Ketukan Pintu di Tengah Malam
Cerpen
Kutipan Cerpen Ketukan Pintu di Tengah Malam
Karya laealfipulungan
Baca selengkapnya di Penakota.id

 


          Malam itu, suasana di salah satu kampung di pedalaman Sumatera sungguh tidak karuan. Selepas isya, Pak Gurdak, selaku kepala desa, memerintahkan semua laki-laki untuk berkumpul, membahas kejadian yang sudah beberapa malam ini terus terulang. Setiap malam, ketika orang-orang sudah tertidur, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu. Menurut laporan dari korban, ketukannya sebanyak tiga kali, dimana ketukan yang pertama selalu lebih keras, kemudian terdengar pelan di ketukan yang ke dua dan jauh lebih keras di ketukan yang ke tiga. Pelaku juga selalu meninggalkan jejak ketika datang. Bortop, warga yang pertama kali melapor menemukan ayam yang digantung di jemurannya. Ermaida menemukan ratusan katak yang langsung melompat ke arahnya ketika dia membuka pintu. Kotna menemukan batu yang dibungkus kutang dan celana dalam. Warga yang mengaku pintunya diketuk adalah perempuan dan sudah berkeluarga, letak rumahnya juga berjauhan. Bortob berada di utara kampung, tepat di sebelah SD yang dulunya adalah bekas rumah sakit. Ermaida berada di selatan, suara beriak sungai Angkola terdengar jelas dari rumahnya sedangkan Kotna berada agak di tengah, dua rumah dari samping kanan masjid.


           Sesuai instruksi pak Gurdak yang mengaku telah menemui dukun untuk meminta petunjuk. Para laki-laki di kampung itu pun mulai menyebar, menangkap setiap katak yang berkeliaran di teras rumah atau yang bersembunyi di balik rerumputan. Mencari ayam yang masih berkeliaran. Karena konon katanya pelaku bisa berubah menjadi apa pun yang dia inginkan. Malam semakin larut, tetapi pelaku belum juga ditemukan. Newin sudah menangkap puluhan katak dan memukul-mukulnya. Ranto terjatuh karena mencoba menangkap satu dua ekor ayam siam di pohon belimbing. Para warga pun memutuskan untuk menghentikan pencarian malam itu. Beberapa warga langsung pulang ke rumahnya sementara yang lainnya tetap tinggal untuk sekedar mengopi dan menghabiskan sisa rokok sambil bercerita tentang lucunya hidup. Warga yang tetap tinggal kebanyakan adalah pemuda yang masih belum berkeluarga, mereka memilih warung kopi Pak Malik. Warung kopi Pak Malik memang sudah jadi langganan pemuda kampung. Selain karena bisa ngutang, warung Pak Malik hanya buka di malam hari. Menurut Pak Malik, malam hari adalah waktu yang tepat untuk berkumpul bagi mereka yang diabaikan di siang hari. Pak Malik adalah penyuka bintang dan bulan sejati.


           “Pelakunya sudah ditemukan belum, Lae?” Tanya Pak Malik sambil mengantar kopi pesanan warga.


           “Belum kelihatan dia, Tulang.” Jawab Sukri setelah menyeruput kopinya.


           “Kalau begitu, kalian tunggu sampai pagi saja. Siapa tahu nanti dia datang.”


           Mereka pun menunggu sampai pagi, menghabiskan malam sambil bercerita. Namun pada akhirnya tetap pulang juga, karena bagaimana pun rumah adalah tempat paling nyaman di muka bumi. Pak Malik tersenyum lebar ketika mengetahui pendapatannya jauh meningkat malam itu. Dia pun akhirnya punya teman untuk bercerita.


           Pada malam berikutnya, yang ditunggu belum juga datang, tetapi para warga masih berjaga-jaga seperti biasa. Kalau sudah begini, Pak Gurdak pasti akan menghentikan pencarian pelakunya. Benar saja, hingga menjelang subuh tidak ada warga yang mengadu rumahnya diketuk lagi. Pak Malik tentunya sangat senang karena kampungnya akan tenteram lagi, tetapi dia juga sedih kalau besok warungnya pasti akan sepi. Pendapatan akan menurun dan tidak ada teman untuk bercerita lagi. Setelah semua warga pulang, Pak Malik masih terus terpikir, bagaimana jika pencarian pelaku pengetuk pintu itu benar-benar dihentikan.


           Jam sudah menunjukkan pukul 03.35. Beberapa warga terlihat sudah mulai bersiap-siap untuk menjalankan ibadah solat Subuh. Tiba-tiba terdengar suara jeritan yang tidak jauh dari masjid. Sontak warga yang sudah bangun langsung berlari mencari sumber suara. Kali ini adalah rumah pak Gurdak sendiri yang jadi sasarannya. Dan di depan pintu ada sebuah pot bunga.


           Pak Gurdak sangat geram dengan pelaku yang menurutnya sudah tahu kapan warga tidak berjaga lagi. Dia mulai curiga kalau pelakunya adalah warganya sendiri. Malam harinya, warga berkumpul di warung Pak Malik untuk membicarakan solusinya. Pak Malik sangat senang karena warungnya semakin malam semakin ramai saja. Pertemuan itu menarik kesimpulan untuk kembali memanggil dukun, yang lebih sakti, yang bisa langsung mengetahui siapa pelakunya. Warga pun mulai memberikan beberapa saran dukun yang dianggap bisa melakukan tugas ini. Saran dari Pak Sobar adalah saran yang diterima. Para warga pun disuruh untuk berkumpul di lapangan sepak bola besok malamnya sambil membawa sumbangan apapun sebagai tambahan bayaran nantinya. Warga pun satu persatu pulang dengan wajah penuh amarah. Sementara Pak Malik terlihat kebingungan


           Malam yang ditunggu pun tiba. Para warga mulai berkumpul di lapangan sepak bola. Mereka datang dengan rasa penasaran dan emosi yang membara. Tidak ingin membuang waktu, Pak Malik mempersilahkan sang dukun untuk langsung melaksanakan tugasnya. Sementara para warga mengumpulkan sumbangannya di sebuah goni yang sudah disediakan. Sang dukun terlihat sudah mulai melakukan ritualnya, mulutnya terlihat komat-kamit, tetapi sulit ditebak apa yang dia katakan. Dia meminta pelakunya segera maju ke depan. Beberapa saat terlihat seorang lelaki jatuh bersimpah di depannya. Dia adalah Anwar, lelaki yang sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak bernama Husein. Para warga terlihat terkejut dengan apa yang mereka lihat. Beberapa warga mendekati Anwar. Anwar mencoba bangkit, lalu menyeka pipi kanannya yang sudah berlumuran darah sewaktu mencium tanah tadi. Dia menatap seluruh warga dengan perasaan bingung, warga membalasnya dengan mata setajam tatapan elang. Suara tangisan seorang wanita pun memecah keheningan malam itu, yang tak lain adalah Tiur, istrinya. Ketika perhatian warga terfokus kepada istrinya, Anwar melarikan diri seperti babi kesetanan yang sudah diburu lama. Beberapa warga mengejar Anwar sedangkan yang lainnya menatap Husein dan ibunya sambil memaki dari belakang.


           “Dasar. Keluarga kurang ajar.”


           Tiba-tiba ada yang mendorong Bu Tiur hingga tersungkur. Husein langsung membalasnya dengan sebuah pukulan keras tepat di pelipis sebelah kanan. Warga tidak diam, mereka membalasnya. Hampir saja anak dan ibu itu mati diamuk massa. Beruntung mereka dibantu oleh Iksan, salah satu orang berpengaruh di kampung itu. Mereka kemudian dibawa ke rumahnya. Di rumahnya, Husein bertemu dengan Dian, anak Iksan. Sejak itulah mereka menjadi dua orang sahabat yang tidak terpisahkan.


                                                                      *****


           Dian masih terus melakukan apa yang diperintahkan gurunya agar doanya dikabulkan oleh Allah. Tetap melakukan salat berjamaah tepat waktu, berdoa diantara azan dan ikamah dan melakukan puasa senin-kamis. Tetapi hari ini Dian terlihat masih sibuk menangkap ikan dengan setrum listrik. Padahal azan sudah hampir selesai.


           Ketika sedang sibuk mengumpulkan ikan yang didapat, Dian melihat seekor ikan mas merah seukuran empat jari sedang melintas dengan santainya di antara kedua kakinya. Tanpa pikir panjang, Dian langsung mengarahkan durungnya ke arah ikan mas itu. Ikan mas itu pun kini sudah berada di durung bersama sebuah benda. Awalnya Dian tidak terlalu memperdulikan benda itu karena yang dia inginkan adalah ikannya. Ketika waktu pembagian hasil, Dian hanya meminta ikan mas itu sebagai bagiannya, yang kemudian langsung disetujui oleh teman-temannya. Sesampainya di rumah, Dian membersihkan durungnya lalu memberikan ikan mas itu kepada ibunya. Sudah tentu ibunya senang. Pandangannya sekarang berhenti pada sebuah benda yang tidak sengaja tersangkut di durungnya sewaktu menangkap ikan mas tadi. Setelah dibersihkan, ternyata itu hanyalah sebuah jam yang sudah karatan dan tidak berfungsi lagi. Dian mencoba jam itu ke tangannya, sembari melihat-lihat apakah cocok dengan dirinya, tentunya setelah jam itu betul-betul dibersihkan dan diperbaiki. Dian tidak sengaja memutar sebuah lingkaran kecil di sebelah kanan jam. Badannya kemudian bergetar. Ketika melihat sekeliling, Dian melihat teman-temannya, lagi.


           “Loh, kalian ada urusan apa di rumahku?” Tanya Dian yang terlihat kebingungan.


           “Itu ada ikan mas.” Teriak Husein sambil menunjuk ke arah ikan itu.


           Dian langsung menengok ke arah ikan. Ternyata itu adalah ikan mas yang beberapa waktu lalu sudah dia berikan kepada ibunya. Dian kembali melihat sekelilingnya. Bukannya tadi aku sudah di rumah? Apa yang sebenarnya terjadi? Dian lalu memegang tangan kirinya. Loh, bukannya jam ini tadi aku dapat bersamaan dengan ikan itu? Dian semakin bingung dengan semua yang dia lihat.


           “Hee bujang. Lihat! Ikannya sudah lari.”


           Dian langsung melihat ke arah ikan yang memang sudah tidak ada lagi.


           “Ini bagianmu Dian. Andai saja kamu berhasil menangkap ikan mas itu, tentu bagianmu pasti lebih banyak dari ini.” Ucap Kurnia sambil memberikan bagian Dian.


           Dian masih kebingungan. Dia pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Di rumah, Dian memberikan bagiannya kepada ibunya. Ibunya terlihat senang. Dian kembali melihat jamnya. Dia ingat betul ketika memutar lingkaran kecil di sebelah kanan jam itu, maka dia kembali pada kejadian yang sudah dia lewati. Dian pun memutar kembali lingkaran kecil itu. Dian memutar ke waktu dimana dia melihat ikan mas tadi. Tiba-tiba badannya kembali bergetar. Dan yang terjadi sama seperti keadaan tadi. Dian hanya bisa tersenyum. Tanpa menunggu perintah Husein, dia langsung menangkap ikan mas itu lalu pamit kepada teman-temannya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Dian masih terbayang-bayang dengan kesaktian jam ajaib miliknya itu. Mungkin ini adalah jawaban dari doaku, pikir Dian. Sudah sejak lama Dian ingin menjadi pahlawan yang disanjung dan berguna bagi orang lain, terutama ibunya. Dian sangat sedih setiap kali ayahnya pulang selalu memarahi ibunya. Dengan jam ajaib itu, Dian akan mengubah setiap keputusan buruk yang diperbuatnya di masa lalu.


           Malam harinya, Dian hanya berdiam diri di kamar dan terus memperhatikan setiap detail jam ajaibnya itu. Dian menemukan satu kejanggalan, kenapa jarum jamnya selalu mundur, kenapa tidak bisa maju. Berarti jam ajaib ini hanya bisa membawaku ke masa lalu, pikir Dian. Padahal dia ingin sekali melihat masa depan. Melihat seperti apa dia ketika sudah tua, apakah umurnya sampai 60 tahun? Jika tidak sampai tentu Dian akan berbuat baik, melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dian juga penasaran secantik apa istrinya nanti, dari mana asalnya, atau sudahkah mereka saling mengenal. Dan yang Dian takutkan adalah apakah di masa depan dia pernah menyakiti hati ibunya. Tetapi Dian masih bersyukur dengan jam ajaibnya dan berjanji akan menggunakannya untuk membantu banyak orang.


           Pagi harinya, ketika matahari sudah bersemangat memberikan sinarnya. Dian hanya duduk di depan teras rumahnya sambil melihat orang-orang yang berjalan hilir mudik. Seorang anak SD terlihat sangat bersemangat menuju sekolahnya, tetapi kemudian harus kembali lagi karena tugas sekolahnya ketinggalan, padahal dia sudah hampir sampai di sekolah. Seorang anak kecil yang dimarahi habis-habisan oleh ibunya dan diancam tidak diberi uang jajan karena memecahkan piring ketika mencucinya di sungai. Atau ibu Dian sendiri, yang terpeleset sehabis mengepel teras rumahnya. Melihat semua kejadian itu Dian hanya tersenyum, lalu memutar jam ajaibnya ketika kejadian-kejadian itu belum terjadi. Badannya kembali bergetar. Kemudian Dian melihat seorang anak SD yag sangat bersemangat menuju sekolahnya.


           “Heh, Ucok.” Dian memanggil anak itu.


           “Ada apa bang?”


           “Tugas sekolahmu sudah kamu bawa? Coba periksa dulu!”


           Anak itu pun memeriksa tasnya, melihat apakah masih ada yang ketinggalan. Dan benar saja kalau dia lupa memasukkan hasil pekerjaan rumahnya, padahal sudah jauh-jauh hari dia kerjakan.


           “Wah. Abang hebat sekali bisa tahu tugas sekolahku ketinggalan. Terimakasih ya, bang.” Seketika anak itu berlari dengan cepatnya.


           Ketika seorang anak kecil membawa tempayan berisi piring lewat. Dian langsung menyuruhnya agar hati-hati ketika mencucinya. Pada akhirnya tidak ada piring yang pecah. Anak kecil itu pun tidak akan dimarahi ibunya dan akan diberikan uang jajan.


           “Ibu, hati-hati. Lantainya masih licin.”


           Ibunya hanya tersenyum kemudian mendekati Dian dan mencium keningnya, lalu pergi ke dalam rumah tanpa terjadi apa-apa. Dian sangat senang akhirnya dia bisa bermanfaat bagi banyak orang terutama untuk ibunya sendiri.


           Siang harinya, Dian terdiam, masih tidak menyangka dengan apa yang barusan dia dengar dari ibunya. Bagaimana tidak, bu Tiur yang sudah dianggap ibunya sendiri kini sudah tiada, meninggalkan Husein seorang diri. Dian mengunjungi Husein untuk sekedar memberikan semangat dan dukungan, yang tentunya tidak banyak membantu.


           Dian mengurung diri di kamarnya. Sesaat dia teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu. Dian melihat jam tangan ajaibnya. Barangkali jam ajaib itu bisa membantu meringankan beban Husein, dengan memberikan jawaban siapa pelaku sebenarnya. Dian berharap bisa membuat Husein senang, karena sudah sejak lama Husein memiliki dendam kepada pelakunya.Tapi ada satu hal yang masih mengganjal pikiran Dian. Dia tidak ingat kapan pastinya kejadian itu. Malamnya, Dian menanyakan hal itu kepada Husein dan berjanji akan menangkap pelakunya. Husein lalu membawa Dian ke kamarnya dan menunjukkan sesuatu. Di langit-langit kamarnya, tertulis sebuah tanggal dengan tulisan yang cukup besar. 18 Juni 2006 jam 21.00. BUNUH PELAKUNYA!!!


           “Sebelum ibuku meninggal. Beliau berpesan agar aku menemui Pak Malik. Katanya dia tahu siapa pelakunya. Bantu aku untuk membunuhnya.”


           Dian menganggukkan kepalanya dan memberi jempol, isyarat kalau dia setuju dengan Husein dan pamit pulang.


           Di kamarnya, Dian sibuk berhitung. Dian sempat bingung bagaimana caranya tetapi kemudian dia ingat apa yang sudah diajarkan ibunya dalam menghitung jumlah hari dalam satu bulan dengan bantuan tangan. Dimulai dengan mengepalkan tangan. Lalu akan terlihat bagian yang menonjol dan melekuk. Tonjolan paling dekat ibu jari sebagai bulan Junuari, kemudian yang melekuk bulan Februari, begitu seterusnya. Bagian yang menonjol berarti berjumlah 31 hari sedangkan yang melekuk 30 hari kecuali bulan Februari yang biasanya berjumlah 28 hari, tetapi pada tahun yang bisa dibagi empat berjumlah 29 hari. Begitu kiranya yang masih diingat oleh Dian dari penjelasan ibunya. Dian menghitung dari tahun 2007 sampai 2018 terlebih dahulu kemudian tahun 2006 dan 2019, yang sudah tanggal 10 november. Dian menjumlahkan semuanya dan mendapatkan hasil 4.901 hari. Ketika diubah menjadi satuan jam berjumlah 117.624 jam. Dian kemudian melihat jam dinding usang yang ada di kamarnya, jam sudah menunjukkan pukul 21.00 yang artinya ini adalah waktu yang sama dengan kejadian yang membuat Husein dan ibunya dikucilkan. Perasaan Dian semakin tidak menentu, jantungnya serasa ingin meledak saja oleh amarah. Dia pun perlahan-lahan memutar lingkaran jam dengan sangat hati-hati. Ketika tangan kanannya mulai terasa letih, dia langsung menggantinya dengan tangan kiri secepat kilat. Setelah lama memutarnya, Dian baru sadar kalau setaip kali jarum jam itu melewati angka 12, muncul sebuah angka di tengah. Setelah melihat dengan teliti, angka yang tertera adalah angka yang sama dengan jumlah putaran yang dia dilakukan. Setelah cukup lama memutarnya, Dian sudah berada di waktu yang sudah dia tentukan. Jantungnya kembali berdebar, kali ini jauh lebih cepat. Lalu tiba-tiba badannya bergetar dan dia pun kembali menjelajah masa lalu.


           Malam itu banyak warga yang berkumpul di lapangan. Mereka tidak mau melewatkan kejadian yang paling menghebohkan itu. Ketika sang dukun mengatakan bahwa pelakunya akan dipanggilnya ke depan, orang-orang pun ramai bersorak. Dan tiba-tiba, seorang lelaki tersungkur di depannya lalu banyak warga yang mengejarnya. Dian pun memutar jam ajaibnya untuk mengetahui mengapa lelaki itu tersungkur. Betapa terkejutnya dia ketika melihat pelaku yang mendorongnya adalah ayahnya sendiri. Dian memutar jam ajaibnya lagi dan langsung menemui ayahnya. Terlihat Dian menarik tangan ayahnya supaya menjauh dari tempat kejadian. Sementara sang dukun sudah kebingungan karena pelakunya tidak kunjung maju. Warga yang sudah marah pun memukuli sang dukun. Dian sangat senang, akhirnya dia bisa membantu Husein dan masyarakat kampungnya. Semoga dengan kajadian ini membuat warga sadar untuk tidak mempersekutukan Allah, ucap Dian.


           Ketika di rumah, Dian langsung dimarahi oleh ayahnya, beruntung ibunya cepat datang. Dian langsung bersembunyi di kamarnya. Di kamarnya, Dian bertanya-tanya mengapa ayahnya mendorong Pak Anwar? Apakah pelaku pengetuk pintu rumah itu juga adalah ayahnya? Dian memutar jam ajaibnya lagi. Dan untuk kesekian kalinya dia kembali ke masa lalu. Malam itu dia mendengar ada suara pintu terbuka. Dia memberanikan diri untuk mengintip dari jendela. Ternyata itu ayahnya. Dian pun memilih untuk mengikutinya. Dian melihat ayahnya mengambil jemuran orang lain lalu memasukkannya ke dalam celana. Dian tahu itu adalah celana dalam dan kutang dari bentuknya. Lalu ayahnya berdiri cukup lama di depan pintu, melakukan gerakan yang tidak asing baginya, Dian tahu kalau ayahnya sedang masturbasi, dan barang curian itu sebagai objek seksualitasnya. Lalu kemudian ayahnya mengetuk pintu dan meninggalkan barang curian yang sudah dipenuhi dengan spermanya. Sesaat kemudian orang-orang ramai melihat kejadian itu, sementara ayahnya sudah pergi entah kemana. Dian bingung dengan semua kejadian itu. Dan dia tidak tahu kalau pak Malik juga melihat kejadian itu dari tempat berbeda.


            Diam-diam Dian pulang ke rumahnya lewat pintu belakang. Ketika masuk, Dian melihat sebuah parang tergantung di balik pintu. Pikiran jahat perlahan memenuhi pikirannya. Sebenarnya, Dian tidak terlalu menyukai ayahnya, apalagi ayahnya sering memarahi ibunya dan jarang memberikannya uang. Dian menuju kamar ayahnya dengan parang di tangan. Tetapi sebelum itu, Dian memastikan ibunya masih tidur atau sudah bangun. Ketika pintu dibuka, ayahnya sedang berdiri di depan kaca dengan badan telanjang dan sedang melakukan masturbasi lagi. Ayahnya menengok namun langsung dibalas oleh Dian dengan tebasan berkali-kali tepat di bagian leher hingga kepalanya terpisah dari badan. Tangannya gemetar, wajahnya dipenuhi dengan darah. Dian sudah bukan anak kecil lagi, dia adalah pembunuh sekarang. Ketika hendak melarikan diri, ibunya sudah berdiri di depan pintu. Maaf, bu, ucapnya dengan suara parau. Tetapi ibunya lantas meninggalkannya. Dian tidak tahu harus melakukan apa lagi.  Dia mencoba untuk mengejar ibunya, mencoba meyakinkannya bahwa yang dia lakukan adalah untuk kebaikan bersama. Yang kamu lakukan itu benar, dia sudah melakukan kesalahan. Kamu tidak bersalah. Bunuh saja dia supaya tidak mengadu. Bisikan-bisikan jahat mulai merasuki Dian. Tapi, bagaimana pun dia adalah ayahku, wanita itu juga adalah ibuku, aku adalah anak terbaik dan harapan mereka satu-satunya, ucap Dian melawan. Dian ingat dengan jam ajaibnya. Untuk kesekian kalinya dia memutarnya lagi. Sekarang dia kembali berada di balik pintu sambil melihat parang yang tergantung di sana. Dian langsung masuk ke kamar dan memilih untuk melupakan semuanya. Tapi hatinya kembali bertanya-tanya. Mengapa dia membiarkan kejahatan terjadi padahal dia tahu kebenarannya. Bagaimana kalau pelakunya adalah orang lain? Apakah juga akan dibiarkannya? Pertanyaan itu terus menghantui Dian hingga dia terbangun di pagi hari dan mendengar ayahnya kembali memarahi ibunya. 


 

07 Jun 2020 06:41
356
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: