oranment
play icon
Daun Berguguran
Cerpen
karya @mimagp
Kutipan Cerpen Daun Berguguran
Karya mimagp
Baca selengkapnya di Penakota.id

So?” tanya Jingga pada Kiera. Mereka sudah sampai di kos masing-masing, namun kali ini Jingga menyempatkan diri mampir ke kamar kos Kiera yang letaknya ada di sebelah kiri kamar kosnya.


So apanya?” jawab Kiera cuek, sedang tangannya masih sibuk memilih-milih drama Korea yang akan ia tonton melalui aplikasi Netflix di ponselnya.


“Jangan pura-pura. Aku tahu kamu ada apa-apa. Sejak awal pemuridan tadi, kamu terlihat murung. Tidak seperti biasanya. Kamu kenapa?” tanya Jingga sekali lagi. Mereka baru saja menyelesaikan bahan pemuridan dari Amsal 31 bersama dengan kakak rohani dan teman-teman mereka yang lain. Kiera tahu, sahabatnya ini tidak akan berhenti bertanya sampai ia memberikan jawaban yang memuaskan.


Kiera menghembuskan napas lelah. “Kamu excited nggak, waktu belajar soal Amsal 31?”


“Ya senang-senang aja. Kita kan jadi bisa mempersiapkan diri untuk pernikahan yang kudus. Memangnya ada apa? ‘Kan itu bahas soal cewek, masak sih kamu nggak excited?” ujar Jingga.


I don’t know, Ga.. I don’t think I deserve that..” ucapan Kiera yang lesu itu makin menggugah keingintahuan Jingga. Usia persahabatan yang tidak pendek membuat Jingga langsung peka dengan apa yang sedang dirasakan oleh Kiera.


“Ra.. Kamu kepikiran masa lalu, ya?” tanya Jingga hati-hati.


Kiera melirik sekilas ke Jingga, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke drama Korea yang sudah terputar di ponselnya. Namun sekalipun matanya begitu lekat memandang ke ponselnya, pikirannya berputar ke masa lalu. Masa-masa kelam yang ingin sekali ia buang jauh-jauh ke laut.


Kiera tersenyum lemah ke arah Jingga. “Ga.. Aku merasa tidak layak untuk belajar mengenai pernikahan kudus, ketika aku saja sudah tidak kudus.”

~


Hari ini Kiera memulai shift-nya di Kafe Candle pada pukul delapan pagi. Di hari Sabtu ini biasanya kafe akan lebih ramai dibanding hari-hari lain. Kafe Candle ini sebenarnya adalah milik kakak sepupu Kiera, namanya Kak Tiara. Kiera diangkat menjadi lead barista di kafe ini. Meskipun dia punya posisi yang cukup tinggi di kafe itu, namun Kiera tidak mau kalau hanya duduk diam saja sambil mengatur jalannya kafe. Ia sangat cinta pada kopi, jadi ia sendiri memilih terjun untuk menjadi barista di kafe itu.


Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika gemerincing lonceng pintu berbunyi dengan cukup keras. Seorang perempuan masuk dan kemudian memesan segelas cappuccino di depan kasir. Eno, rekan kerja Kiera, menghampiri lead barista-nya itu. “Ra.. Kayaknya perempuan itu habis menangis deh. Aku nggak tega.”


“Biar aku saja yang antar pesanannya” ujar Kiera cepat.


Dengan cekatan, Kiera menyiapkan pesanan wanita tersebut, menaruhnya ke nampan sekaligus meletakkan kotak tisu di nampan itu. Iapun kemudian berjalan ke meja si wanita tersebut.


“Maaf bila ikut campur.. Kamu juga anak FISIP Undip ‘kan? Aku pernah melihatmu di kampus waktu itu, sedang melakukan kampanye dari jurusan”, ujar Kiera setelah meletakkan segelas cappuccino dan sepiring cookies di hadapan wanita itu. “Ini, minumlah. Kubawakan tisu untukmu”. Tak disangka, wanita itu tidak mencoba mengusir Kiera. Dengan perlahan, ia mengambil gelas cappuccino itu dan menyesapnya dengan begitu khidmat. Setelah beberapa saat, wanita itu tampak tenang.


“Namaku Stella. Kamu Kiera kan? Aku sempat melihatmu saat ikut PMK bulan lalu, waktu ada sharing alumni.”


“Betul”, jawab Kiera sambil tersenyum manis.


“Ternyata benar ya.. kafe ini begitu hangat dan menenangkan,” ujar Stella lagi.


Kiera menanggapinya dengan mengangguk. “Memang itulah misi kami melalui kafe ini. Kami tidak ingin membangun sebuah kafe yang besar namun dingin. Sebisa mungkin, kami juga ingin engage dengan para pelanggan. Karena kami percaya, kopi bisa membuat manusia menjadi lebih dekat dan akrab.”


Stella ikut tersenyum mendengar jawaban Kiera. Iapun kemudian menengok ke sekeliling kafe itu. Memang Kafe Candle ini tidak besar, namun suasana yang dihadirkan begitu membuat pelanggan sangat nyaman. Ada perpaduan antara rasa hangat namun juga teduh.


“Maaf bila lancang—“ kali ini Kiera bersuara lagi, “apakah ada hal yang sedang mengganggumu, Stella? Yah.. walaupun kita baru benar-benar bertemu dan mengobrol hari ini, namun aku siap mendengar apabila kamu memang sedang butuh didengar,” lanjut Kiera.


Stella nampak ragu-ragu. Berulang kali ia mengusap meremas tangannya sendiri. Matanya juga nampak kembali berkaca-kaca dan siap untuk menumpahkan air mata lagi.


“Kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa—“


“Aku baru saja putus dengan pacarku,” ucap Stella tiba-tiba. Kiera hanya diam, namun ia memasang telinganya baik-baik, menunggu Stella menyelesaikan ceritanya. “Kami sudah berpacaran hampir tiga tahun. Dan.. dan.. Kami sudah melakukan semuanya,” Stella menjeda kalimatnya. Ia menghirup napas dengan cepat dan membuangnya dengan kasar. “Aku sudah memberikan semuanya untuknya. Waktuku, uangku, hidupku—tubuhku.. Semuanya, Kiera… Apa yang harus kulakukan sekarang? I have no one, I can’t even pray because I’m just….” Stella tidak melanjutkan perkataannya. Ia menumpahkan seluruh isi hatinya sambil terus sesenggukkan. Sementara Kiera terus mengelus lembut punggung Stella, mencoba menyalurkan kekuatan melalui sentuhan tangannya itu.


Hari itu, ada dua perempuan yang sedang bersedih di Kafe Candle itu. Satu, karena wanita itu baru saja ditinggal oleh orang yang paling ia percaya dan yang telah memberikan padanya banyak harapan yang semu. Sedangkan perempuan satunya bersedih karena ia harus melihat perempuan lain jatuh dalam dosa yang sama sepertinya.

~


Jingga mengetuk pintu Kiera perlahan. “Kiera, sudah siap belum? Ayo berangkat.” Hari ini mereka akan berangkat ibadah bersama. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.45 WIB, dan lima belas lagi ibadah akan dimulai.


Kiera keluar dari kamar kosnya. Setelah mengunci kamarnya, ia berkata singkat, “Yuk.”


Sepanjang ibadah, Kiera hanya diam. Jingga menangkap ada hal yang tidak beres dalam Kiera. “Are you really okay, Ra?” bisik Jingga.


Kiera membalasnya dengan berbisik juga, “Mana mungkin aku baik-baik saja! Khotbahnya soal panggilan hidup, lho!”


Jingga hanya cekikikan. Isu mengenai panggilan hidup memang memiliki arti tersendiri bagi fresh graduate seperti mereka berdua ini. Sampai tiba-tiba pendeta di depan mereka berkata dengan lantang. “Saudara, ketika Paulus berkata ‘melupakan yang lalu dan berlari pada tujuan’, itu semua harus satu paket! Tidak mungkin kita bisa berlari sambil menengok ke belakang, pasti jatuh. Maka sekarang pertanyaannya, hal-hal apa saja yang membuat kita sulit untuk bisa berlari ke pada tujuan Ilahi itu? Kita harus benar-benar mengambil komitmen untuk meninggalkannya.”


Mendengar hal itu, Jingga menyikut pelan lengan kiri Kiera. Sedangkan Kiera hanya melirik sinis ke arah Jingga yang sudah tersenyum jahil.

Seusai ibadah, mereka menyempatkan diri mampir ke Taman Indonesia Kaya, sebuah taman yang terletak di tengah kota Semarang. Mereka berdua sama-sama diam, menimkamti pemandangan pohon-pohon di hadapan mereka.


Sampai Kiera memecah keheningan itu. “Ga.. Kenapa ya, ini semua harus terjadi sama aku? Aku merasa yakin aku sudah minta ampun kepada Tuhan, tapi kenapa hal itu masih menghantuiku? Apa Tuhan memang belum mengampuniku, ya?”


“Kenapa kamu berpikir gitu, Ra? Dari mana kamu tahu kalau Tuhan belum mengampunimu?” jawab Jingga.


“Entahlah.. Aku masih merasa tidak layak. Aku merasa aku tidak pantas untuk meraih hari esok. Dan aku bahkan merasa kasihan dengan siapapun pria yang nanti akan jadi suamiku. Ah.. apa aku tidak usah menikah saja ya, Ga? I don’t think there’s any guy wants to accept me.


“Ra.. Kamu jangan gitu”, ucap Jingga. Ia meneguk sedikit air putih dari botol minumnya. Ia melanjutkan. “Semua yang terjadi dalam hidup kamu itu tidak terluput dari kedaulatan Allah. Semua luka, semua air mata, semua pengalaman menyakitkan dan bahkan semua penantianmu itu, semuanya bisa dipakai Tuhan untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Masalahnya kan cuma satu, Ra.. Apakah kamu benar-benar mau meninggalkan itu semua di masa lalu dan melangkah dalam pertobatan? Seperti yang dikatakan ibu pendeta tadi pagi, kamu nggak bisa Ra, menginginkan masa depan yang baik dan penuh harapan kalau salah satu kakimu masih ada di masa lalu dan hatimu masih penuh keraguan.”

Kiera hanya terdiam. Matanya masih setia memandangi daun-daun yang berguguran dari pohon-pohon di hadapannya. Begitu cantik, sekaligus begitu menyakitkan, karena mau tidak mau, pepohonan itu harus melepaskan bagian tubuhnya untuk bertahan di musim selanjutnya.


“Ga.. I really want to be okay, is that so much to ask for? Aku masih terus menyalahkan diriku atas dosa-dosaku di masa lalu. Aku ingin meninggalkan itu semua, tapi rasa-rasanya, itu terlalu mustahil. Maksudku—kalau memang itu semua ada dalam rencana Tuhan, lantas apa maksudnya? Apa tujuannya?”


“Ra, ingat ceritamu soal Stella, ‘kan? Menurutmu, mengapa kamu bisa jadi sangat bersimpati dengannya?” ucap Jingga. “Kiera.. Hatimu begitu mengasihi perempuan-perempuan yang terluka itu, bukan? Nggak cuma sekali aku dengar cerita mengenai bagaimana kamu dengan kelembutan hatimu, telah menjadi penolong bagi teman-teman perempuan yang pernah jatuh di hal yang sama denganmu. Ra.. Terkadang, hati yang mengasihi itu bisa tumbuh dari luka yang paling dalam. Kamu berharga di mata Tuhan, Ra, kamu harus merengkuh masa depan itu bersama Tuhan. No sin is greater than His love.”


Tak sadar, setetes air mata jatuh dari mata Kiera. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa memang mungkin inilah saatnya untuk menggugurkan bagian-bagian dari dirinya yang menghalanginya untuk melangkah maju, sama seperti pohon-pohon di hadapannya. Setiap dosa, setiap luka, dan setiap kepahitan yang membuatnya terus terperangkap di masa lalu.


“Ga.. Memangnya, aku ini bisa ya dipakai Tuhan untuk menolong orang lain?”


Jingga tersenyum sambil mengusap lembut lengan kanan sahabatnya itu. “Ra, orang Raja Daud saja bisa berdosa, tapi ia betul-betul bertobat dan akhirnya justru menjadi salah satu orang yang berkenan di hadapan Tuhan. Menjadi raja yang sangat berpengaruh di sepanjang sejarah. Masak Tuhan nggak bisa pakai kamu?”


Hari itu, daun-daun berguguran, bersamaan dengan bagian dari Kiera yang terluka. Ia membiarkan Tuhan membersihkan hatinya, namun juga sekaligus membiarkan-Nya membalut luka-lukanya. Pada akhirnya, ia percaya, daun-daun itu akan kembali tumbuh dan semuanya akan baik-baik saja. Begitu juga dengannya.

 

Cerpen oleh Yemima Galih Pradipta, ditulis untuk keperluan lomba HUT Perkantas ke-50 tahun 2021 dengan tema "To God be the Glory". Diunggah ke Penakota tanpa disunting. Terinspirasi dari lagu "Leaves" oleh Ben&Ben (feat. Young K).


calendar
29 Aug 2021 22:56
view
81
wisataliterasi
Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig