Anak Petani Menuju Kursi Menteri
Cerpen
Kutipan Cerpen Anak Petani Menuju Kursi Menteri
Karya laealfipulungan
Baca selengkapnya di Penakota.id

Ayah hanya terdiam ketika kuutarakan keinginanku padanya tadi sore. Aku tidak paham apakah sikap ayah yang hanya diam seperti itu menandakan kalau ayah setuju atau tidak. Ketika aku mencoba menemui mamak, mamak hanya memelukku sebentar, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur. Aku juga sebenarnya punya niat untuk menemui abang, tapi aku sudah tahu kalau dia pasti tidak akan setuju. Begitu juga ketika aku menemui Dina, sahabatku, sikapnya seolah meragukan keputusanku. Aku tidak tahu lagi kepada siapa untuk bercerita. Semua orang terlihat tidak memihakku. Apa karena aku adalah anak perempuan yang lahir dari keluarga petani?

           Namaku Hotmaida. Aku adalah anak perempuan satu-satunya di keluargaku. Aku punya satu abang dan satu adik. Abangku namanya Binsar dan adikku namanya Tigor. Bang Binsar sekarang berjualan sayuran dari pasar satu ke pasar yang lain. Adikku Tigor masih duduk di kelas dua SD. Ayah dan mamakku sehari-hari hanya sibuk menggarap sawah kepunyaan orang lain. Kami tinggal di desa Tolang Julu. Kata mamak, kami sudah tinggal di sana ketika bang Binsar masuk SMP. Alasannya sudah pasti karena dekat dengan sekolah, jadi tidak perlu mengeluarkan uang buat ongkos lagi. Bang Binsar sekarang sudah berkeluarga dan tinggal di kampung lain yang agak jauh dari rumahku. Bagiku, Tolang Julu tidak hanya sekadar kampung. Lebih dari itu, Tolang Julu adalah tempat paling nyaman untuk pulang. Ada banyak kenangan masa kecil yang tersimpan di sana.

           Aku sekarang sudah lulus SMA, lulus dengan nilai yang memuaskan. Aku termasuk murid berprestasi di sekolah. Menjadi murid teladan bagi siswa lain dan menjadi kesayangan para guru. Ketika ayah bertanya setelah lulus SMA aku mau ke mana, dengan mantap kukatakan pada ayah bahwa aku ingin merantau ke Jawa, tetapi bukan sebagai asisten rumah tangga yang merawat anak kecil atau menjadi penjaga toko dan rumah makan seperti kebanyakan teman-temanku. Aku selalu ingat perkataan guruku sewaktu di sekolah, menurut guruku, bagi orang-orang kampung seperti kami, hanya ada dua cara untuk menjadi kaya dan meningkatkan status sosial di masyarakat, “Pernikahan atau pendidikan”. Kalau kita menikah dengan orang kaya maka kita juga akan ikut menjadi kaya dan bisa membantu keluarga kita. Tetapi untuk mendapatkan pasangan yang kaya tentu bukan kehendak kita, itu adalah urusan Yang Maha Kuasa. Meskipun sisir di tangan kanan dan gunting di tangan kiri, jodoh tetap di tangan Tuhan, katanya. Dan yang kedua adalah pendidikan, ini adalah cara yang paling mungkin kita tempuh. Kita harus bersekolah setinggi-tingginya, karena di negara ini ijazah adalah persyaratan untuk mendapatkan pekerjaan layak. Ingat! Mimpi tanpa pendidikan bagaikan bangunan tanpa tiang yang kapan saja akan roboh dan sia-sia. Perkataan itulah yang memotivasiku sampai sekarang.

           Pada malam harinya, selepas aku melaksanakan salat Maghrib, aku melihat ayah, mamak dan abang sudah berkumpul di ruang tamu sambil menonton TV. Aku pun berencana untuk ikut bergabung, sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan maksudku yang sebenarnya. Benar saja, ketika kepalaku muncul dari balik pintu, mamak sudah langsung memanggilku.

“Kenapa Mak?”

“Duduk dulu di sini!”

“Kata ayah, kamu berencana untuk merantau ke Jawa, ya?”

Bang Binsar langsung menanyaiku sebelum aku duduk.

“Iya bang, tapi untuk kuliah.” Dengan sedikut takut aku menjawab pertanyaan bang Binsar.

“Apa kamu tidak kasihan sama ayah dan ibu? Kalau kamu tidak di sini yang membantu mereka siapa? Apa kamu tega ketika sudah lelah di sawah, ibu harus memasak lagi, mencuci pakaian, piring dan membersihkan rumah lagi?”

           Mendengar perkataan bang Binsar hatiku terasa sakit. Sudah tentu aku kasihan kepada mamak dan ayah yang sudah bekerja seharian di sawah. Tapi mau bagaimana lagi, tekadku sudah bulat dan aku kuliah pun untuk membuat hidup mereka lebih baik.

“Iya, lebih baik di kampung sajalah, nang. Lagian teman-temanmu juga di sini semua. Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau ikut ke sawah, pokoknya kalau bisa di sini sajalah, tidak perlu jauh-jauh. Nanti mamak juga rindu, apalagi kamu anak perempuan satu-satunya.” Ucap mamak.

“Kalau kamu tetap tinggal di kampung, pasti banyak lelaki yang akan melihatmu nanti. Siapa tahu ada yang cocok jadi suamimu. Atau kalau perlu nanti ayah cari lelaki yang mau sama kamu, nang.” Ayah menambahkan.

“Mak, Yah, Bang Binsar.” Aku memperbaiki cara dudukku dan menjelaskan secara perlahan.

 “Hotmaida itu kuliah supaya tidak seperti tema-teman Hotmaida yang ada di kampung ini. Yang hanya menganggur dan menyusahkan orang tuanya. Apalagi yang perempuan, yang hanya tebar-tebar pesona di depan laki-laki atau kalau beruntung ada yang mengajak kerja dan ada yang melamar. Kalau Hotmaida kuliah, ayah dan mamak juga nanti pasti akan bangga.”

“Sudahlah Maida, kalau nanti kamu sudah lulus kuliah dan memiliki pekerjaan kemudian kamu menikah, belum tentu juga kamu ingat kepada kami di kampung ini. Kamu pasti sudah malas datang.”

           Aku sebenarnya sangat marah dengan perkataan bang Binsar barusan. Dia mengatakan kalau nanti aku pasti akan melupakan ayah dan mamak, padahal dia sendiri yang seperti itu. Sejak menikah dia sangat jarang ke rumah, sekali ke rumah langsung minta uang keperluan sehari-hari. Dia juga jarang membawa anak dan istrinya ke rumah, padahal mamak dan ayah ingin selalu bersua cucunya.

“Lagian belum tentu juga kamu lulus di Jawa. Tidak mungkinlah kamu diterima kuliah di Jakarta, apalagi di Bandung. Hanya orang-orang kaya dan pintar yang bisa kuliah di sana.” Kata bang Binsar menambahkan.

           Malam itu aku habiskan dengan mendengar perkataan-perkataan yang mencoba untuk meruntuhkan tekadku. Tetapi aku adalah perempuan yang keras kepala, tak mudah tergoyah oleh apapun.

                                               *****

           Hembusan angin sore perlahan menghempaskan uap-uap air yang keluar dari secangkir kopi hangat yang sudah duduk manis di atas meja. Bahkan, kopi yang tadinya hangat kini sudah tidak hangat lagi. Dan tanpa kusadari, sudah lebih tiga puluh menit aku duduk di sini, termenung sendirian, menanti kedatangan ayah dari sawah. Tak sabar ingin kusampaikan berita bahagia ini. Tetapi di sisi lain, hatiku sedikit khawatir kalau saja nanti ayah tetap tidak mengizinkan.

           Hari ini aku baru saja melihat pengumuman masuk perguruan tinggi negeri, orang biasa menyebutnya senampaten (SNMPTN). Sudah sedari siang aku menunggu pengumumannya di warnet Sipange, itulah adalah warnet terdekat dari rumahku sekaligus satu-satunya di kecamatan. Bersama Abdul aku menunggu pengumuman itu, dengan perasaan bercampur aduk. Bagaimana jika nanti aku tidak lulus? Pasti semua orang akan menertawakanku, apalagi bang Binsar. Tetapi Abdul terus meyakinkanku kalau aku pasti lulus. Abdul adalah seorang lelaki yang hanya kuanggap teman. Aku tidak punya perasaan apapun terhadapnya, tetapi dia justru sangat mencintaiku. Berulangkali dia memintaku untuk menjadi pacarnya, tetapi berulang kali juga kutolak. Namun, diantara penolakan-penolakan itu, benteng pertahanan cintanya tak pernah runtuh mengejar cintaku.

           Aku sangat bahagia ketika melihat pengumuman berwarna hijau siang tadi. Aku diterima di perguruan tinggi di Jawa. Ah, rasanya masih serasa mimpi. Tetapi tetap saja aku sangat bahagia. Aku bahkan langsung memeluk Abdul di warnet siang tadi. Mungkin tidak akan cukup seluruh tinta jika aku dipaksa menjabarkan seberapa bahagianya aku ketika melihat pengumuman itu. Namun, sesampainya di rumah aku jadi sedikit khawatir. Bagaimana caraku memberitahu kabar gembira ini kepada ayah dan mamak? Aku mencoba merangkai setiap kalimat yang nantinya akan kukatakan. Mencoba memilih dan memilah kata-kata yang bisa mempengaruhi ayah.

           Setelah berpikir cukup lama, aku teringat satu hal. Ayah sangat suka minum kopi sepulang dari sawah. Bagi ayah, kopi dapat menghilangkan lelah. Maka tanpa pikir panjang kubuatkan kopi kesukaannya, kopi Sipirok. Sebentar lagi ayah pasti akan pulang.

           Tidak lama kemudian ayah dan mamak datang, aku pun langsung mengambil barang bawaan yang dibawa mamak dan mengantarnya ke dapur. Kulihat ayah langsung duduk dan sedikit heran ketika melihat secangkir kopi di atas meja.

“Itu kopi untuk ayah. Hotmaida sendiri yang buat, tapi sudah sedikit dingin.” Ucapku sambil memijit pundak ayah.

“Kenapa tiba-tiba kamu buatkan kopi untuk ayah? Pasti ada maksud di balik ini.”

           Aku mencoba menarik nafas untuk menenangkan pikiranku sebelum mengatakan semuanya.

“Yah, tadi siang Hotmaida sudah lihat pengumuman undangan masuk kampus itu. Alhamdulillah Hotmaida diterima, Yah.”

           Tanpa kusadari air mataku sudah mulai berjatuhan layaknya dua benang tipis berwarna bening. Tapi ayah pasti tahu kalau air mataku itu adalah pertanda kebahagiaan. Aku melihat wajah ayah terlebih dahulu sebelum melanjutkan ucapanku.

“Hotmaida lulus di Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur, Yah. Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian.”

           Belum sempat aku menyelesaikannya, mamak sudah duduk di samping ayah.

“Loh, kamu kok tidak pernah cerita kepada mamak dan ayah kalau kamu akan kuliah ke sana.” Ucap mamak.

“Aku takut kalau mamak dan ayah tidak akan mengizinkannya. Aku juga takut kalau nanti aku tidak lulus masuk ke sana. Pak Rahmad, guru Biologi mengusulkannya pada Hotmaida, katanya itu adalah salah satu kampus terbaik, murah, nyaman dan peluang diterimanya juga besar.”

“Di sana nanti kamu akan tinggal di rumah siapa?” Tanya ayah.

“Nanti aku akan cari kos-kosan di sana, Yah. Tidak masalah kalau kamarnya sempit, asalkan murah.”

“Tapi nang, Kamu itu anak perempuan, susah kalau terjadi apa-apa nanti di sana. Lagian apa kata masyarakat di kampung ini nanti.”

