Dalam Khayal
Cerpen
Kutipan Cerpen Dalam Khayal
Karya linarfdhh
Baca selengkapnya di Penakota.id
“Kalau suatu saat aku harus pergi duluan, apa yang akan kamu lakukan?”
“Pergi ke mana?”
“Hmm, ke syurga.”
“Ih, kamu ngomong apaan, sih,” aku mencubit lengan Derren yang saat itu terlihat fokus menatap langit malam. Sontak ia menatapku, kesakitan.
“Aw, sakit.”
“Biarin. Lagian ngomong sembarangan.”
Beberapa menit kami diam sejenak, sama-sama menatap langit yang dipenuhi bintang dan bulan. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya berpikir seperti itu. Sesekali aku melirik ke arahnya, otakku masih mempertanyakan maksud yang dikatakannya barusan. Tetapi, ia begitu tenang menatap langit. Keterlaluan, ia bisa dengan tenang menatap langit setelah memberikan pertanyaan yang membuatku kepikiran.
“Memang, kapan kamu akan pergi ke syurga?” aku memancingnya dengan sebuah pertanyaan.
“Nungguin?”
“Derren!” dia hanya tersenyum saat aku mendorong pelan lengannya.
Lagi-lagi kami diam sejenak selama beberapa menit, entah memang kehabisan kata-kata atau memang sedang tidak ingin bicara. Derren tidak melepaskan pandangannya dari langit, aku penasaran apa yang membuatnya begitu fokus.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” aku melirik ke arahnya dengan tatapan heran, tetapi yang ku lihat, ia sedang memejamkan matanya.
“Yang mana?” Pertanyaanku membuatnya membuka matanya kembali dan menatapku.
“Kalau aku harus pergi ke syurga duluan, apa yang akan kamu lakukan tanpaku?” kali ini tatapannya sangat serius.
“Aku akan melanjutkan hidupku seperti biasanya,” setelah menghela napas, akhirnya aku menjawab pertanyaannya. “Derren, percayalah meskipun kamu pergi dari hadapanku, tapi kamu nggak akan pergi dari hati aku. Kita akan selalu bersama, aku di hati kamu, kamu di hati aku dan akan selalu seperti ini meskipun nyawa sudah tidak menyatu dengan raga.”
“Tapi, suatu saat kamu akan menikah dengan laki-laki lain, apa tetap aku yang ada di hati kamu?”
“Tetap. Meskipun aku akan jatuh cinta lagi dengan orang lain, kamu masih akan tersimpan di hatiku yang paling dalam, sebagai kenangan.”
Derren tersenyum dan memelukku dengan erat.
“Jika suatu saat aku harus pergi terlebih dahulu, coba kamu lihat bintang, cari yang paling benderang, itu aku,” ucapnya seraya melepaskan pelukannya.
Sekali lagi, aku dan Derren menatap langit. Menikmati angin malam yang menusuk hingga ubun-ubunku. Padahal aku sudah terbungkus jaket tebal milikku dan Derren. Malam itu di taman komplek perumahanku, Derren menggenggam erat tanganku. Tangannya terasa begitu dingin.
“Aku sayang kamu, Van.”
“Aku juga, Der.”
Derren merangkul ku dengan erat, tetapi tidak lama karena setelahnya ia langsung mengajakku pulang.
“Tidak mau, ah. Masih ingin di sini sama kamu.”
“Ini udah malem, Van. Anginnya nggak bagus buat kesehatan.”
Entah, aku merasakan sesuatu yang aneh dari Derren. Sejak kapan ia mengkhawatirkan angin malam? Karena malas ribut akhirnya aku menerima ajakan Derren untuk pulang. Ia mengantarku sampai depan rumah, setelah disambut oleh kedua orang tuaku dan berpamitan untuk pulang, Derren menghampiri motornya yang terparkir di depan rumahku, kemudian mengendarainya hingga tidak terlihat lagi olehku. Aku ingat bagaimana punggung itu menjauh, hilang ditelan gelapnya malam.
Sesampainya di kamar, aku mendapat pesan dari Derren. ‘Good Night, terima kasih untuk malam ini. Aku akan merindukanmu.’ Aku tersenyum membacanya. Aku menikmati tidurku, lelap sekali hingga pagi. Sampai akhirnya..
“Ivana, bangun.”
“Apaan, sih, ribut banget,” aku membuka mataku dan melihat Kanya, sepupuku terlihat sangat gelisah.
“Ayo, cepet ke mobil.”
Aku tidak tahu ada apa, tiba-tiba aku disuruh masuk ke mobil tanpa diizinkan terlebih dahulu untuk cuci muka. Papa yang saat itu menyetir mobil juga terlihat begitu gelisah.
“Pa, ada apa, sih? Ma?” aku juga menanyakan pada Mama yang duduk di sebelah Papa. Aku benar-benar sedang tidak fokus saat itu karena masih mengantuk. Tetapi, aku semakin menyadari kemana arah mobil ini pergi. Jelas, karena aku sering melewati jalan ini saat ingin pergi ke rumah Derren.
“Nya, ini kok mau ke rumah Derren, ya?”
“Emang kita mau ke sana, Van.”
“Kenapa?” aku menatap Kanya serius. Kanya hanya membalas tatapanku sebentar dan menghela napas. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Mama dan Papa juga tidak menjawab apa-apa, semuanya diam.
Sesampainya di rumah Derren, aku melihat bendera kuning tergantung di pagar rumah Derren. Siapa yang meninggal? Aku segera memasuki rumah Derren yang sudah penuh dengan tamu. Mama Derren keluar, menyambutku dengan tangis. Ya Tuhan, tulisan pada bendera kuning itu terbaca olehku. Aku tidak bisa menahan tangisku saat itu juga, aku segera masuk dan melihat Derren sudah terbaring tidak berdaya. Sakit. Pedih sekali rasanya melihat seseorang yang ku sayang, yang semalam masih duduk di sampingku, kini sudah tertidur untuk selamanya.
“Ivana.. sst, woy!” sebuah pulpen mendarat di kepalaku.
“Aw, sakit,” sontak aku melirik seseorang yang sudah dengan sengaja melemparkan pulpennya ke kepalaku.
“Jangan bengong, itu catet,” masih dengan suara berbisik, laki-laki itu menunjuk ke arah papan tulis.
“Apaan, sih, Derren! Nggak penting tau nggak.”
Aku kembali menatap lurus ke depan. Bukan untuk memperhatikan tulisan di papan tulis yang dosen minta agar dicatat, melainkan untuk kembali membayangkan betapa menyedihkannya khayalanku itu. Tetapi anehnya, aku tersenyum. Bisa-bisanya aku membayangkan sahabatku sendiri menjadi kekasihku.
01 Oct 2018 22:39
174
Jakarta Selatan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: