Kopi Tubruk
Cerpen
Kutipan Cerpen Kopi Tubruk
Karya melissaajz
Baca selengkapnya di Penakota.id
Kopi.

Kamu benci kopi.

Apalagi kopi tubruk.

Kopi abang-abang tukang nongkrong di pojok sambil ngerokok.

Jorok.

Kamu memandangi cangkir putih berisi cairan hitam yang mengepulkan asap abu-abu itu. Kagum terhadap usahanya untuk tampil jinak tanpa dosa. Wujud monokromatis yang selalu kamu puja itu tak pelak membuatmu merasa bersalah karena menganggapnya kopi kelas kampung.

Kamu menarik napas dalam-dalam, seolah bersiap menutup hidung lalu menceburkan diri ke dalam cangkir di depanmu.

Namun, yang dapat kamu lakukan hanyalah mencemplungkan pandanganmu dan membiarkannya timbul tenggelam, memaksamu mengais sedikit bijak yang mungkin masih mengendap.

Ada berapa falsafah yang bisa kamu tarik dari secangkir kopi tubruk?Mendadak kamu sudah menggandeng seluruh pancaindramu untuk membuka Diskusi Kopi Tubruk. Mencoba menelaah sebuah materi yang sebagian jelas kamu benci, sebagian lagi entah kenapa kamu puji.

Kebencianmu terhadap aromanya, rasanya, namanya.

Ketakjubanmu terhadap pekatnya, efeknya, popularitasnya.

Sebuah hitam yang tertampung dalam putih yang kemudian menguapkan kelabu.

Di hadapanmu, cangkir itu mulai mengambil wujud mahaguru yang mengajarimu tentang energi.

Padatnya cangkir, cairnya kopi dan gas aroma yang telah mufakat untuk menyebut dirinya Kopi Tubruk.

Putih pertanda ia tak berbahaya, sekaligus hitam pertanda ia juga berbahaya.

Kamu tertawa, menyadari pikiranmu mengelabu akibat menghirup si kopi tubruk.

Kopi tubruk itu sangat hitam di depan matamu.

Namun, ia bukan hanya hitam.

Ia hitam karena ada putih dan kelabu yang menemaninya.

Kamu menggosok-gosok kedua matamu, menolak dikuasai oleh ‘cuma hitam‘-nya kopi tubruk.

Ada Putih. Ada Kelabu. Hitam tidak sendiri.

Kenapa kamu hanya memilih untuk selalu melihat Hitam?

Akhirnya kamu mengambil cangkir itu, menenggak habis Sang Mahaguru yang masih asyik mendemonstrasikan hukum kekekalan energi.

Kamu pamit, terkejut ketika hanya perlu membayar tiga ribu perak untuk secangkir semesta, lalu bergegas pergi meninggalkan warung pinggiran itu.

Kamu menarik keluar kertas yang terlipat rapi di saku kemejamu, mencoba membaca ulang kata-kata yang tadinya kau tulis dalam Hitam.

“Aku harus pergi. Maafkan aku."

Kali ini kamu mencoba membacanya dalam Putih, memahaminya bersama Kelabu.

Mendadak kamu mendengar gemuruh sinyal untuk rencana Hitam-mu.

Deru mesin pengangkut manusia dalam rupa ular naga besi mulai menggetarkan atap plastik biru warung pinggiran itu.

Kamu menunggu.

Diam menanti dalam Putih dan Kelabu.

Beberapa detik lagi gerbong-gerbong itu akan melintas tepat di depanmu.

Kamu bersiap, lalu melemparkannya tepat ketika angin malam yang diterobos ular besi itu mulai menghantam tubuhmu.

Hingga ketika gemuruh laju itu semakin menghilang, kamu mulai berjalan menjauhi warung pinggiran si penjual akal sehat. Tak lagi kamu pedulikan kertas pengganti ragamu yang baru saja kamu lempar.

Bersama dengan senyum yang terulas, kamu mengemas syukur kepada-Nya, lalu berlari pulang sambil bercanda ria dengan pekatnya langit hitam yang berhiaskan bintang putih dan bulan kelabu.
21 Jul 2018 22:28
87
Cinere, Kota Depok, Jawa Barat
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: