Halo. Apa kabar? Aku tahu, kamu baik-baik saja. Suratku ini surat untukmu yang, pastinya, tak akan kau baca.
Aku sedang duduk di warung kopi, di kursi paling pojok yang memang disediakan untuk mereka yang datang tanpa barengan. Barangkali kamu penasaran aku dimana dan dengan siapa- yah, tidak mungkin, sih. Kopiku sudah habis sejak satu jam yang lalu. Sisanya sakit kepala yang sangat mengganggu. Masih ditambah efek sampingnya yang membuat jantungku berdegup kencang. Pikiranku seperti tidak bekerja. Rasanya masih untung aku masih diberi bisa bernapas. Tapi tak apa. Aku menikmatinya.
Hidupku ini rasanya sendiri sekali. Entah memang begitu, entah aku yang kurang bersyukur. Aku punya banyak teman di dunia maya yang sering menghubungiku. Video call, voice call, atau kadang sekedar chat basa-basi. Tapi, mereka maya. Aku punya beberapa teman di sekitarku, yang bersamaku di jam makan siang. Tapi tentangku, mereka cuma tahu apa yang kumakan. Bukan apa-apaku, apalagi hidupku. Dan terakhir, kata orang, aku punya, kamu. Tapi itu kata orang. Entah pada kenyataannya kamu mau kumiliki atau tidak. Karena dari kacamataku, kamu melihatku sekedar beban. Sesuatu yang kau anggap mengganggu, menyeramkan, menambah berat hidupmu. Padahal aku hanya diam, menunggu, menyiapkan peluk yang akan kuberikan saat kedatanganmu bersama setiap pelikmu. Meskipun sudah entah berapa lama kamu pergi. Meskipun sudah seberapa lupa pun kamu pada eksistensiku. Mudah-mudahan, ketika waktu itu datang, aku masih ada.
Tapi tak apa, aku sudah berpesan pada beberapa kenalanku, “Tolong, ya. Hutang puasaku masih dua, ditambah hutang sholat maghrib satu.” Padamu, aku tak berpesan apa-apa. Karena pada saatnya, kamu mengingatku saja aku sudah senang sekali.