           Kulihat mata mamak berkaca-kaca.

“Kalau kamu pergi siapa lagi yang akan mencabut uban mamak, yang bantu mamak memasak, mencuci dan yang selalu memijit kaki mamak ketika pulang dari sawah, siapa?” Ucap mamak coba mempengaruhiku.

           Sekali lagi air mataku jatuh, kali ini lebih banyak. Tak sunggup aku menahannya setelah mendengar kalimat terakhir dari mamak. Aku mendekat ke arah mamak dan ayah, duduk di depan mereka sambil kupegang kedua tangan mereka.

“Ayah, mamak. Aku tidak peduli apa kata orang-orang di kampung ini. Karena bukan mereka yang membesarkanku, bukan mereka juga yang mengajariku memasak, bukan mereka juga yang membuatku bisa mengaji. Ayah dan mamaklah yang melakukan itu semua. Ayah, aku tahu kalau jalan yang kulalui ini berat dan berliku. Tapi aku hanya ingin meyakinkanmu, kalau ini adalah keinginanku sejak dulu, aku akan belajar sungguh-sungguh agar nanti bisa membahagiakan ayah dan mamak.”

           Dan aku pun merasa lega setelah mengatakan semuanya. Kulihat lagi wajah ayah dan mamak. Suasana sore itu pun terlihat begitu menyedihkan. Aku hanya menunggu keputusan dari ayah. Aku betul-betul terkejut ketika ayah masuk ke kamar lalu keluar membawa plastik hitam.

“Berapa biaya yang kamu butuhkan nantinya, nang?” Ayah bertanya kepadaku sambil mengambil isi dari plastik hitam itu.

“Apakah ini cukup?” Ayah memberikan isinya kepadaku. Dan baru kutahu kalau itu adalah uang tabungan mereka yang akan digunakan untuk nak haji.

“Bilang kalau tidak cukup, nang. Kalau perlu kambing-kambing kita akan ayah jual untuk tambahan uang kuliahmu nantinya.”

           Aku pun tidak bisa berkata apa-apa lagi selain langsung memeluk ayah.

“Ibu juga punya perhiasan di lemari, kalau perlu itu juga nanti ibu jual untuk biaya kuliahmu.” Ucap mamak sambil memelukku dan ayah.

           Tiba-tiba Tigor membuka pintu dengan keras. Dan dia kelihatan terkejut melihat kami bertiga berpelukan. Tanpa ada bertanya-tanya dia pun langsung memeluk kami. Setelah cukup lama baru kusadari kalau badannya dipenuhi lumpur, pasti dia baru selesai mengambil ikan di kolam pak Bangsawan.

                                                           *****

14 Agustus 2017        

           Aku memutuskan untuk tidak tidur malam ini. Setelah selesai berkemas-kemas mamak menyuruhku untuk langsung tidur karena besok pagi bus yang akan kunaiki sudah tiba. Kulihat mamak sudah masuk ke kamar dan aku masih memeriksa barang bawaan, mengingat-ingat apakah masih ada barang yang tertinggal.

“Kenapa belum tidur?” Ucap mamak mengagetkanku.

“Mak, aku tidur di samping mamak ya? Soalnya ini malam terakhirku tidur di rumah ini.” Ucapku.

           Mendengar perkataanku itu, mamak kembali menangis. Aku pun menyadari kalau kalimat itu tidak seharusnya kukatakan.

           Aku pun tidur di samping mamak. Sebelum tidur kupandangi lagi wajahnya. Kulitnya sudah mulai keriput, rambutnya sudah mulai memutih. Inilah orang yang yang harus kubahagiakan nanti, ucapku dalam hati lalu memejamkan mata, mencoba untuk tidur.

           Besok paginya aku langsung bersiap-siap. Karena kata mamak lebih baik menunggu daripada ditunggu. Ayah dan mamak juga tidak berangkat ke sawah, demi mengantarkan putri kesayangannya. Tapi anehnya, Tigor juga tidak mau pergi sekolah, alasannya juga karena ingin mengantar dan menemani kakak kesayangannya sebelum busnya datang. Karena dia terus menangis, mamak pun mengizinkanya. Sedangkan bang Binsar mungkin tidak akan datang, aku pun tidak terlalu berharap dengan kedatangannya.

           Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya bus ALS yang kami nantikan itu pun datang. Aku menaiki bus ALS tujuan Semarang kemudian nanti akan dioper langsung ke Malang. Ayah pun langsung mengangkat barang-barangku ke bagasi bus. Aku pun menyalami mamak sebelum naik ke bus. Belum sempat menyalami, mamak sudah menangis duluan. Aku pun juga tidak dapat menahan air mataku lagi, padahal tadi malam aku sudah ada niatan untuk tidak menangis di depan mamak. Aku pun langsung memeluk mamak, mamak mencium keningku. Aku berlanjut kepada ayah, ayah hanya memukul-mukul pundakku. Ayah berbeda, dia tidak menangis sedikit pun. Tapi aku tahu, kalau di dalam hatinya juga pasti sedih melepas kepergianku ke Jawa. Tigor langsung memelukku dan langsung meminta uang jajan. Aku pun memberinya uang bergambar Frans Kaisiepo berwarna ungu sebanyak tiga lembar. Mamak menyuruhku untuk menyimpannya saja, tetapi tetap kuberikan karena aku juga sangat jarang memberikannya uang. Tigor memberiku foto keluarga, entah dari mana di mendapatkannya aku juga tidak tahu. Dan aku pun melangkah ke dalam bus, meninggalkan orang-orang yang paling kucintai dalam hidup ini, begitu juga kampung yang penuh akan kenangan masa kecilku.

“Jangan mau dilamar sama orang Jawa ya, nang.” Ucap ayah sebelum aku benar-benar masuk ke bus. Mendengar perkataan ayah aku hanya bisa tersenyum.

           Bus pun akhirnya bernagkat, wajah ayah, mamak dan Tigor perlahan-lahan mulai menghilang kemudian benar-benar tidak terlihat lagi. Aku pun menangis lagi. “Mamak, aku tidak akan mengeluh walau banyak rintangan yang kulalui demi menjadi seorang yang berilmu. Aku juga tidak akan menangis walau terkadang terasa berat saat harus meninggalkanmu. Doakan aku, mak. Semoga selalu mudah jalanku.” Ucapku dalam hati.

           Selama di bus ALS aku bersama denga seorang ibu, yang kutaksir umurnya lima puluhan, dia duduk tepat di sampingku. Katanya dia hendak ke Jember menemui adek perempuannya. Selama perjalanan kami banyak bercerita, ketika kukatakan kalau aku hendak ke Malang untuk kuliah, dia hanya tersenyum. Malang adalah kota yang dingin, banyak apelnya, katanya. Ibu yang duduk di sampingku itu namanya Pariyem. Orang Jawa yang sudah lama menetap di Sumatra Utara sejak orang tuanya ikut program transmigrasi dahulu. Bu Pariyem banyak memberiku nasehat, terutama agar aku tetap semangat dan jangan menyerah di perantauan. Aku juga diajariya sedikit bahasa Jawa. Katanya untuk lebih mudah beradaptasi kita harus bisa bahasa Jawa, terutama bahasa Jawa Kromo Inggil.

           Tidak terasa hari demi hari sudah berlalu, Padang, Jambi, Palembang, dan Lampung sudah dilewati. Kini kami sudah berada di atas kapal penyeberangan pelabuhan Bakauheni Lampung menuju pelabuhan Merak di Banten. Penyeberangan membutuhkan waktu cukup lama, sekitar empat jam padahal kalau dilihat dari peta jaraknya kecil sekali. Setelah kapal mendarat dan bus keluar, kami menuju loket bus ALS di Tanah Tinggi, Tangerang, Banten. Selama pemberhentian biasanya kami para penumpang akan makan, tetapi hanya dua kali sehari yaitu menjelang siang dan malam selepas Isya. Ketika pemberhentian di rumah makan aku punya trik agar makan jadi lebih murah, trik itu kudapat dari Bu Pariyem yang memang sudah sering bepergian ke pulau Jawa. Ketika berhenti, jangan makan di tempat yang disuruh oleh sopir, pergilah ke tempat makan yang lebih jauh, biasanya di seberang, karena makan di tempat seperti itu jauh lebih murah.

           Setelah sampai di Jakarta, banyak penumpang yang turun, tersisa sekitar lima penumpang lagi di bus. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Semarang dan memakan waktu cukup lama, Semarang adalah pemberhentian terakhir dari bus yang kutumpangi. Penumpang yang tersisa hanyalah aku dan Bu Pariyem. Kami pun disuruh menunggu bus lanjutan ke Malang. Aku lalu mengirim pesan kepada ayah dan mamak di kampung, memberi tahu kalau aku sudah sampai di Semarang dengan keadaan sehat dan selamat. Kami menunggu hampir sepuluh jam. Setelah lama menunggu, aku diberitahu kalau bus yang ke Malang tidak ada tersedia untuk beberapa hari ke depan karena bus rusak ketika di perjalanan. Kemudian mereka menyuruhku untuk ikut bus tujuan Surabaya saja, nantinya pihak loket Surabaya akan mengoperku ke Malang. Aku pun mengiyakannya.

           Siang hari bus berangkat menuju ke Surabaya. Selama perjalanan aku hanya tertidur lalu kemudian aku dibangunkan oleh kernet, dia memberi tahuku kalau busnya sudah sampai di Surabaya. Bus sampai di Surabaya tengah malam. Aku pun pamit kepada Bu Pariyem dan melangkah keluar, kemudian mengambil barang-barangku. Di Surabaya aku dititipkan di loket yang dijaga oleh seorang lelaki paruh baya. Aku sebenarnya tidak tertarik untuk memulai pembicaraan dengannya, namun ketika dia berbicara dengan bahasa Batak denganku, aku pun langsung tersenyum dan membalasnya.

           Pagi harinya sekitar pukul delapan, aku sudah berangkat dari terminal Bunguraseh menuju terminal Arjosari di Malang. Butuh waktu dua jam lebih untuk sampai di terminal Arjosari. Setibanya di Arjosari, aku langsung didatangi banyak orang, mereka mengaku adalah ojek dan menawariku tumpangan. Setelah nego harga sesuai, aku pun ikut bersama seorang bapak dengan motor Supra X. awalnya dia menanyakan tujuanku di mana, aku pun menjawab kalau aku mau ke Universitas Brawijaya.

“Asramanya di UB?” Tanya pak ojeknya.

“Bukan pak, saya kuliah di sana.”

“Oalah, terus tinggalnya di mana?”

           Aku hanya diam dan tidak bisa menjawab pertanyaannya.

“Belum dapat kos?”

“Belum pak. Ini pertama kalinya saya ke Malang.”

“Oalah, saudara tidak ada juga di sini?”

“Tidak ada pak.”

           Setelah percakapan singkat itu, pak ojeknya menawarkan padaku untuk membantu mencari kos-kosan di dekat kampus. Ketika aku ditanya bagaimana kos-kosan yang kuinginkan, dengan cepat kujawab yang penting murah dan layak pakai. Kami pun langsung menuju daerah di dekat kampus UB untuk mencari kos-kosan. Selama perjalanan aku hanya duduk terdiam di jok belakang motor sambil melihat sekeliling yang sudah dipenuhi kemacetan. Aku masih tidak menyangka, kalau kini aku sudah menginjakkan kaki di pulau Jawa.

           Setelah cukup lama mencari kos-kosan di Kerto -daerah paling dekat dengan kampus UB- kami pun menuju daerah Sumbersari untuk mencari kos-kosan. Sebenarnya kos-kosan di daerah Kerto itu lebih menarik hatiku, dekat dengan kampus, banyak mahasiswa juga tetapi sangat mahal, dua kali lipat lebih mahal dari kos-kosan di Sumbersari. Aku tidak masalah kalau harus berjalan cukup jauh ke kampus, lagian aku juga sudah biasa dan hal itu akan memotivasiku untuk lebih semangat untuk kuliah.

           Semasa kuliah, ketika muncul perasaan malas maka kuhadirkan wajah orang tuaku, itulah motivasi terbesarku. Aku menjadi mahasiswa aktif, terutama di bidang nonakademik. Aku ikut menjadi staff EM, bergabung dengan berbagai UKM, dan mengikuti berbagai perlombaan. Aku juga mendapat banyak beasiswa seperti beasiswa BRI Syariah, Sobat Budaya, Bakti BCA, KJMU, IKA UB. Kuliah di UB memang mahal tetapi sebanding dengan berbagai fasilitas yang diberikan, juga banyak beasiswa bagi yang membutuhkan. Selama perkuliahan aku akhirnya mengerti kalau kuliah itu yang penting adalah kemauan setelah itu pasti ada jalan.

           Selama kuliah aku juga terkadang kerja, di toko boneka, rumah makan, fotocopy. Memang hasilnya sedikit, tapi bisa menambah uang jajanku dan sesekali kukirim sebagian ke kampung serta kutabung sebagian. Aku juga lulus 3,5 tahun dan meraih predikat lulusan terbaik. Ketika wisuda, namaku dipanggil pertama kali disertai dengan nama orang tuaku di belakangnya. Bangga sekali rasanya waktu itu, menjadi orang pertama yang bersalaman dengan pak Rektor ketika wisuda. Lalu kubawa mamak, ayah dan Tigor keliling kota Malang dan Batu, mengunjungi Kampung Jodipan, Jatim Park dan gunung Bromo.

           Setelah lulus kuliah aku melanjutkan studi S-2 di Universitas Andalas Padang, tentunya dengan beasiswa penuh sambil sesekali bekerja sampingan. Beberapa tahun kemudian aku pun lulus. Tidak lama setelah itu aku dilamar oleh seorang lelaki yang memang sudah siap menikah. Dia adalah teman satu kampus sewaktu di Malang. Penampilannya memang sederhana tetapi hatinya begitu kaya. Ketika kukatakan kalau sudah menikah aku ingin bekerja dan aku ingin keluargaku ikut tinggal bersamaku, dia tidak keberatan sedikit pun. Katanya, pernikahan tidak menghancurkan mimpi seorang wanita, kalau dengan bekerja kamu bahagia maka lakukanlah dan keluargaku adalah keluarganya juga. Itulah yang membuat dia berbeda dengan lelaki lain, yang membuat hatiku akhirnya luluh di hadapannya.

           Setelah menikah kami tinggal di Jakarta. Sehari-hari aku menjadi dosen di salah satu Kampus Negeri di sana, mengisi banyak seminar, melakukan banyak riset dan kegiatan lainnya, yang terkadang sangat menguras waktu dan pikiran. Sambil mengajar, aku membuka usaha racun tikus. Usaha ini sebenarnya sudah terpikirkan cukup lama, apalagi ketika serangan hama tikus yang muncul di Indonesia. Selama menjalankan usaha ini, aku dibantu oleh keluargaku. Setelah cukup lama, usaha racun tikus ini semakin besar, permintaan juga semakin banyak. Bahkan sudah diekspor ke Jepang, Malaysia, Vietnam dan Thailand. Pada pemerintahan Jokowi aku mendapat penghargaan Satyalancana dan diangkat menjadi menteri pertanian. Aku, Hotmaida, seorang perempuan dari kampung yang kini jadi menteri. Seorang perempuan yang bercita-cita tinggi dan dengan beraninya merantau ke pulau Jawa. Aku ingin, semoga perempuan-perempuan lainnya juga tidak takut untuk bermimpi karena mimpi tanpa pendidikan bagaikan bangunan tanpa tiang. Perempuan tidak hanya memasak di dapur, membersihkan rumah, menjaga anak tetapi perempuan juga bisa bekerja, keluar ke ruang publik.


       


09 Aug 2020 14:14
145
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: