Mei 1998, dua hari sebelum kejatuhan Soeharto.
Aku masih mondar-mandir di dapur, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Aku membuka jendela belakang rumah. Berpangku siku di kusen jendela, menatap jauh ke seberang sungai. Aku termangu, bingung apa yang harus diperbuat.
Sore itu aku memutuskan pergi ke ladang. Sudah beberapa bulan ini aku tidak ke sana. Ladang pasti sudah tak terurus. Rerumputan liar dan ilalang pasti memenuhinya. Terakhir kali aku ke sana dua bulan yang lalu bersama Bundaku yang kini sudah tiada. Pergi ke ladang selalu saja membuatku terpaksa membuka kenangan lama tentangnya. Kenangan yang selalu indah untuk dikenang tetapi terasa menyakitkan saat kutahu tak lagi bisa terulang. Sebenarnya aku belum sepenuhnya mengikhlaskan kepergian Bunda. Aku mengerti kalau kematian itu adalah hal yang wajar tetapi justru caranya yang kurang ajar.
Aku membawa cangkul di pundak, menjinjing sabit dan ember di tangan. Aku berencana menanam jagung, singkong atau apa saja yang bisa ditanam. Aku keluar rumah menuju ladang, berjalan di jalanan setapak menuju pinggiran sungai. Di pinggiran sungai itu, sinar matahari menyelinap masuk di sela-sela dedaunan lebat, berkilauan lalu menyapu wajahku. Burung kutilang sudah mulai berkicau di pucuk-pucuk bambu yang digoyang semilir angin sore. Riak sungai mulai terdengar, mengalun dengan lembutnya.
Aku berada di undakan sungai. Berdiri tegap lalu perlahan menuruninya. Sebelum menyeberang, aku sempatkan untuk sekadar membasuh wajah. Begitu sejuk terasa ketika air menyentuh kulitku. Aku menelungkupkan wajahku di kedua telapak tangan. Memejamkan mata lalu mencoba melupakan semua kenangan dan luka sesaat. Sungai itu hening, begitu sepi, tak ada warga yang mandi atau mencuci piring. Aku melihat beberapa ikan garing melintas di depanku. Mencoba merayuku untuk menangkapnya.
Aku pun menyeberangi sungai. Melompati bebatuan yang cukup beraturan untuk sampai di tepian. Sesampainya di seberang, aku meletakkan cangkul dan sabit sembarangan lalu bergegas kembali ke sungai untuk mengambil air. Betapa terkejutnya aku ketika melihat sesuatu mengapung di hadapanku. Aku melihat seonggok tubuh telungkup mengapung, bertaut di bebatuan sungai. Aku memerhatikan sekitar, memastikan kalau tidak ada siapa-siapa yang melihatku. Setelah kupastikan tak ada yang melihat, aku mendekatinya lalu membawanya ke daratan. Kulihat seorang lelaki berumur tiga puluhan, memakai baju kaos oblong polos dan celana jeans hitam yang sudah koyak di sana sini. Rahangnya terlihat keras, ditumbuhi jambang tipis-tipis. Rambutnya gondrong kriting tak terurus. Ketika kudekati, bibirnya terlihat abu-abu. Aku melihat ada banyak darah kental yang mulai menghitam di sekujur tubuhnya. Bahu dan pangkal pahanya terluka, sepertinya itu adalah luka tembakan. Kuletakkan telunjukku di lubang hidungnya, memastikan kalau dia masih bernafas atau tidak. Aku merasakan embusan nafas halus tetapi aku ragu itu bisa saja embusan angin. Kuperiksa nadi lehernya, masih berdetak. Syukurlah dia masih hidup pikirku. Aku pun bergegas pulang dan meninggalkannya.
Aku sempat berpikir untuk membawanya pulang. Merawatnya hingga sembuh. Tak ada orang yang akan tahu, apalagi di rumah aku hanya sendirian. Aku tahu dia pasti komplotan GAM tetapi dia juga orang Aceh. Aku tidak bisa membiarkan saudara terluka. Bisa saja aku mimiliki hubungan darah dengannya. Aku mengurungkan niatku. Aku takut nanti ada orang yang melaporkanku karena membawanya. Apalagi dia adalah anggota GAM yang menyebabkan semua kekacauan ini. Ah, lebih baik kubiarkan saja. Aku juga sama sekali tidak berniat melaporkannya kepada tentara. Semua itu bukan urusanku.
Sebenarnya mereka hanya melawan sesama yang bersenjata tetapi seringkali kamilah yang jadi korbannya. Aku dengan sadar tentu mendukung dan mencintai perdamaian. Perang hanya menawarkan banyak masalah, merenggut banyak nyawa, mengorbankan banyak waktu dan materi. Perang tidak menghasilkan apa-apa. Yang kalah hanya akan jadi abu sementara yang menang hanya jadi arang, ucapku dalam hati mencoba menyemangati diri sendiri.
Aku berjalan pulang. Mencoba melupakan apa yang barusan kulihat. Aku baru sadar kalau cangkul, sabit dan ember lupa kubawa pulang. Biarkan saja pikirku, kapan-kapan bisa kuambil. Aku memilih menyapu halaman, mencari kesibukan lain agar suasana hatiku tenteram.
Tak berselang lama kudengar suara Jeep tentara. Jantungku langsung bergetar tak beraturan, wajahku terasa panas, nyaliku seciut kismis sekarang. Aku tahu mereka akan menanyaiku. Aku tidak boleh takut, sebisa mungkin aku harus terlihat tenang agar tidak mencurigakan.
Mereka berhenti, satu persatu melompat dari Jeep.
“Selamat sore.” Ucap seorang tentara dengan tegas.
“Sore, Pak.” Ucapku dengan suara yang sedikit bergetar lalu menundukkan pandangan.
“Apa kamu melihat ada orang yang terluka? Tadi siang kami baku tembak dengan GPK –gerombolan pengacau keamanan. Aku yakin peluruku mengenai salah satu dari mereka.”
“Saya tidak tahu apa-apa Pak. Kalau saya melihatnya akan saya beritahu.”
“Jangan berbohong! Kamu jangan menyusahkan. Silahkan periksa rumahnya.” Perintahnya kepada anak buahnya.
Kulihat dua orang tentara berseragam lengkap beserta senjata laras panjangnya memasuki rumahku. Mereka menunjang pintu untuk membukanya. Engselnya copot, jatuh berdenting ketika mengenai bebatuan di halaman rumahku. Pintu rumah terjatuh, menimpa salah stau dari mereka. Mereka masuk tanpa membuka sepatu lalu menggeledah rumahku seenaknya. Suara peralatan makan yang dijatuhkan terdengar.
“Tolong jangan dihancurkan semua Pak.” Bujukku kepada tentara itu.
“Makanya jangan berbohong.”
Tak lama kemudian mereka keluar. Membawa beberapa perabotan rumah, beras dan peralatan memasak.
“Lapor! Tidak ada siapa-siapa di dalam, Komandan.”
“Di mana kamu menyemmbunyikannya?”
“Sungguh aku tidak menyembunyikannya Pak. Sumpah demi Allah.”
“Anggota keluargamu yang lainnya di mana?”
“Aku tidak punya siapa-siapa lagi pak. Ayah sudah meninggal terkena peluru nyasar ketika bekerja di ladang. Kakakku dibawa pergi sedangkan bunda ditembak karena mencoba menyelematkan kakakku.” Ucapku dibarengi dengan isakan tangis. Sudah begitu lama kalimat itu tidak keluar dari mulutku.
“Itu karena kalian selalu membuat masalah. Kalau kalian mau menurut kita juga akan bersikap baik.”
Komandan tentara itu pun melihat sekeliing rumahku. Kulihat dia menatap ke arah sungai lalu menghampiri kami.
“Coba kalian periksa sungai itu.” suruhnya kepada anak buahnya.
“Siap Komandan!”
Aku sungguh merasa beruntung karena tidak jadi menyelamatkannya. Tidak terbayang bagaimana jadinya kalau mereka melihat ada anggota GAM di rumahku. Aku pasti akan dibawa pergi lalu tak pernah pulang lagi.
“Lapor Komandan! Tidak ada siapa-siapa di sekitar sungai ini. Tetapi kami melihat ada bekas darah di unggakan tanahnya.”
“Sial, kita terlambat. Dia pasti sudah diselamatkan temannya.”
Ketika aku menatap dari jendela beberapa saat lalu, aku memang melihat ada seorang yang membopongnya pergi. Membawanya ke dalam hutan lalu menghilang. Aku hanya menunduk, sebisa mungkin aku tidak menatap mereka. Tapi tiba-tiba perutku disepak. Tubuhku terlempar ke belakang lalu tersungkur ke tanah. Mereka kemudian bergantian menendangku, menginjak-injak tubuhku. Kurasakan bibirku perih. Kulihat darah mulai menetes.
“Ampun Pak, saya tidak tahu apa-apa.”
“Kamu pasti tahu dia ada di sana. Jangan berpura-pura. Kalau kamu tadi melaporkannya kepada kami pasti kamu akan selamat. Silahkan bawa dia!”
Aku pun dibawa pergi dengan Jeep tentara ke pos penjagaan di kota kecamatan. Orang-orang kampung yang sedari tadi hanya mengintip-intip kini sudah masuk ke rumah masing-masing. Aku berharap mereka mau meneolongku. Tetapi mereka sama sepertiku, tidak punya apapun selain ketakutan.