PENGAKUAN
Cerpen
Kutipan Cerpen PENGAKUAN
Karya linarfdhh
Baca selengkapnya di Penakota.id
Saat ini aku sedang menatap senja di atas bukit bersama dengan laki-laki aneh yang belakangan ini menuduh aku menyukainya. Padahal, siapa yang mengejar-ngejar cintaku sejak duduk di bangku sekolah kelas 10? Begitulah sifat manusia, tetapi kalau manusia itu dia, aku, sih, tidak masalah. Lagipula, mungkin ia tidak bermaksud untuk menuduh. Bisa jadi itu adalah doanya. Doanya di hadapan Sang Pencipta senja yang sedang ku lihat bersamanya kini.
“Nostalgia, yuk.” Suaranya membuat ku tersadar dari lamunanku.
“Hah? Hmm.” Aku berpikir sejenak, hal apa yang ingin aku nostalgia kan bersama dia?
“Kamu ingat tidak, waktu aku baru pindahan sekolah?” mulutnya berbicara pada ku, tetapi matanya menerawang jauh ke dalam cahaya senja.
Sesekali aku melihat matanya terpejam, ia sangat menikmati nostalgianya. Aku hanya bisa tersenyum menatap wajah tampannya yang saat itu tersinari oleh cahaya senja. Di tengah ia bercerita tentang nostalgianya dan aku yang sedang menatap wajahnya, ia tiba-tiba saja, tanpa aku sadari menatap ke arah ku. Ia cekikikan dan langsung membuat aku sadarkan diri.
“Aku tampan, ya?” katanya kemudian.
“Enggak.”
“Coba, tadi aku cerita apa?” aku diam. Aku memang tidak bisa menjawabnya karena tadi aku terlalu fokus menatap setiap lekuk wajahnya. Saat itu, aku cuma ingin bilang iya, kau tampan tetapi aku tidak ingin dia jadi besar kepala.
“Kita hanya punya waktu beberapa menit lagi untuk menikmati senja ini, setelah itu, akan membawa mu pulang.”
Aku menatap senja yang saat itu cahayanya sudah hampir redup, ia benar, waktu kita berdua untuk menatap senja tidak akan lama lagi. Ah, aku tidak ingin hariku bersamanya cepat berlalu. Aku ingin semua diakhiri dengan akhir yang indah, tidak sia-sia seperti yang sudah-sudah. Entah, aku pikir mungkin aku sudah gila karena merasa nyaman duduk bersamanya kini, di sampingnya. Menatap ia bercerita, sesekali ia tampakkan senyum manisnya. Sebenarnya aku ingin berakhir seperti apa?
Aku benar-benar tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku menyukainya. Entah sejak kapan, yang jelas sekarang aku menyukainya.
“Aku boleh tanya sesuatu?” lagi-lagi suaranya menyadarkan ku dari lamunan.
“Tanya apa?”
“Kenapa kemarin kamu menjauh saat bertemu dengan ku, bahkan saat aku ingin mengajak mu ke sini?” matanya menatap tajam mataku.
“Tidak tahu.”
“Apa karena kamu cemburu aku jalan sama Gresya?” aku masih diam. Tidak peduli seberapa lama ia menunggu jawaban dari ku. Seketika keinginan ku ingin mengakhiri senja hari ini bersamanya dengan akhir yang indah, telah pergi entah kemana. Inilah ego wanita ketika sakit hatinya karena cemburu telah membabi buta.
Sepertinya laki-laki itu sudah menyerah bertanya pada ku. Berkali-kali ia mencoba meraih tanganku pun aku menolaknya. Aku mendengar helaan napasnya yang panjang, dan kemudian ia berdiri.
“Ayo, kita pulang, aku pikir hari ini cukup.” Tanpa mempedulikan ku lagi, ia mulai berjalan.
“Laki-laki macam apa yang sudah mengajak satu perempuan jalan bersama, memberinya harapan, kemudian esoknya ia mengajak perempuan lain untuk jalan bersamanya?” suasana hening sejenak.
“Benar, kan, kamu cemburu.” Ucapnya di sela-sela tawanya yang menyebalkan. Ia menjitak kepalaku pelan dan kembali duduk di sampingku. Aneh, perasaan aku tidak mendengar suara langkah kakinya kembali mendekat.
Tetapi, ya, sudahlah. Mari pikirkan baik-baik, apa yang akan laki-laki lakukan ketika tahu seorang perempuan yang selalu menolak cintanya sejak dulu akhirnya cemburu ketika ia jalan dengan perempuan lain? Aku akui, aku telah menjatuhkan harga diriku di depan laki-laki itu saat ini.
“Jadi, harus aku bayar berapa keberanian mu mengungkapkan perasaan mu, Mba?” lagi-lagi ia tertawa. Menertawakan ku. Dan lagi-lagi aku hanya diam.
“Gresya cuma minta aku menemaninya ke toko buku, ada buku yang ingin dibeli katanya.”
“Tapi, kamu tau kalau Gresya suka kamu?”
“Tau.”
“Terus?”
“Ya kan aku sukanya kamu, mana berani aku macem-macem.”
Setelah itu ia bercerita bagaimana ketika Gresya mengajaknya jalan. Tidak perlu aku ceritakan, yang jelas, sama saja pada umumnya ketika perempuan mengajak laki-laki yang disukanya jalan berdua. Tetapi, yang membuat ku tidak habis pikir, perempuan mana yang dengan beraninya mengajak seorang laki-laki berciuman di toko buku? nafsu harusnya juga tau tempat.
“Terus, kamu gimana?”
“Ya, aku tolak, lah, aku bilang ke dia, dosa.” Aku tertawa mendengarnya. “Lagipula, kalau, pun, aku harus melakukan itu, aku cuma mau sama kamu.”
“Dosa, Fajar.” Ucapku, kemudian kita berdua tertawa.
“Ya nanti.”
“Kapan?”
“Ih, nggak sabar, ya?”
“Apaan, sih, kamu.” Aku mencubit lengannya. Ia meringis kesakitan.
“Maksud aku, nanti kalau udah boleh, pas udah nikah.” Ia tersenyum lagi. Senyuman yang terkena pancaran cahaya senja.
Aku baru ingat, aku belum memberikan suatu pengakuan kepadanya. Pengakuan, kalau aku sudah mencintainya. Aku terlalu sibuk memikirkan kecemburuan ku pada Gresya, sampai-sampai aku lupa, kalau waktu terus berjalan dan pancaran cahaya perpaduan kuning dan orange itu semakin redup.
Aku harus mengakhiri hariku berdua dengannya di hadapan senja dengan indah. Sekaligus mengabulkan doa-doanya, yang berharap suatu saat aku akan mencintainya juga. Dari mana aku tahu? Karena ia pernah bilang.
“Aku ingin memberitahu kamu salah satu doaku yang aku berharap akan cepat dikabulkan, kamu mencintai ku, Elis.” Ia mengatakan ini sewaktu sekolah kami sedang mengadakan tour ke Bandung dan saat di bus ia memaksa untuk duduk di sebelahku.
“Fajar.”
“Hm?” aku sangat gemetar ketika melihat wajahnya. Padahal, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
“Aku mau mengakui sesuatu.” Aku melihat wajah Fajar semakin penasaran dengan kalimat yang akan ku lontarkan selanjutnya. “Aku sayang kamu.”
Fajar tidak terlihat girang seperti laki-laki pada umumnya yang cintanya terbalaskan oleh perempuan yang dicintainya. Ia hanya senyum dan mengacak-acak rambutku. Ah, apa dia sudah tidak menyukai ku lagi? Secepat itu? Padahal baru saja ia bilang, kalau ia harus berciuman dengan seorang perempuan ia hanya ingin bersama ku, tetapi kenapa sekarang ia seperti cuek saja.
Aku menghela napas panjang, lemas rasanya melihat responnya hanya seperti itu. Aku berdiri dan mengatakan ingin segera pulang. Tetapi, dengan cepat ia menarik tanganku dan memaksa ku untuk duduk seperti tadi. Ia bilang senja sedang indah-indahnya, jangan lewatkan saat itu. Aku hanya menurutinya dan duduk seperti tadi.
“Terimakasih atas pengakuanmu, aku senang sekali, akhirnya, Pencipta semesta mengabulkan doaku.”
“Tapi, tadi kamu seperti kelihatan tidak begitu senang saat aku menyatakan perasaan ku?”
“Karena, aku sudah tau kalau kamu akan meyukai ku.” Lagi-lagi ia tertawa dan tangannya mengacak-acak rambutku. Ini kebiasaan buruknya sejak dulu yang tidak pernah hilang.
“Lihat ke arah senja, jangan ke arah ku. Senja sedang indah-indahnya.” Ucapnya sembari menunjuk ke arah matahari yang semakin cepat tenggelam di hadapan kita berdua, seakan matahari ikut bersuka cita dan tidak ingin mengganggu kemesraan yang sedang kita lakukan.
“Kamu, tau nggak, kalau ada yang lebih indah dari sekedar melihat senja seperti ini?” Tanyaku.
“Apa?”
“Melihat senja bersama kamu, Fajar.” Laki-laki itu tersipu malu dan perlahan ia memelukku.
Akhirnya, setelah beberapa kali kami menikmati senja di bukit ini dan berakhir sia-sia, kini aku dan Fajar mengakhiri senja dengan akhir yang indah. Seindah pancaran cahaya dengan perpaduan warna kuning dan orange.
Sedang matahari sibuk menenggelamkan dirinya, aku dan Fajar bercanda ria, menikmati hari jadi pertama kita berdua.
20 Jul 2018 23:21
290
Jakarta Selatan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: