Berbohongnya si Gadis Vanila
Cerpen
Kutipan Cerpen Berbohongnya si Gadis Vanila
Karya lafahriza
Baca selengkapnya di Penakota.id

Walaupun kita berdua adalah teman masa kecil yang sangat dekat, layaknya tuts hitam dan putih. Walaupun gulungan tahun-tahun kalender itu sudah berlalu sangat lama, semakin tertinggal dan menjauh dari masa kini. Tapi sungguh, mengharapkannya kembali selalu membuatku merasa bahagia, bahkan aku merasa kembali menjadi anak kecil jika mengingatnya, seperti saat itu: tujuh tahun.


Kau tahu apa yang membuat kenangan menjadi sangat indah juga menyakitkan? Karena kenangan tak akan terulang untuk kedua kalinya. Kenangan itu sangat sederhana, ia hanya perlu dikenang. Sebab itulah ia dinamakan kenangan. Ia hanya hidup dalam kota kecil bernama ingatan, tapi tidak hidup untuk masa kini.


Itulah menyedihkannya. Manusia memang aneh. Tiap detik, tiap pelangi yang melintas di matamu, tiap tawa yang mengalir pada mulut tipismu, tiap angin yang mengajak rambut hitam lurusmu menari saat itu. Aku selalu menyimpannya sebagai harta karun paling berharga.


Aku ingat kejadian saat gerombolan awan hitam mengguyur kita ketika itu, mengingatnya saja aku merasa geli, aku begitu payah. Ketika hari mulai sore, rintik hujan mulai turun, dan kau mengajakku untuk bermain menuju lapangan, sedangkan ibu kita berteriak marah meminta kita tidak bermain. Kita berlomba membuat istana lumpur dari pasir yang tercampur air hujan. Kau selalu menang, sedangkan punyaku selalu gagal dan hancur. Kau mengejekku, dan aku yang polos selalu ingin menangis. Tetapi kau selalu membantu membuat istana lumpurku dengan sabar. Aku tak mengerti, mengapa saat itu aku begitu cengeng. Aku memang lelaki yang payah. Aku pun tahu, kau diam-diam menganggapku begitu bukan? Tapi saat itu, berada di dekatmu seperti berada di surga, aku merasa senang dan damai.


Aku tak pernah tahu, apakah kau masih mengingat memori-memori itu? Ingat atau tidak, aku selalu berharap memori itu tak pernah lenyap dari rekaman otakmu dan menyimpannya sebagai harta karunmu, sama sepertiku.


Kemudian saat usia kita tiga belas tahun, kau mulai menyukai piano dan mulai mengikuti les. Kau berubah. Kau sangat sibuk. Kau mulai jarang menemuiku untuk mengajak bermain. Aku akui, kau sangat keren saat memainkannya, kau terlihat cantik juga elegan saat duduk memakai dress dan menekan tuts itu.


Ayunan dan perosotan favorit kita sangat lama tidak tersentuh. Tuts-tuts piano itu mulai merebutmu. Hari kelima pada bulan April tahun itu membuatku kesal kepadamu, ketika kau menolak ajakanku untuk bermain membuatku sangat kesal, bahkan lagi-lagi aku menangis saat itu. Kupikir kau lebih mementingkan les untuk mengasah jari-jari mungil putihmu menekan tuts-tuts itu. Kau sangat mementingkan piano daripada aku. Tentu saja aku marah. Sangat marah. Saat itu aku menutup seluruh muka dengan tanganku, memang pipiku seketika basah dan terlihat memalukan. Kukira kau serius menolak ajakanku untuk bermain. Kukira kau akan berlari menuju mobil jemputan yang menunggu di depan rumahmu, tapi kau tidak. Kau memacu ke arahku, kau lari ke arahku. Saat kau berlari, rambut hitammu terlihat berkilau karena pantulan matahari dan menari-nari sangat indah. Mata hijau lonjongmu bercahaya saat menatapku. Aku tak mengerti, kau gadis yang sangat mengagumkan.


"Aku tak akan meninggalkan teman terbaikku, aku janji. Lelaki tidak boleh sedih, apalagi merengek berlinangan air mata seperti ini, Mark. Tersenyumlah!" Kau menepis tangisku oleh tatapan teduhmu.


Kata-katamu saat itu selalu terngiang di telinga dan begitu mendengung di benakku tiada henti, menjadikannya kata-kata favorit di memoriku. Apa kau tahu itu?


Dan akhirnya siang itu kau melambaikan tangan pada mobil jemputanmu, kau memilih bermain menghabiskan waktu bersamaku seharian. Kita bernostalgia bermain istana lumpur seperti saat kita berusia tujuh tahun. Ketika itu kau kalah, istana lumpurmu gagal dan hancur. Aku senang ketika itu. Tapi, bukankah kau hanya mengalah? Bukan begitu, Nez?


Keesokan harinya, saat aku sarapan, ibuku mengatakan sangat kecewa kepadamu, saat itu aku bingung mengapa ibuku kecewa. Ketika aku bertanya, ibu memberitahuku. Saat kita menghabiskan waktu bersama, ternyata kau berbohong, kau bukan melewatkan les piano, melainkan kompetisi piano, bahkan kau berada di babak final. Kau melewatkan kesempatan emas karena aku. Haha, mengingat kejadian itu membuatku tampak seperti orang tolol.


Setelah aku mengetahuinya, aku merasa bersalah. Tentu saja. Aku meraih sweter dan topi polo hitam favoritku, dan segera bergegas ke lapangan untuk menemuimu. Di sana kau duduk termenung di ayunan favorit kita, di bawah pohon pinus yang rindang. Saat itu kau hanya melihat langit-langit yang ketika itu mulai mendung. Setelah kejadian itu, barulah aku sadar, aku selalu egois kepadamu. Padahal aku tahu, kau sangat-sangat mencintai piano.


"Nez?"


"Oh kamu, Mark. Lihatlah awan itu, indah bukan?" Kau menunjuk langit-langit tetapi tak menatapku.


"Maaf, Nez."


"Maaf? Untuk apa? Kenapa?"


"Untuk kompetisi finalmu. Maaf sudah memaks..."


"O... Tak apa, itu tidak penting kok." Kau memotong saat aku belum selesai berbicara.


Aku duduk di ayunan kedua, di sebelah ayunanmu. Lalu hening, tak ada satu kata pun, tidak ada gerak sedikit pun, hanya ada suara rantai ayunan ketika angin berembus. Aku takut kau marah. Badanku sungguh gemetar saat itu. Melihat mata hijaumu saja aku tak berani. Aku terlalu takut. Memang benar, aku selalu menjadi lelaki payah sejak kecil, tak pernah berubah.


"Mau main, Mark?" Kau memulai percakapan dan menoleh kepadaku. Tentu saja aku kaget dan gagap seketika.


"Hm ... uhm, a-ayo."


"Mark?" Kau memanggilku dengan lembut.


"Aku tidak marah kepadamu, soal itu lupakan saja. Kita kan teman sejak kecil." Lagi-lagi, kata-kata manismu menenangkanku, bibirmu merekah hangat. Tatapanmu membuat waktu berhenti seketika. Kau mengusap rambutku dan mencubit pipiku dengan gemas.


"Ngomong-ngomong, aku belum pernah mengajarkanmu menekan tuts piano, ya? Padahal kau selalu menyebutku keren saat memainkannya. Oh, mengapa tidak sekarang saja? Ayo!"


"Ta-tapi, Nez..."


Kau tak mendengarkan, dan langsung memotong omoganku. Kau menarikku, pergi berlari menuju rumahmu. Gemetar melahap kendali tubuhku. Memang aku ini benar-benar payah, untuk bermain piano saja aku gemetar. Saat kita berlari, tanganmu tak pernah melepaskan tanganku, rasanya sangat hangat saat digenggam olehmu. Rambutmu tak berhenti menampilkan keindahan, ia sedang menari bersama angin di sepanjang jalan. Hingga akhirnya kita sampai di rumahmu, kau tidak sabar menuju ruangan musik lalu membuka piano bermerek "Heilbronn" itu. Kau menyuruhku duduk dan segera menekan tuts-tuts hitam putih itu. Ketika aku duduk di depan piano, kau segera duduk bersandar di jendela. Meski diajarkan olehmu, aku merasa canggung. Sesekali kau menggelengkan kepala dan menegurku jika nada yang kutekan terdengar sumbang. Tak hanya sekali kau menegurku, tetapi kau tak berubah sejak dulu, kau selalu menjadi orang penyabar, seperti bermain istana lumpur ketika kita berumur tujuh tahun.


Aku ingat, ketika kau bersandar di jendela, ketika kau memandang langit sambil bernyanyi, ketika kau menggerakkan kaki-kaki mungilmu. Angin seketika berembus menyelinap masuk tanpa diundang. Mengayunkan rambut panjangmu dengan tenang. Rok hitammu berkibar, tapi kau segera menepis dan menutupnya secepat mungkin sebelum angin benar-benar mengangkatnya. Kau tampak tersipu malu.


"Lihat apa? Fokus! Nadamu masih sumbang." Kau menegurku karena melihat rokmu yang hampir tergusur ke atas.


"Hm ... T-Tidak. M-maa..." Aku terbata-bata. Padahal aku tidak berpikiran negatif. Aku hanya tak sengaja melihatnya ketika aku diam-diam melihatmu.


"Kau hebat, Mark. Nada-nada yang kamu mainkan terdengar sangat indah." Kau memotong tiba-tiba.


"T-tapi aku memainkannya dengan salah, bukankah beberapa kali nadaku terdengar sumbang?"


"Bukan tentang salah atau benar, ini tentang siapa yang memainkannya." Bibir ranummu mengembang menjadi senyum paling manis.


Seketika kau turun dari jendela. Kau mendekat ke arahku. Aku tak menduga ketika kau menyodorkan wajahmu tepat di depanku. Tatapan serius serta bibir harum khas vanilamu membekukan otakku saat itu. Seketika otakku menjadi es, aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi saat bibirmu terbang dan mendarat di pipiku. Harum vanilamu memutus seluruh indraku. Otakku meleleh dibuatnya. Aku tidak ingat berapa lama, entah sedetik atau dua detik, tapi bagiku terasa selamanya. Aku memejamkan mata. Aku ingin terbang ke langit ketujuh dan melampauinya.


Jantungku berdentum seperti meriam. Tak terkendali semakin cepat dan semakin cepat hingga menciptakan suara seperti "boom!"


Tuan Putri, kau telah menaklukkan hatiku.


***


Aku selalu mengingat memori itu, dan aku selalu menginginkannya kembali. Tapi mengharapkannya kembali begitu menyakitkan. Sama seperti ketika kau pergi menuju penulis itu. Kau pergi bersamanya dan itu sangat menyakitkan. Aku tak rela awalnya, tapi kini aku ikhlas, karena aku sadar ia lebih menyayangimu, Nez.


***


Saat kita menginjak umur enam belas tahun. Saat itu kau mengajakku ke rumahmu. Saat itu adalah hari ulang tahunku, dua puluh enam November tepatnya. Kau duduk di depan benda besar bermerek "Heilbronn" itu. Kau membukanya, lalu segera menekan barisan hitam dan putih itu. Lalu mulai terdengar lagu yang sangat kukenali.


"Happy birthday to you ... Happy birthday to you ... Happy birthday, happy birthday ... Happy birthday to ... you ..."


Kau berdiri saat selesai menekan tuts dan selesai menyanyikannya. Kau terlihat anggun, kau tampak seperti ratu dalam dongeng anak-anak dengan wajah yang mulai dewasa itu.


"Selamat ulang tahun, Mark." Kau menatapku dengan linangan air.


"Aku berjanji, aku akan selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan itu, Mark." ucapmu sembari menodongkan kelingking manismu.


"Terima kasih, Nez."


***


Aku tak percaya, janji yang kau ucapakan adalah percakapan terakhir kita. Aku tak menyangka setelah kau berjanji malam itu, kau pergi meninggalkanku. Kau melanggar janjimu. Dan itu menyakitkan, sungguh.


Waktu itu aku marah. Sangat marah. Aku hanya ingin bertemu penulis itu. Aku ingin memukul dia, meremukan dia. Amarahku memuncak saat penyebab kepergianmu adalah aku. Aku tak bisa membendung amarahku ketika ingat begitu bodohnya aku.


Namun, semua sudah terjadi. Kenanganmu selalu hadir ketika kalender menunjuk bulan November. Seperti saat ini, kalender menunjukkan hari kedua bulan November tahun dua ribu dua. Rekaman memorimu selalu berputar pada bulan ini. Bulan yang sangat spesial bagiku, terlebih bulan ini aku akan melangsungkan pernikahan dengan seseorang yang handal memainkan piano sama sepertimu. Dia bernama Rere. Apakah kau akan marah jika tahu ini? Mungkin tidak, kini kau telah bahagia di sisi penulis itu. Benar, 'kan? Aku senang jika kau telah bahagia.


***


Malam ini adalah ulang tahunku. Akankah kau datang? Bukankah kau telah berjanji akan menjadi orang pertama yang mengucapkan? Akankah kau memainkan nada-nadamu sama seperti itu? Lima menit lagi aku ulang tahun, kau di mana? Kau berbohong! Di depan piano ini kini bukan kau, tetapi Rere.


Dia duduk di depan bekas pianomu. Partitur nadanya masih tersimpan rapi di atas titian piano. Rere mulai menekan tuts demi tuts yang telah diselimuti debu. Dan yang kubayangkan adalah kau yang tengah duduk dan memainkannya dengan lembut. Kugenggam dadaku. Sungguh ini terasa sangat menyakitkan.


Rere menekannya dengan pelan dan indah. Namun keindahan itu terasa seperti sedang menyayat hati. Semakin indah semakin dalam sayatannya. Kenangan ini indah sekaligus menyakitkan.


Ketika jam tua telah berdentang pada jam dua belas tepat. Tiba-tiba Rere bernyanyi.


"Happy birthday to you ... Happy birthday to you ... Happy birthday, happy birthday ... Happy birthday to ... you ..."


Saat lagu selesai. Aku kaget seketika Rere tiba-tiba berdiri dan mendekat dengan tatapan kosong, ia memelukku dengan kencang dan berbisik kepadaku.


"Aku akan memperkenalkanmu pada sang penulis kehidupan."

17 May 2018 20:00
247
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: