan batas waktu atas paksaan yang terlalu edan itu. Saya tak pernah mengira, sosok Nyai begitu kuat mempertahankan perasaannya. Menyembunyikan gundah di balik senyumannya.”

 

(Pranacitra masuk dengan membawa ayam sabungnya dalam keranjang, Mendut dan Mbok Emban nampak sudah siap menjual udud)

 

MBOK EMBAN        : “Oalah Den Bagus sudah datang. Kadingaren sepagi ini sudah datang, Den.”

 

PRANACITRA          : “Iya, Mbok, rasanya sudah kangen sama udud itu. Sehari tak merasakannya seperti puasa bertahun-tahun.”

 

MBOK EMBAN        : “Jujur saja, Den, kangen udud ini apa yang jual?”

 

PRANACITRA          : “Ah, Mbok ini. Tentu saja Mbok tahu jawabannya. Rasa manis ini tentu juga berasal dari gadis yang manis bukan? Eh, bagaimana Mbok, adakah lengkung senyum termanis di wajahnya?”

 

MBOK EMBAN        : “Lho, kalau itu jangan diragukan, Den. Senyum itu menjadi bumbu rahasia yang tak akan pernah didapatkan dari tempat lainnya.”

 

PRANACITRA          : “Nah, itu yang memang kucari, Mbok. Ya sudah aku pesan dengan ukuran paling pendek. Biarkan diriku berlama-lama dengan bekas bibir pujaan hatiku.”

 

MBOK EMBAN        : “Kalau ini 10 real, Den.”

 

PRANACITRA          : “Aduh, kenapa begitu mahal, Mbok. Kau tahu kan, Mbok, sebagai penjaga kuda bayaranku tak seberapa. Tak bisakah dikurangi, Mbok? Setengah real saja begitu?”

 

MBOK EMBAN        : “Kalau setengah real ya, yang ini, Den. Yang masih panjang. (memainkan puntung rokok yang diapit jarinya) Atau bekas bibirku saja, Den, gratis juga tidak apa-apa.”

 

PRANACITRA          : “Aahh, Simbok ini. Aku maunya yang puntung ini saja. Karena di puntungnya, pada kulit jagung itu masih tersisa bekas bibirnya yang melekat. Semakin pendek puntungnya, semakin lama pula udud ini menempel di bibir kekasihku.”

 

MBOK EMBAN        : “Nah, Aden itu tahu. Kalau yang namanya orang sudah gandrung, jangankan mengeluarkan beberapa kepeng, menguras samudra pun pasti bakal dilakoni. Apalagi seorang pria gagah perkasa seperti Aden.”

 

PRANACITRA          : “Ah, Mbok ini bisa saja. Baiklah bawakan aku udud terbaik hari ini.”

 (Pranacitra mendekati Mendut yang mengintip dari bilik tempatnya berjualan. Keduanya saling menatap dan terpesona)

 

PRANACITRA          : (tanpa sadar) “Tidak aku sangka di tempat ini aku menemukan bunga yang mekar dengan begitu ayu.”

 

RORO MENDUT      : “Kangmas terlalu memujiku.”

 

PRANACITRA          : “Pujianku tak ada apa-apanya dibanding senyuman yang muncul dari lengkung bibirmu.”

 

PRANACITRA          : “Ada rindu yang tabah dan betah singgah di sini. Perempuan ayu, menjeratkan rasa begitu di dalam hati.”

 

RORO MENDUT      : “Kecemasan dan kegelisahan berusaha menyusup di sela-sela dadaku. Tapi aku sanggup mengabaikannya karena hangat sentuhanmu.”

 

PRANACITRA          : Adakah ruang bagi waktu untukku membersamaimu?

 

RORO MENDUT      : “Di pelukmu aku menemukan sepi.

Di dadaku, kau mengenali sunyi.

kini semua tanggal, hanya tenang yang tinggal”

 

(Di tengah Pranacitra dan Mendut berduaan, tiga warga terlihat masuk dengan berbagai tingkah. Berebut paling dulu mendapatkan udud yang dijual oleh Mendut.)

 

WARGA 1                 : “Ora iso, pokoke aku sek!”

 

WARGA 2                 : “Ooo, tidak bisa, kau antri di belakangku!”

 

WARGA 3                 : “Kalian itu orang-orang tak berduit, mundur! Biarkan juragan tanah ini yang duluan!”

 

WARGA 2                 : “Enak saja! Mentang-mentang kaya lalu tak punya adab! Sing tuo ndisik!”

 

WARGA 1                 : “Jelas-jelas saya yang datang duluan, jadi ya, saya yang berhak dapat giliran pertama!”

 

WARGA 3                 : “Lho, lho, lho, kalian ini yang ndak punya adab! Tidak menghargai orang yang paling kaya di kampung ini! Opo tak tuku ndasem?”

 

WARGA 1                 : “Lho, nek ngomong iki sing toto!”

 

WARGA 2                 : “Wis, wis, nek tukaran trus iki kapan tukune!” (memisahkan dua orang yang sedang adu mulut tapi tidak sengaja terkena pukulan) “Asem, malah kekampleng. Bocah kok angel kandanane!

 

(Ketiga warga akhirnya bertengkar sendiri, lalu Warga 1 terpelanting ke depan Mendut)

 

PRANACITRA          : (Menghalangi warga 1 dan melindungi Mendut)

 

WARGA 1                 : “Wooo, malah ono sing ndisiki. Kakang, Pakde, ini lho malah ada yang berani menggoda Mendut kita!”

 

WARGA 3                 : “Ooo, dia tidak tahu siapa yang berkuasa di sini.”

 

WARGA 2                 : “Wah, kalau begini, kita harus bersatu!”

(Ketiga warga menyerang Pranacitra, tapi ketiganya kalah)

 

RORO MENDUT      : (menghampiri Pranacitra) “Kangmas, Kangmas, tidak apa-apa?”

 

PRANACITRA          : “Jangan khawatir, saya baik-baik saja.”

 

WARGA 3                 : “Penghinaan ini tidak bisa kami terima. Tunggu saja, akan kami laporkan ke Tumenggung!”

(Ketiga warga kabur, menabrak Wiraguna yang masuk panggung)

 

WARGA 1                 : “Kurang ajar, sopo iki nabrak-nabrak.”

 

WIRAGUNA             : “Piye, menurutmu sopo?”

 

WARGA 1                 : (kaget) “Waduh, Tumenggung.”

 

WARGA-WARGA    : “Ampun, Ndoro!”

 

WIRAGUNA             : “Oo, kalian ini tak beri tugas sebagai telik sandi, malah main-main seperti ini!”

 

WARGA 3                 : “Mboten, Ndoro, anu, niku, anu …”

 

WIRAGUNA             : “Ona-anu, ona-anu, anune sopo?!”

 

WARGA 2                 : “Menika, Mendut, Ndoro.”

 

WIRAGUNA             : “Opo? Anune Mendut?”

 

WARGA 2                 : “Nggih, eh, mboten, eh, nggih, Ndoro.”

 

WARGA 3                 : “Mendut … menggunakan kecantikannya untuk membuat udud yang dijualnya laku, ia mampu membuat para lelaki menghabiskan kepeng demi kepeng.”

 

WARGA 1                 : “Betul, Ndoro, maka dari itu ia mampu membayar upeti yang Ndoro tetapkan.”

 

WARGA 3                 : “Salah satu lelaki yang terbuai, ya, adalah lelaki yang berdiri di sebelah Mendut itu, Ndoro.”

 

WIRAGUNA             : “Kurang ajar! Lelaki mana yang berani mengganggu milik Wiraguna, Patih dari Mataram!”

 

WARGA 2                 : “Modyarr kowe, rasakno! Salahe nglawan kene.”

 

WIRAGUNA             : “Meneng kowe!”

 

WARGA 2                 : “Eh, nggih, Ndoro.”

 

WARGA 1 dan 3       : “Wes, wes, wes, meneng ae.”

 

WIRAGUNA             : “Kakekane, bukankah kau Pranacitra?”

 

PRANACITRA          : “Leres, kula Pranacitra, Kanjeng.”

 

WIRAGUNA             : “Kau Pranacitra, terlalu berani dirimu menentangku. Kau kupungut dari pinggiran, kuberikan pakaian dan kupercayakan kuda terbaikku padamu. Tapi ternyata kau justru menjadi duri dalam daging.”

 

PRANACITRA          : “Tak berani hamba menabur racun pada susu yang telah diberikan. Hanya, hamba tak kuasa melihat rudapaksa.”

 

WIRAGUNA             : “Apa yang kau maksud dengan kata-katamu itu? Jangan terlalu kau berani berucap kata. Tak tahukah kau, jika perempuan yang berada di belakangmu itu merupakan wanitaku? Apa yang salah dengan itu?”

 

MENDUT                  : “Wanitamu? Barang rampasan maksudmu?”

 

WIRAGUNA             : “Mendut, apa yang kau katakan. Hadirmu adalah hadiah bagiku. Kejayaanku ini tak akan sempurna tanpamu. Bukan semata-mata Wiraguna menginginkan Mendut, melainkan gelora jiwamya, keberaniannya, api kemerdekaannya. Mendut, kamulah yang akan merangkul dan menjadikan kesuburan bagi Mataram.”

 

MENDUT                  : “Kemerdekaan? Tak ada syarat upeti dalam rasa tresna. Di manakah kebanggaan dari penaklukan seorang wanita?”

 

WIRAGUNA             : “Tak jugakah kau mengerti Mendut? Kau telah berani melawan kehendak Tumenggung Mataram. Kau membuat persoalan, kau juga yang harus menjawabnya! Panglima besar harus sakti dan jaya, dari mana kesaktian itu? Dari pengabdian para wanitanya.”

 

MENDUT                  : “Apakah wanita harus selalu menurut?”

 

WIRAGUNA             : “Baiklah, maka jika sangkar emas tak cukup membuatmu takluk, maka tali kekang akan menjadi jawabmu. Mendut, kau harus ikut sekarang. Dengan ataupun tanpa sepertujuanmu!”

 

PRANACITRA          : “Maka bersabdalah sang Begawan kepada Resi Bisma yang sedang berduka kecewa, menerima nasib hina harus melawan Srikandi yang wanita. Ada saatnya Resi Bisma menyambut pagi harinya yang jaya, ada saatnya pula siap menyambut petang yang jingga. Kearifan manusia diukur dari cara mengolah senja saat hari tuanya.”

 

WIRAGUNA             : “Wiraguna menghendaki Mendut bukan karena perempuan cantik. Tapi karena ia merupakan lambang pemberontakan rakyat pantai utara.”

 

PRANACITRA          : “Mengapa sekeras itu paduka bersikap?”

 

WIRAGUNA             : “Jika aku tak mampu menjadi gunung yang kokoh, tak mungkin aku menjadi benteng bagi negeri ini. Yang perlu kau tahu, Wiraguna tidak mengejar perempuan tapi kehormatan Mataram. Pranacitra akan menjadi bijak jika kau menyerahkan perempuan itu padaku!”

 

PRANACITRA          : “Janji telah kuukir, tak akan aku menyerahkan perempuan yang kutresnani ini pada orang yang menghamba keserakahan.”

 

WIRAGUNA             : “Jika itu yang kau pilih maka kau harus bersiap habis di tanganku!”

 

PRANACITRA          : “Aku mungkin hanya pemuda biasa, namun aku bukanlah lelaki yang diajarkan untuk menjadi pecundang.”

 

MENDUT                  : “Kakang Pranacitra, akankah kita mungkin menghindari dari takdir ini?”

 

PRANACITRA          : “Inilah saatnya. Saat kita tidak lari, tapi menjemput dan menghadapi. Senjata melawan keyakinan, siapa yang akan menang?”

 

(WIRAGUNA menyerang Pranacitra, dua abdi lainnya menahan MENDUT dan MBOK EMBANnya. Pranacitra kalah dan mati di tangan WIRAGUNA)

 

MENDUT                  : “Kakaang….”

 

WIRAGUNA             : “Masa depan sepertinya sudah tertuliskan, Mendut. Tak perlu lagi menambah duka yang tak berguna. Kemarilah Cah Ayu (tertawa terbahak).”

 

MENDUT                  : “Tak akan pernah sudi aku menyerahkan diri untuk lelaki sepertimu.”

 

WIRAGUNA             : “Kenapa kau tak juga menyerah. Bukankah masa depan akan menjadi cerah jika kau mau bersanding denganku?”

 

MENDUT                  : Tak pernah ada masa depan yang dipaksakan. Bener kang asale saka Pangeran iku lamun ora darbe sipat angkara murka lan seneng gawe sangsaraning liyan.

Kebenaran yang berasal dari Tuhan itu tiada bersifat angkara murka dan tidak menyengsarakan orang lain. Tak ada cinta yang didapatkan dari pertumpahan darah.

 

WIRAGUNA             : “Sudahlah, cukupkan perlawananmu yang sia-sia itu.”

 

MENDUT                  : “Bagiku perjuangan ini tak akan pernah sia-sia. Namun keinginanmu dalam memperbudak wanita yang akan melebur bersama angin tanpa meninggalkan bekas apa pun. 

 

WIRAGUNA             : “Tak pernah kutemui perempuan yang begitu keras seperti dirimu. Apalagi yang memberatkanmu? Aku pun eman, pemuda sebagus itu harus mengorbankan hidupnya. Sudah cukup Pranacitra yang menjadi tumbal.”

 

MENDUT                  : “Tumbal? Tumbal kaubilang? Dia tidak akan menjadi tumbal kalau bukan karena keserakahanmu! Diam! Mulut kotormu tak layak membicarakan kakang Pronocitro. Kalau kau eman dengan kepergiannya, maka susullah Kakang Pronocitro!

(Mendut menyerang WIRAGUNA dengan keris yang ada tertancap di perut Pranacitra. Namun Mendut tetap kalah, dia berhasil diseret, namun dengan pisau kecil dia memilih menusukkan ke perutnya. Mendut sekarat)

Dalam tubuh ini mengalir darah yang tak pernah menyerah. Aku akan tetap berdiri sekalipun karang menancap tajam hingga ombak mengoyak oyak diri. Karena aku perempuan pesisir. (menancapkan pisau kecil ke perut)

 

WIRAGUNA             : “Menduuut… Menduuut…. Ternyata segala yang dipaksakan akan berujung penyesalan.”

 

TAMAT 


28 Jan 2022 19:27
306
Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: