Secangkir Kopi dan Kisah yang Tertinggal Malam itu
Kutipan Cerpen Secangkir Kopi dan Kisah yang Tertinggal Malam itu
Karya lintangwuluh07pk
Baca selengkapnya di Penakota.id
“Akhirnya, aku menemukanmu kembali, kisah lama itu ternyata tidak pernah pergi.”

***

Sama seperti malam sebelumnya, aku kembali ke tempat ini,, duduk bersila di kedai lesehan dekat taman kota dengan tujuan yang sama. Menunggu seseorang tanpa tahu kapan dia akan datang.
Beberapa menit berlalu, tidak ada yang aku lakukan selain memesan minuman. Hujan yang turun tiba-tiba membuat suasana malam ini sangat cocok digunakan untuk ngopi. Segerombolan anak muda yang baru masuk ke kedai ini mungkin berpikiran sama.

Kulihat mereka memilih duduk melingkar di bagian pojok kedai. Salah seorang gadis diantaranya berjalan kearah bar tender untuk memesan kopi. Sedangkan seorang pemuda lainnya mengambil kotak karambol mini yang tersandar di dekat mereka untuk digunakan bermain.

Aku terus mengamati kegiatan mereka dari tempat dudukku. Jika dilihat lebih detail, wajah mereka masih seumuran anak SMA. Sifat polos yang tergambar saat mereka bercanda dan tertawa dengan jujur masih terlihat sangat jelas dari raut mukanya.

Malam ini, mereka masih bisa tertawa lepas tanpa beban karena ada teman-teman disampingnya. Tapi, mereka tidak berpikir bahwa akan ada hari esok saat mereka berpisah dan memilih jalannya sendiri-sendiri hingga tidak ada lagi kisah indah yang tersisa diantara mereka. Sama seperti aku dulu, aku juga tidak berpikir akan ada hari yang dimana aku akan berpisah dengan sahabatku dan cinta pertamaku. Kini, tidak ada lagi yang tersisa dari malam itu.

***

“Nai, suatu hari nanti, aku bakal buka kedai kopi di depan taman ini. Kamu harus jadi orang pertama yang aku layani,”

Dia mengucapkannys setelah menyesap kopi malam itu. Aku, dia serta sahabatku-Letta sedang duduk di bangku taman kota yang tak jauh dari Kampus kami.

“Kenapa aku? Harusnya kan Letta,” sahutku refleks menanggapi pertanyaannya.

“Kalau Letta duluan, kasihan. Ya kali kopi yang aku buat enak, kalau kemanisan atau malah pahit, gimana? Kalau kamu yang aku layani dulu, kamu pasti bakal jawab jujur bagaimana rasa kopinya. Jadi, aku bisa bikin yang lebih enak. Terus, kopi terbaiknya aku kasih ke Letta deh,” jawabnya ringan kemudian tersenyum manis ke arah Letta¬¬¬.

“Dasar payah. Aku kan gak suka kopi,” balasku sebal. Sedangkan Letta tertawa renyah. Dia kemudian tersenyum ke arahku.

“Mungkin maksud Bagas, biar kamu langsung jatuh cinta sama kopi karena kamu jadi orang pertama yang ngerasain kopi buatan dia. Biasanya hal pertama yang dibuat seseorang itu kan hasil dari kesungguhannya,” ujar Letta menghiburku.

Aku hanya menghela nafas dan menatap langit yang terlihat indah dengan kerlipan bintang. Ini adalah konsekuensi yang harus aku terima karena membiarkan cinta tumbuh diantara hubungan persahabatan kita.

Hari itu, jika boleh meminta, aku tidak ingin ada cinta segitiga dalam persahabatan ini karena sungguh ini bukan film atau drama yang berakhir bahagia, tapi ini kisah nyata yang akhir ceritanya masih rahasia dan aku tidak sanggup menerima konsekuensi terburuknya.

***

Ini tidak adil.

Dulu kita bertiga sama-sama menerima konsekuensinya. Tapi sekarang, mengapa tinggal aku sendiri yang merasakan pahitnya kopi? Apa karena hanya aku dulunya yang tidak suka dengan kopi?

Tapi, waktu itu dia berhasil meyakinkanku jika rasa pahit dari kopi adalah sebuah keharusan, sebuah konsekuensi yang harus dinikmati untuk bisa merasakan esensi dari filosofi kopi yang selalu dia percayai.

Sebuah sisi pahit yang tidak bisa disembunyikan namun akhirnya terasa manis jika kita menikmatinya dengan keikhlasan. Lambang cinta paling ikhlas dalam hidup, itu katanya dulu.

***

“Nah, udah jadi. Sekarang kamu harus coba kopi buatanku ini, Nai. Dijamin enak,” ucap Bagas kala itu dengan semangat. Aku hanya mendesah lelah, ini sudah sekian kalinya dia menyuruhku mencoba kopi racikannya.

“Dijamin enak dari Hongkong? Dari semua kopi yang kamu buat dan aku coba, rasanya tetap aja sama. Gak ada yang enak,”
Aku langsung meminum kopi yang diberikan Bagas tadi walaupun aku sudah mengatakan demikian berulang kali. Lagi-lagi, aku tetap mencoba semua kopi buatannya meskipun sebenarnya aku benci kopi karena ada rasa pahitnya.

“Gimana? Enak kan?”
Aku hanya menatapnya datar kemudian meletakkan cangkir kopi yang sudah tandas dan menyisakan ampas hitam kopi disana. Dia menatapku sambil menunjukkan binar matanya yang seolah tersenyum. Aku balas menatapnya dengan remeh

“Jangan menunjukkan ekspresi wajah seperti itu, aku belum mengatakan jika kopi buatanmu enak,” ucapku padanya dengan santai. Tapi, dirinya justru langsung tersenyum lebar.

Aku curiga.
Beberapa menit kemudian, aku sadar akan sesuatu. Bagas langsung tertawa.

“Gotcha! kamu baru saja mengatakan kopi buatanku enak, haha … aku emang calon barista kopi handal masa depan,” ujarnya dengan penuh percaya diri kemudian mengambil cangkir kopi di depanku.
Aku hanya mengusap wajahku kasar. Tidak habis pikir, mengapa aku bisa menyukai orang yang tergila-gila dengan kopi, padahal aku tidak suka dengan kopi. Aneh, tapi kenyataan.

Tiba-tiba Bagas meletakkan sesuatu di depanku. Ketika aku mendongak, dia sudah terlihat serius menaburkan bubuk kopi diatas papan kotak berwarna putih itu. Entah apa yang ingin dia lakukan, tapi tangannya terlihat terampil menaburkan dan mengusap serbuk kopi diatas papan hingga membentuk sebuah gambar.

“Kamu tahu, Nai …. Kenapa aku suka banget sama kopi?” Tanya Bagas masih fokus pada serbuk kopi didepannya. Aku hanya menatapnya bingung.

“Entahlah, mungkin karena rasanya,” jawabku seadanya.

“Bukan hanya karena rasa. Tapi, esensi dan filosofinya,”
“Maksudnya?”
“Selain rasa dari kopi yang nikmat dan aromanya yang memikat, menurutku kopi selalu memiliki daya tarik sendiri bagi peminumnya. Dan setelah belajar meracik kopi sendiri, rasanya aku menemukan sebuah filosofi.”

“Filosofi apa?” Tanyaku tanpa penasaran. Karena sebenarnya aku tidak tertarik dengan kopi. Namun sayangnya, jika sudah berbicara mengenai kopi, Bagas bisa bicara pangjang lebar hingga membuatku bosan.

“Filosofi kopi yang aku dapat saat meraciknya. Aku selalu berpikir, bagaimana aku bisa menyeimbangkan takaran kopi, gula dengan air agar bisa menghasilkan seduhan kopi yang enak sempurnanya. Tapi, setelah beberapa kali kamu nyoba kopi buatanku, aku sadar sesuatu …”

“Kesempurnaan rasa dalam kopi tidak akan bisa aku buat. Karena bagaimana pun aku ingin menyembunyikan pahitnya kopi agar kamu mengakui kopi buatanku enak, aku tetap tidak bisa. Hari itu kamu justru berkata, kopi buatanku semakin tidak enak sebab rasa manisnya terlalu legit hampir-hampir jadi pahit. Lalu apa kamu ingat apa yang kita bicarakan tempo hari tentang kesempurnaan?”

“Ya, aku ingat. Kesempurnaan adalah hak mutlak yang hanya dimiliki Tuhan. Semakin kamu mengejar kesempurnaan, maka kamu tidak akan puas dengan apa yang diberikan Tuhan. Jatuhnya jadi tidak ada rasa syukur dan keikhlasan dalam hidup,” jawabku dengan tenang. Dari arah samping,aku melihat ekspresi wajahnya yang tersenyum.

“Setelah mendengar perkataanmu hari itu, aku berpikir, jika aku tetap mengejar kesempurnaan dalam meracik kopi, aku tidak akan bisa membuat kopi yang pas untuk kamu. Jadi ….” Ucap Bagas kembali menggantung.

Aku hanya memutar bola mata malas. Hari ini dia sudah menjadi seperti seorang barista yang sepanjang hidupnya hanya melakukan penelitian dan percobaan meracik kopi.

“Kamu bisa tidak, bicaranya jangan muter-muter? Intinya aja gitu loh, biar aku paham,” ujarku tanpa dihiraukan oleh Bagas.

“Ya, ya, ini intinya. Jadi, hari ini ketika aku membuatkan kopi lagi untukmu, aku membiarkan tanganku bergerak mengikuti instuisi saat meracik kopi tanpa ingin membuatnya sempurna lagi. Aku hanya ingin membuat kopi terbaik untuk sahabatku dengan sungguh-sungguh dan inilah hasilnya, hari ini ekspresi wajah kamu menunjukkan kopiku terasa nikmat,”

“Kenapa kamu bisa yakin aku merasakan nikmatnya kopi buatmu hari ini?” Tanyaku sembari melihatnya.

“Kenapa ya? Aku yakin aja. Walaupun kamu tidak suka kopi dan selalu bilang kopi yang aku buat rasanya sama, tapi kamu tetep minum kopi buatanku kan? Kamu mau minum kopi dan menahan rasa pahitnya agar aku tidak kecewa. Lalu, hari ini kamu menikmati kopi itu tanpa berkomentar seperti hari-hari sebelumnya karena kamu ikhlas meminumnya untuk temanmu. Dan ada satu hal lagi yang ingin aku katakana padamu, Nai,”ucap Bagas dengan serius.

Jantungku langsung berdetak-detak tak karuan saat melihatnya. Namun aku tetap diam menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya.

“Aku hanya akan mengatakan ini sekali, jadi kamu harus mendengarkannya. Sisi pahit dalam kopi akan selalu ada. Sebab yang namanya kopi pasti ada pahitnya. Jadi, jangan membenci rasa pahit. Karena hidup itu esensinya ibarat secangkir kopi yang ada rasa manis pahitnya. Hal ini terjadi pada kehidupan semua orang. Maka dari itu, kopi selalu memberikan variasi rasa yang berbeda bagi setiap peminumnya. Itu tergantung bagaimana cara meracik dan menikmati kopinya. Semakin kita ikhas dan bersyukur, kehidupan ini akan terasa nikmat, sama seperti saat menyesap kopi, selama bisa menahan rasa pahit kopi, semuanya akan terasa nikmat,” tutur Bagas menjelaskan.

Aku hanya diam, ternyata hanya itu yang ingin dia katakana? Aku kira tentang apa? Lagi-lagi tentang kopi. Lalu, suara salam dari arah ruang tamu menyita perhatian kami. Ternyata itu Letta, dia sedang berjalan menghampiri kamisambil tersenyum.

“Letta sudah datang. Aku mau ngelakuin sesuatu buat dia. Doakan aku ya, Nai,” ucap Bagas pelan kemudian meletakkan sebuah cincin di atas lukisan serbuk kopi yang ada di papan putih itu. Dia lantas membalikkan badannya menghadap Letta.

Aku hanya bisa menatap punggungnya. Dibelakangnya, kotak papan putih itu sudah membentuk sebuah lukisan dua orang yang saling berhadapan dengan cincin yang berada di tengah-tengahnya. Aku tidak tahu harus bagaimana, aku hanya melihat dan menunggu.

Bagas menarik Letta untuk duduk di sampingnya. Ia lantas menunjukkan lukisan itu pada Letta dan menyampaikan maksudnya untuk melamar Letta. Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku untuk mengurangi rasa sakit yang mulai menyergap hatiku.

Jika mereka memang saling mencintai dan ingin bersama, aku akan ikhlas menerima karena bagaimana pun mereka tetap sahabatku. Kebahagiaan mereka juga kebahagiaanku. Namun, jawaban Letta tidak sesuai harapan, dia menolak lamaran Bagas dengan alasan yang aku sendiri tak mengerti.

Aku menatap Bagas dengan khawatir, aku takut dia akan emosional setelah mendengar penolakan Letta. Tapi, aku salah. Baik Bagas maupun Letta mereka berusaha bersikap wajar.

Malam itu, kami bertiga yang duduk di depan bar tender di kedai kopi yang akan kami resmikan besok setelah perjuangan berbulan-bulan memperbaiki tempat ini agar bisa menjadi kedai kopi, masih bisa bertiga bercanda ringan dengan memaksakan tawa dan senyum yang sebenarnya menyimpan luka, berpura-pura seakan hubungan kami akan baik-baik saja kedepannya. Namun, tidak pernah ada yang baik-baik saja setelah malam itu.

***

Semuanya berubah.

Kita bertiga berpisah. Dan hubungan ini mati. Yang tertinggal malam itu hanya sebuah kisah yang kemudian pergi.

Aku menghela napas melihat arloji, hampir jam 10 malam. Artinya, waktu sekitar dua jam aku gunakan untuk mengingat masa lalu. Rasanya pahit seperti kopi yang baru saja aku minum.

Aku benci kepahitan itu, tapi dia benar …. Aku tidak bisa menghindarinya.

“Stiky note dan pulpen, Nona. Tampaknya Anda sedang memikirkan sesuatu. Tulislah disini dan tempelkan di papan surat. Itu bisa membuat hati Anda lega,” ucap salah seorang pelayan sembari menyodorkan stiky note dan pulpen padaku.

Aku hanya menatapnya sambil tersenyum tipis. Menyediakan pulpen dan kertas bagi pelanggan untuk menuliskan perasaannya saat di kedai kopi ini adalah ideku waktu itu. Tapi, aku tidak menyangka ide itu diterapkan olehnya setelah menganggap usulanku sebagai hal konyol dan bodoh waktu itu.

“Terimakasih, mbak. Tapi, tidak ada yang ingin aku tulis malam ini. Mungkin lain waktu,” balasku dengan sopan. Pelayan itu undur diri. Tak lama, seseorang kembali menaruh pulpen dan stiky note di mejaku.

“Terimakasih, mas … Tapi, saya sudah bilang sama mbak yang tadi kalau saya tidak ingin menulis,” ucapku coba menjelaskan dengan halus tanpa melihat siapa yang berdiri di sebelahku. Aku langsung mengalihkan pandangan keluar.

Bukannya pergi, orang itu justru duduk disebelahku.

“Setidaknya, tulislah satu kalimat. Bukankah kamu yang mengusulkan ide konyol ini, Naira?”

Aku tertegun. Suara ini tidak asing bagiku. Mendadak leherku kaku digunakan menoleh ke samping. Jantungku rasanya berdetak-detak tak karuan. Saat ini, seseorang yang aku tunggu ada didepanku. Dia tersenyum sangat manis dengan wajah dewasanya yang terlihat lebih berkharisma daripada lima tahun lalu.

Dia mendorong secangkir kopi panas yang masih penuh kearahku, kemudian menuliskan sesuatu di stiky note itu dan memberikannya padaku.

‘Cobalah kopi itu dan jadilah orang pertama yang aku layani di kedai ini.’
Napasku terasa tercekat di tenggorokan setelah membaca tulisan itu. Aku menatapnya dengan lekat, laki-laki yang dihadapanku ini tidak berubah, hanya saja ssekarang dia memakai kaca mata minus.

“Aku senang kamu datang kesini. Aku kira, setelah kamu dan Letta pergi malam itu dan tidak menghadiri peresmian kedai ini, kamu tidak akan pernah datang kesini. Tapi, harusnya aku sadar, kamu akan tetap datang karena kamu adalah satu-satunya orang yang peduli padaku melebihi siapapun hingga kamu tidak bisa mengabaikan permintaanku, benar? Jadi, apa kamu tidak ingin mencoba kopi buatanku secara resmi? Kali ini, aku jamin rasanya enak,” ucapnya dengan tenang.

Kupandangi dia seraya meraih cangkir kopi itu. Satu tegukan, dua tegukan, tiga tegukan, kopi ini terasa sama seperti dulu, tetap manis dan ada sedikit pahitnya.

“Gimana? Enak?”

“Tidak berubah, masih sama seperti dulu,” jawabku singkat kemudian meletakkan secangkir kopi yang masih setengah itu di meja. Dia menatapku sambil tersenyum.

“Itu yang ingin aku katakan. Dulu, aku lupa memberitahumu tentang ini. Kopi akan selalu habis, tapi jika kamu menyeduhnya lagi, pahitnya akan tetap sama, tidak akan pergi. Sama seperti saat kita ngopi bersama, isi cangkir kopi bisa habis kapan saja, tapi canda tawa kita tidak akan pergi, tapi tersimpan dalam kenangan dari secangkir kopi,”

“Begitu ya? Jika kenangan itu tidak pergi, lalu dimana Letta saat ini?”
Dia menunjuk dua orang yang duduk di depan bar tender yang sedang melihat kearah kami sambil tersenyum.

“Letta sudah menikah. Lalu, bagaimana kalau kita juga?” Ucapnya dengan tenang sambil menggenggam tangan kananku. Aku tertegun, perkataan Bagas terlalu ambigu. Terlalu lama mencerna kata-katanya, aku sampai tidak sadar Bagas sudah menyematkan cincin di jari manisku.

Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca kemudian memeluknya dengan sangat erat.

Akhirnya, aku menemukanmu, kisah lama itu ternyata tidak pernah pergi. Dan hari kamu telah membuktikan bahwa kopi memang lambang cinta paling ikhlas dalam hidup.
19 Nov 2018 20:17
222
Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: