Kopi susu di cangkirku sudah dingin. Pun kopi hitam milikmu. Kita sama-sama diam. Menikmati heningnya malam di kota istimewa ini. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tak pernah tahu apa yang ada dipikiranmu. Yang jelas, yang ada dipikiranku itu kamu.
I’ll be looking at my window
Seeing Adelaide sky
Would you be kind enough to remember
I’ll be hearing my own footsteps
Under Adelaide sky
Would you be kind enough to remember me?
Lagu Adelaide Sky milik Adhitia Sofyan dari dalam kafe terdengar sayup-sayup. Kita masih sama-sama diam. Menikmati angin sejuk setelah hujan yang tidak berhenti seharian tadi. Udara dingin tak membuatmu menyulut dan mengisap rokokmu.
Ah, kamu memang selalu begitu. Berhasil mengalahkan egomu semata mengerti aku. Satu dua helai rambutmu berkibar tertiup angin. Matamu masih menerawang jauh. Sepertinya, memang bukan aku yang ada dipikiranmu. Sepertinya.
~
Aku tersenyum kecut. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tak pernah menyangka bahwa kamu yang pertama kali berhasil mengalahkan kuatnya hatiku. Kalau kamu tahu, berapa banyak laki-laki yang sebelum ini berusaha mengenalku. Ah, mungkin memang ini jalannya.
Banyak orang bertanya kepadaku, “Siapa orang itu? Siapa laki-laki yang sebegitu beruntungnya? Siapa laki-laki yang sebegitu mujurnya dicintai oleh perempuan sepertimu?” Aku hanya tersenyum kecil. Entah, aku bingung. Mungkin, satu kali aku berpikir, kamu memang beruntung. Berhasil mendapatkan sebegitu banyak perhatianku, disaat sudah banyak yang gagal mendapatkannya. Barangkali, di kali yang lain, aku berpikir bahwa aku lah yang beruntung. Mendapat sebegitu banyak perhatianmu, ketika banyak, mereka sebelumku yang segan. Tapi, kuakui, tak jarang aku berpikir sebaliknya. Jangan-jangan, kita berdua sama-sama tidak beruntung. Pun bisa jadi, ini hanya pertanyaan dan kebingungan tanpa akhir, tanpa ada jawaban. Ah, tapi mungkin ini memang jalannya.
“Kenapa aku?”
“Apa?”
“Ya. Tentang semua ini. Tentang kita. Kenapa aku?”
Kamu terdiam. Aku tahu, kamu sebenarnya paham maksudku. Pertanyaanku sangat sederhana, kan? Aku hanya ingin tahu alasanmu. Aku tahu, pertanyaanku ini tak akan pernah kau jawab. Pertanyaan ini akan terus menerus kau hindari. Tak peduli berapa lama ia tergantung. Tak peduli seberapa lama aku penasaran. Tak peduli seberapa pun ia mengganggu pikiranku.
“Sebenarnya, seberapa penting aku untukmu, sih?” Tanyaku lagi. Aku tersenyum, menatapmu yang menatapku sekilas kemudian membuang muka. Aku tahu, pertanyaan ini pun tak akan ada jawabnya.
“Kenapa tanya gitu, sih?” Kamu akhirnya bersuara, sambil menatapku dalam. Raut mukamu tak pernah berhasil kuartikan. Yang jelas, kamu kesal. Kamu tak pernah suka kutanyai hal-hal semacam ini. Dugaan-dugaanku tadi benar. Pertanyaan-pertanyaanku memang tak akan ada jawabnya. Mereka hanya akan selalu menggangguku, terlebih di penghujung malam, di saat aku mati-matian berusaha tertidur.
“Haha. Nggak apa,” aku meneguk sisa kopiku sampai habis, “pulang, yuk! Sudah malam, habis ini pasti aku langsung tidur.” Kemudian beranjak.
Barangkali, kita ini memang sekumpulan pertanyaan-pertanyaan yang belum ada jawabnya, atau bahkan tak ada. Barangkali, kita ini memang sekumpulan pertanyaan yang sedang membangun ceritanya sendiri. Aku dimakan bingung. Kamu menghela napas berat, menghabiskan kopimu, kemudian berdiri, menggandengku.
“Ayo. Kita pulang.”