Dia Bukan Gay
Cerpen
Kutipan Cerpen Dia Bukan Gay
Karya laealfipulungan
Baca selengkapnya di Penakota.id

Orang-orang selalu bertanya mengapa ia tidak menyukai perempuan atau mengapa ia belum juga memiliki pacar, sedangkan ada banyak perempuan yang akrab dengannya. Jika dilihat dari pengikutnya di media sosial maka 90 persen pengikutnya merupakan perempuan. Dari gosip yang beredar pada tembok-tembok yang berbicara mengatakan bahwa beberapa perempuan sudah memberanikan diri mengungkapkan perasaannya, tetapi tetap ia tolak mentah-mentah dengan alasan persahabatan. Dia sadar kalau persahabatan adalah jalur konstruktif untuk jatuh cinta, tetapi ia tidak ingin kehilangan sahabatnya layaknya orang-orang yang sudah putus.

           Sejak gosip penolakan itu beredar kencang di fakultas, muncul pula gosip baru yang mengatakan bahwa ia adalah seorang gay. Orang-orang beranggapan bahwa penampilannya yang selalu perlente, dikelilingi banyak perempuan tetapi belum juga punya pacar semakin membenarkan gosip yang beredar. Ditambah lagi ketika ia mengaku salah satu korban si Gilang bungkus yang menjadi fenomena beberapa waktu lalu.

           Berulang-ulang ia menjelaskan kepada orang-orang, terutama teman-temannya yang selalu mengatakan ia gay –ia tahu itu hanyalah lelucon tetapi terkadang menyakiti hatinya. Dia tidak seperti yang mereka pikirkan. Dia secara terang-terangan berkata kalau ia membenci orang-orang yang menyukai sesama jenis. Selain karena agamanya melarang juga karena pengalamannya ketika pergi ke bioskop menonton film Dilan bersama temannya, Eko. Orang-orang menganggap Eko adalah pasangannya. Dia terus menjelaskan kepada banyak orang, bahkan ia sampai berkata “coba bawa ibumu ke sini biar kuhamili” ucapnya yang langsung dibalas pukulan tepat di pelipis kanannya. Tetapi tetap saja tidak ada yang percaya.

           Kuliah segera dimulai. Pagi itu ia berangkat lebih awal dibanding pagi biasanya. Dia memilih duduk di kursi beton berwarna pinang di depan kelas sembari menunggu petugas membuka kelas. Beberapa menit kemudian muncullah teman-temannya, Erika, Jasmin, dan Arini. Mereka duduk di kursi yang berjauhan tanpa mempedulikannya. Dia memilih sibuk memainkan gawainya hingga ia tak sadar kalau kini sudah ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Begitu mata mereka bertemu, sontak orang di sebelahnya terkejut dan menjauh. “Taeeeekkk!!! Dia lagi….dia lagi. Tolong jangan rusak aku.” Ucap lelaki di sebelahnya itu. Kata-kata lelaki itu sungguh menyakiti hatinya. Dia ingin sekali memukulnya, memukul tepat di mulutnya yang sering mengeluarkan kata-kata yang menyakiti itu. Orang-orang pun kini sudah menjauhinya.

           Sehabis kuliah, ia berencana langsung pulang ke indekos tetapi Andini mencegatnya, mengajaknya mencari referensi untuk tugas Psikologi Pendidikan di perpustakaan fakultas. Dari perjalanan menuju perpustakaan tidak satu kata pun keluar dari mulutnya. Dia yakin kalau bukan karena tugas ini Andini juga pasti sudah menjauhinya.

           Tidak butuh waktu lama baginya untuk mencari tiga referensi yang dibutuhkan. Dia pun duduk di kursi tempat membaca, di sudut ruangan, menunggu Andini. Dia memperhatikan Andini dari jauh. Perawakan Andini yang sedikit gempal membuatnya mengantuk.

“Sudah dapat semua?” ucap Andini layaknya hantu.

“Sudah. Buku-buku semacam ini mudah dicari di perpustakaan ini,” ucapnya dingin.

“Berarti tidak sia-sia UKTnya mahal.”

“Setuju.”

“Kau langsung pulang?”

“Iya, lagi pula sudah tidak ada kelas lagi.”

“Oh. Eh, aku boleh bertanya nggak?”

“Boleh. Tapi aku bukan gay.”

“Kalau bukan gay kenapa kau menolak Annisa? Apa dia kurang cantik?”

“Yang pasti dia jauh lebih cantik darimu.”

“Apa kau sudah punya pacar?”

“Belum. Aku belum pernah pacaran.”

“Berarti benar kata orang-orang.”

“Aku bukan gay!” ia mulai kesal.

“Kalau begitu beri aku alasan yang masuk akal kenapa kau menolaknya.”

“Baik. Aku akan menjelaskan semuanya. Waktu itu dia tidak pernah membalas pesan-pesan dariku. Teleponku tak pernah diangkat. Aku bahkan sudah mengirim email padanya, tapi tetap saja tak ada jawaban.”

“Garar-gara itu kau menolaknya?”

“Dengar dulu. Aku belum selesai bercerita.”

“Baik. Lanjutkan,” ucapnya sembari membetulkan posisi.

“Karena sikapnya yang seperti itu aku pun berinisiatif datang ke rumahnya. Untung saja waktu itu dia di rumah dan beruntungnya lagi orang tuanya sedang keluar. Aku menanyakan kenapa sikapnya begitu dingin kepadaku. Dan jawabannya betul-betul mengejutkanku. Dia tidak mau jadi sahabatku lagi. Dia mau aku jadi pacarnya. Aku kira ucapannya itu bercanda hingga aku hanya tertawa lirih. Dia mengatakan kalau ia serius dengan ucapannya. Dan mungkin jawabanku setelahnyalah yang menyakiti hatinya. Aku hanya menganggapmu teman, ucapku”

“Terus selanjutnya, apa?”

“Selanjutnya dia mengirim pesan kepadaku, kalau aku itu sepertinya memang gay.”

“Terus balasanmu, apa?”

“Dia sudah memblokirku.”

“Yah. Itu semua karena kesalahanmu. Kau tidak sadar diri. Kau itu orang yang beruntung, Mad. Perempuan secantik dia mau jadi pacarmu. Ditambah lagi dia yang mengungkapkannya. Apa kau tidak menyukainya?”

“Sudah tentu aku menyukainya. Tapi aku…”

“Tapi kau gay.”

           Jancuk! Kirik! Dia meluapkan kekesalannya. Dia merasa sia-sia menjelaskannya. Jadi, ia mengatakan kalau ia memang seorang gay agar Andini senang dan berhenti menghujaninya dengan pertanyaan yang sama.

           Dia memilih untuk pulang setelah mengatakannya. Dia yakin kalau pengakuannya tadi pasti akan cepat tersebar. Dia memacu motornya menuju indekos, melewati jalan veteran menuju gajayana hingga joyo tambaksari. Sebelum pulang ke indekos, ia singgah sebentar di indomar*t membeli minuman bersoda dan kotak kecil di dekat kasir.

           Sesampainya di indekos, ia langsung menuju kamar lalu menutupnya rapat-rapat. Dia membuka kemeja buntung kuliahnya dan menggantungnya di hanger. Tak lupa ia membuka celana jinnya. Hari itu adalah hari yang melelahkan sekaligus menjengkelkan. Gosip yang beredar luas di fakultas sungguh menyiksanya, ditambah lagi tugas-tugas dari dosen yang mulai tidak manusiawi dan idolanya Minions kalah di final All England.

           Dia berbaring di kasur dan mulai sibuk berselancar di media sosialnya. Beberapa saat kemudian ia bosan. Dia membuka kancutnya dan mengambil isi dari kotak kecil yang ia beli beberapa waktu lalu. Sebelum ia memasukkan benda itu ke burungnya, terlebih dahulu ia menumpahkan minyak zaitun ke dalamnya. Dia mencoba memainkan burungnya, menggesek-geseknya dengan gerakan maju mundur dengan bantuan jemarinya yang sudah terlebih dahulu dibentuk huruf O.

           Setelah merasa sudah licin, ia mengamati sekeliling, takut kalau ada orang yang mengintip atau ada kamera tersembunyi. Setelah memastikan keadaan aman terkendali, ia membuka bajunya lalu membuka situs xnx*.com. Ibu jari kanannya mulai lancar mengetik Phoenix Marie *•o••o* di pencarian sebagai pemanasan. Dia pun menontonnya lalu secara perlahan mulai memainkan burungnya menggunakan tangan kiri. Karena merasa kurang puas, ia kembali mengetik Cathy Heaven *•*•t••**t di pencarian. Burungnya semakin tegang, ia kembali ke pencarian. Dia mengetik beberapa nama seperti Dani Daniels, Jasmine Jae, Julia Ann, Ava Addams, Abella Danger, Sasha Grey hingga diakhiri *•• I* *•••h Compilation. Gerakannya semakin cepat dan burungnya semakin tegak dan tegang -meskipun sedikit serong ke kiri. Dia membuka media sosialnya ketika cairan putih kental itu terasa akan segera keluar, mengetik nama Andini di pencarian dan mencari fotonya yang paling hot. Beberapa detik kemudian foto Andini di layar gawainya sudah dipenuhi cairan putih kental. Itulah balasan yang dia berikan pada Andini yang sudah membuat harinya begitu buruk.

           Dia bukanlah jenis orang yang tidak menyukai perempuan, juga bukan seorang gay. Dia hanya seseorang yang lebih tertarik dengan perempuan yang ia kenal di situs haram itu daripada perempuan-perempuan yang ia temui di dunia nyata. Dia sudah lama melakukan kebiasaan itu. Dia selalu percaya jika harinya begitu buruk maka spermanya harus dikeluarkan. Bisa jadi itu adalah calon-calon penjahat, koruptor dan pengemis. Dia tidak ingin keturunan seperti itu. Dia menganggap semua perempuan yang dekat dengannya hanya sebatas libido seksualnya. Itulah alasan mengapa ia menolak banyak perempuan, terutama Annisa. Dia sebenarnya juga mencintainya, tetapi ia tidak tahu apakah perasaannya itu adalah cinta atau nafsu. Karena baginya, lebih baik merusak seribu sabun daripada merusak seorang perempuan.

                      



09 Aug 2020 14:10
182
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: