ARCHIPELAGO**
(DUA)
Keringatku membuat bajuku kuyub. Kotor penuh debu dan sawang serta udara pengap diatas asbes. Siang ini pasar mingguan ditengah alun-alun desa telah ramai dengan penjual dan pembeli. Tepat disamping pasar itu berdiri bangunan lumayan tua namun besar dijadikan dua rumah. Disebelah kiri adalah warnet satu-satunya didesa itu, sedangkan dikanan adalah rumah biasa yang ada penghuninya.
Aku sudah cukup lama berada diatas asbes rumah sebelah kanan itu. Hari ini adalah hari sabtu. Semalaman aku tidur diatas atap rumah orang. Diatas asbes penuh dengan kumpulan karung berisikan botol-botol bekas. Jam sudah menunjukan jam tujuh pagi. Berbeda dengan rumah disebelah kanan yang memiliki asbes diatas atapnya. Warnet disebelah kiri ini tidak memiliki asbes. waktu yang kurasa tepat untuk turun melalui perbatasan kedua rumah dan turun melalui jerjak besi jendela warnet.
‘’kraaak..’’ sebuah kursi plastik patah ketika aku menginjakan kaki untuk mendarat dari atas jendela. ‘’owaleh mampus aku!’’. Tujuan ku kemari adalah uang dilaci warnet.
Perlahan kusingkirkan kursi dan menuju ke meja operator warnet dan membuka lacinya. Tidak jelas berapa uang yang kuambil, seribu, dua puluh ribu, dua ribu dan logam aku genggam dan langsung masukan kekantong celana sebelah kananku. Aku mencoba tenang karena memang warnet tidak ada orang sejak tutup jam 2 malam sampai buka kembali sekitar jam 9 biasanya. Perlahan kututup laci karena takut ketahuan orang diluar yang sangat dekat dengan pasar. ‘’ayo bro.. do it!! Aku ini agen FBI yang bisa masuk tanpa ketahuan’’ setidaknya itu yang ada dipikiranku sambil menyugesti diriku sendiri agar tenang dan tidak melakukan kesalahan.
Selesai misiku hari ini aku rasa sudah waktunya kabur tanpa meninggalkan jejak. Perlahan aku menuju kejendela. ‘’oaleh pekok!!’’ kaki ku dari tadi cukup kotor dan meninggalkan jejak hitam di lantai keramik warnet yang putih. Setengah delapan aku lihat jam dinding, cukup bagiku untuk membersihkan jejak ini.
Aku menuju kebagian belakang warnet. Sial aku mencari sapu tidak ketemu, yang ada hanya kain pel di kamar mandi. Apa boleh buat aku mengambilnya. Lokasi kamar mandi dekat dengan pintu belakang.
Sebenarnya mudah bagiku untuk keluar dan masuk melalui pintu ini, karena pintunya yang hanya dikunci menggunakan kayu yang dipaku memutar. Tak perlu ku susah payah harus menyelinap keatas atap rumah orang dan berpeluh keringat. Tapi menurutku aksi ini tak boleh meninggalkan jejak dan harus bermain cantik.
Sampaiku didepan membersikan jejak kotorku tadi, kesialan lagi terjadi. Bang sapri pemilik warnet tiba diluar warnet memarkirkan motornya dan menuju kepintu depan warnet. Dari jendela kaca hitam warnet yanng besar , hanya bisa dilihat dari dalam. Aku gelabakan, keringat dingin dan gemetaran menandakan diriku didalam bahaya. Tanpa babibu aku langsung lari menuju pintu belakang warnet!.
Hari itu adalah hari sialku. Terlalu banyak jejak ku tinggalkan. Bahkan aku meninggalkan beberapa uang dua ribu diatas meja. Ketika itu aku langsung kabur dan yang kuyakini bang sapri pasti tahu warnetnya dicuri!.
Seratus tiga ribu rupiah, kuhitung uang misiku hari ini. Aku anak yang nakal, aku anak yang jahat, dan aku adalah anak yang penuh akan nasib buruk!. Setidaknya itulah yang aku dengar tentang deskripsi diriku melalui mulut ibu-ibu kampung disini. Aku membenci mereka, juga anak-anaknya. Anak-anak mereka mengganggu tidurku setiap malam. Aku tidur di lemparin batu dan mercon. Tujuannya hanya untuk mengganggu.
Kampung ini seperti neraka bagiku. Semua keburukan kualami disini dan ini adalah titik terendah dalam hidupku. Aku adalah seorang anak yang tidak bersekolah dan tidak berkeluarga. Tidak memiliki tempat tinggal apalagi makan. Aku tidak punya saudara dan aku tidak memiliki orang tua. Aku merasa sebagai orang paling sial dimuka bumi. Tidak ada yang menyayangiku. Bahkan orang tuaku yang meninggalkanku sejak bayi dan juga Tuhanku!. Aku merasa Tuhan saja membenci diriku. Benar-benar tidak ada yang menyayangi dan menginginkan aku. Aku hampir bunuh diri. Seperti yang kubilang, ini adalah titik terendah dalam hidupku. Aku manyalahkan Tuhanku.
Kenapa temanku makan enak, sedang aku tidak? Kenapa teman-temanku punya rumah dan aku tidak? Kenapa mereka punya orang tua sedang aku tidak Tuhan? KENAPA!!?. Itu adalah pertanyaan yang ada dipikiranku saat ini. Aku merasa Tuhan menciptakan aku hanya untuk menderita. Air mata selalu aku keluarkan saat tidur malam, sebagai bentuk protesku kepada Tuhan juga sebagai pengantar tidurku tiap malam.
Setiap malam aku tidur di belakang mesjid beralaskan ambal sajadah yang aku ambil dari mesjid. Selain disitu aku tidur disamping toko terbesar di desa itu. Tepatnya di gudang batok kelapa dan kardus bekas jualan toko tersebut. Kalau tidur digudang ini aku merasa nyaman, walau pun dindingnya adalah seng keliling. Seperti yang kubilang tadi, anak-anak disini mengganggu tidurku setiap malam. Mereka melempar batu dinding seng gudang , juga mercon kalau aku sedang tidur dibelakang mesjid. Tujuannya hanya satu, yah menggangguku.
Toko ini dulu adalah toko nenekku. Dan aku sejak ditinggal ibuku pada usia enam bulan tumbuh besar di toko ini. Sekarang toko ini sudah dijual kepada orang, biar begitu tidur digudang batok ini sudah cukup mengingatkanku akan rumahku yang dulu.
Ibu-ibu di kampung ini melarang anaknya bermain denganku. Alasannya adalah aku nakal dan suka mencuri. Mereka hanya tahu aku mencuri, tapi tidak dengan alasannya. Mereka tidak tahu alasan mengapa aku mencuri. Karena memang dengan cara itu aku dapat bertahan hidup.
Aku kabur dari rumah ayahku pada saat seminggu sebelum UN SMP. Itu artinya aku belum tamat sekolah. Tidak ada yang mau menerima kerja anak seusiaku. Pengalamanpun aku tak punya. Hanya dari mencuri aku bisa hidup dan makan. Selain uang aku juga mencuri makanan dan buah. Makanan di dapur orang. buah-buahan didepan rumah orang kalau musim. Aksi mencuri ku kulakukan kebanyakan malam hari. Karena hanya malam aku dapat menyelinap menggunakan tubuh rampingku.
Kampung ini adalah tempat aku kabur dari rumah ayahku. Sekitar satu jam dari kota tempat ayahku tinggal. Alasan kenapa aku kabur kesini adalah kampung nenekku dan aku tumbuh disini. Dulu orang-orang disini sangat ramah keapadaku, khususnya saat nenekku masih hidup.
Mencuri adalah satu-satunya cara buatku bertahan hidup. Entah itu uang, makanan, maupun buah. Yang tepenting adalah aku bisa makan. Aku tidak memikirkan yang lain. Dan untuk bertahan hidup aku perlu untuk tidak ketahuan dalam mencuri. Tapi tidak mungkin aku selalu bisa lolos.
Sampai akhirnya pada suatu malam aku rasa adalah hari paling apes. Aku dikejar puluhan orang karena masuk kerumah tentara. Aku berniat mencuri makanan. Pada malam itu sudah 2 hari aku tidak makan, dan tidak ada tempat lain buatku mencari uang dan makanan. Aku sakit ketika itu.
Adalah rumah pak widodo dan buk lilin , sepasang suami-istri seorang tentara dan bidan yang sebenarnya sangat dekat denganku. Karena dulu anaknya sering aku jaga ketika buk lilin pergi kerja. Rumahnya cukup besar dintara rumah-rumah lainnya dikampung itu dan mereka termasuk salah satu yang paling kaya dikampung itu. Aku sudah paham bentuk dan keadaan rumah buk lilin. Dan aku tahu mereka selalu masak banyak. Ketika hari itu aku sudah dua hari tidak makan, aku hanya teringat pada rumah mereka.
Selepas shalat isya, buk liliin selalu berjalan-jalan setiap malam. Aku sudah hafal dan aku rasa ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk masuk kerumahnya. Rumah buk lilin sangat panjang. Aku masuk melalui belakang rumahnya dan harus mengelilingi kebun coklat yang ada disamping rumahnya. Bukan dari pintu atau pun jendela. Rumah buk lilin tinggi 4 meter dengan kawat berduri diatasnya sebelum atap. Itu tak masalah bagiku. Aku sudah terbiasa mencuri dan memanjat. Aku memanjat pohon coklat untuk menggapai tembok dan mengaitkan kawat berduti itu keatas paku. Cukup menghasilkan celah untuk badanku masuk. Yah badanku memang cukup ramping dan mudah masuk karena memang jarang makan. Itu adalah suatu kekurang yang kujadikan kelebihan.
Aku sudah masuk dari belakang melawati sela anatara atap dan tembok. Aku menuju kemeja makan dan hanya menemukan nasi. Pada saat itu aku kecewa dan rencanaku terpaksa berubah. Aku tidak mencuri makanan tetapi uang. Yah targetku adalah kamar buk lilin. Aku sudah tahu kamar buk lilin pasti di kunci. Dan aku menuju ruang tamu tempat biasa buk liln menaruh semua kuncinya.
Sebelum masuk kerumah buk lilin tadi tentu aku sudah menggambar keadaan sekitar rumah buk lilin. Aku rasa aman karena tidak ada orang didepan rumahnya dan buk lilin biasa kembali pada pukul sepuluh malam. Tapi kesialan itu tiba. Bayangan ku terlihat dari jendela samping. Aku lupa disamping rumah buk lilin masih ada tetangga buk lilin yang juga kakak dari buk lilin. ‘’eh kok ada orang didalam?!!’’ mereka seperti kaget dari luar karena yakin semua keluarga buk lilin pergi dan tak ada yang dirumah. ‘’loh anak itu kok bisa masuk?!! Masuk dari mana dia?!!’’ kembali mereka mendekat ke rumah buk lilin. ‘’bangkeee.. mati aku!!’’ batinku. PANIK, PANIK PANIK!! Aku sangat panik saat itu, aku sangat merasa ketakutan. Kabur dari belakang langsung menerobos sela antara atap dan tembok sehingga melupakan kawat berduri tadi dan benar saja paha ku berdarah!.
Rumah buk lilin sudah dikepung oleh orang-orang tadi. Aku lihat dari jendela ada sekitar delapan orang. Aku turun masih disekitar kebun coklat tadi dan berniat kabur menjauh. Aku berhasil kabur ke kampung sebelah berjalan kaki mengendap-endap dari rumah kerumah pada kegelapan malam hari. Aku mendengar teriakan orang-orang mencariku menggunakan sepeda motor. Mereka memanggil namaku dari jauh, aku tahu mereka sudah tau aku yang masuk kerumah buk lilin.
Aku kabur malam itu sampai kekampung sebelah dan sampai kesebuah kilang batu bata. Aku rasa tempat ini sudah aman dan aku bisa tidur malam ini disini. Ditempat kilang batu ini kemudian aku akan bekerja dan melanjutkan hidupku esok hari. (Bersambung...)