oranment
play icon
Seberkas Cahaya di Gua Adulam
Cerpen
karya @mimagp
Kutipan Cerpen Seberkas Cahaya di Gua Adulam
Karya mimagp
Baca selengkapnya di Penakota.id

Aku terengah-engah. Napasku tak beraturan. Sudah hampir tiga jam aku terus berjalan. Aku mengabaikan bulir-bulir keringat yang berjatuhan di pelipisku. Mata dan pikiranku terlalu fokus memastikan bahwa tidak ada siapapun yang mengejarku.


Ah.. Sudah berapa kali aku seperti ini? Lari terbirit-birit seperti kriminal. Lari bukan oleh keinginanku, tapi karena tekanan dan desakan. Aku tidak takut mati, aku tahu Allah bersamaku, tapi tetap saja, aku tidak mau mati. Aku menengok kembali ke belakang. Seharusnya sudah aman. Kalau tiba-tiba saja Raja Saul datang dengan anak buahnya, aku akan—


Akh!” Tiba-tiba kakiku terantuk bebatuan dan tubuhku terbanting ke depan. Aku tidak sadar kalau tanah di depanku itu sedikit menurun, alhasil tubuhku sempat terguling-guling ke depan. Aku terbaring, menengadah ke arah langit biru dengan berkas-berkas oranye yang cantik. Sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya. Napasku masih memburu. Gelombang nyeri yang tak bisa kubendung kemudian melanda tubuhku. Sepertinya karena aku terlalu fokus berlari, aku jadi mengabaikan tubuhku yang sudah menjerit kesakitan.


Setetes air mata jatuh dari mataku. Nyeri di tubuhku ini tidak sebanding dengan nyeri di dadaku—jauh di dalam dadaku. Di saat-saat seperti ini, biasanya aku akan pergi menemui Samuel, bertanya dan berkonsultasi padanya apa yang harus kulakukan. Di lain waktu, aku mencari penghiburan dan kekuatan dari Yonatan, sahabatku yang baik itu. Kadang-kadang ketika hari menjadi lebih sulit dari biasanya, aku akan pulang ke rumah Ayah yang hangat dan nyaman itu, lalu menyantap hidangan Ibu yang rasanya sangat enak dan tiada duanya. Dan Bait Allah menjadi tempat favoritku; aku bisa puas memuji Allah, menyanyikan kidung-kidung bersama para penyanyi, dan bau dupa yang harum membuatku sangat tenang. Kala semua hal menekanku, aku tahu aku masih mempunyai orang-orang dan tempat-tempat yang membuatku berpikir; “Ini tidak seburuk yang kukira..”


Aku mengusap kasar mataku. Kutengokkan kepalaku ke kiri. Tempat ini.. Gua Adulam bukan, ya? Kutegakkan badanku, berjalan pelan memasuki gua itu. Aku harus segera membuat api. Aku akan bermalam di sini, karena sepertinya gua ini aman untuk menjadi tempat persembunyianku. Sambil mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat api, mataku memandang ke sekeliling wilayah ini. Kalau tidak salah.. Ini dekat dengan bukit di mana kami mengalahkan Goliat.


Aku meneguk air minum serta memakan sedikit persediaan roti yang kubawa. Api sudah menyala, aku terduduk di depannya, memandangi bayanganku yang bergoyang-goyang di belakang api itu. Di depan api ini, aku teringat kembali pada Daud kecil yang telah mengalahkan Goliat, si raksasa itu. Di manakah Daud itu sekarang? Daud yang hanya tahu cara bertarung dengan ketapel namun dipenuhi keberanian yang membara. Lihatlah dia saat ini. Berpakaian lengkap layaknya prajurit, tapi setengah mati mencoba menyelamatkan dirinya sendiri oleh karena diburu oleh atasannya sendiri. Sungguh waktu telah berlalu dengan cepat.


“Sampai berapa lama lagi, ya Tuhan?” kataku, memulai doa dan keluhanku pada Tuhan. Tidak ada jawaban. Tentu saja. Tapi aku tahu Ia di sana.


“Bila aku memilih jalan yang berbeda dari apa yang kujalani sekarang, apakah semua akan berbeda?” kataku, masih bermonolog terhadap sepi. Banyak hal berkumpul di kepalaku. Tentang masa lalu, masa kini dan masa depan. “Akankah semua berbeda bila aku tidak menjadi raja?”


Kugigit lagi rotiku lalu mengunyah dengan khidmat. “Dan mungkin saja.. Raja Saul tidak perlu memburuku, karena tidak ada yang akan merebut tahtanya. Untuk apa aku berjalan sejauh ini kalau ternyata nyawaku akan terancam begini?”


Tapi aku tahu, pemikiran itu sia-sia. Aku tahu benar bahwa Ia adalah Allah yang tidak pernah membatalkan apa yang sudah Ia nyatakan bagi umat-Nya. “Tapi, yah.. Mungkin tidak ada yang berubah. Pada akhirnya, Kau akan tetap menemukanku, bukan?” lanjutku, tersenyum tipis sambil mendengar gemeretak kayu yang terbakar api.


Kukeluarkan lembaran papirus dan alat tulis dari tasku. Melakukan kembali ritual yang biasa kulakukan di malam hari, yaitu menulis apa yang menjadi perasaanku. Melagukan apa yang menjadi seruanku.

Baru saja aku ingin menulis, tiba-tiba tanganku terhenti.


Badanku bergetar, napasku tercekat. Kata-kata yang sudah ada di ujung mulutku tertahan. Pandanganku sedikit mengabur oleh air mata yang berlomba-lomba ke luar dari mataku. Oh.. Sebuah pemikiran terlintas. Bagaimana kalau besok aku benar-benar terbangun dalam keadaan mati?


“Ya Allahku.. tolonglah hamba-Mu ini..”

~


Aku mengedip-ngedipkan mataku, terbangun oleh seberkas cahaya yang mengintip masuk melalui celah lubang Gua Adulam. Tiba-tiba sebuah suara menginterupsiku. Seperti sebuah default, aku langsung memegang pedangku dan mengambil posisi siaga. Siapa itu?


“Daud? Adikku, apakah kau di situ?”


Suara itu.. “Kakak?”


Seseorang merangsek masuk dan langsung memelukku dengan erat. Mengapa kakakku bisa ada di sini? Belum sempat aku bertanya, mataku melihat ayah dan ibuku serta sanak saudaraku lain yang menanti di luar, memandangku dengan pandangan yang sarat akan kerinduan sekaligus kebahagiaan.


“Syukurlah..” gumamku pelan. Syukurlah kalian masih hidup dan tidak dibunuh oleh raja, ucapku dalam hati sambil memeluk kakakku dengan lebih erat.


Lalu kakak menuntunku ke luar dan berseru nyaring, “Daud masih hidup!” Ucapannya diikuti dengan sorakan dari orang-orang yang menantiku di luar. Ada banyak sekali orang yang menyertai keluargaku.


“Siapa mereka, Kak? Apa yang kalian lakukan di sini?”


Seseorang maju mendekat kepadaku. “Hormat untuk Tuanku Daud,” ucapnya sambil membungkukkan badan. Iapun melanjutkan. “Ijinkan hamba bersama-sama dengan hamba yang lain untuk bisa mengikut Tuanku Daud.”


Akupun duduk dan mendengarkan keluhan mereka satu-persatu. Jumlah mereka sekitar empat ratus orang. Ternyata mereka adalah orang-orang yang sedang berkesusahan. Orang-orang yang berhutang, sebagian lain adalah orang-orang yang kecewa dengan kepemimpinan Raja Saul. Hatiku tergerak oleh belas kasih. Mereka begitu tertekan dan kehilangan harapan.


Bukankah aku seperti melihat diriku sendiri?


“Tuanku.. Kami tahu kami bukan siapa-siapa. Namun ijinkan kami hadir untuk menyertai langkah Tuanku Daud,” ucap seseorang dari mereka.


Angin menyapu lembut pipiku dan menggoyang-goyangkan rambut ikalku. Ada sebuah perasaan haru yang menggelegar di dadaku. Bukan—bukan nyeri yang kurasakan seperti tadi malam. Ini berbeda. Ini sebuah perasaan yang kurasakan ketika aku masih remaja, dan tiap pagi mendapati domba-dombaku masih hidup. Perasaan yang muncul ketika aku menghitung dombaku dan jumlahnya masih sama seperti tadi malam, meskipun ada banyak hewan buas yang berkeliaran mengincar mereka.


Sebuah perasaan bahagia karena sekali lagi—untuk kesekian kalinya—aku menemukan bahwa hidupku masih disertai dan dikasihi oleh Allah. Dan Allah yang sama itu, juga menyertai orang-orang di sekelilingku.


Aku menatap kembali orang-orang yang berkumpul di hadapanku. Pakaian dan tubuh mereka sungguh-sungguh menggambarkan penderitaan mereka masing-masing. Tapi mata itu—sinar yang mereka pancarkan melalui mata mereka—aku tahu mereka tidak ingin terus-terusan berada di posisi itu. Pandangan yang sarat akan keputusasaan, tetapi juga kerinduan untuk berubah.


Dan mereka butuh seorang pemimpin.


Tiba-tiba saja aku tertawa terbahak-bahak. Menertawakan diriku sendiri. Benar-benar! Allah ini tahu benar bagaimana memperlakukanku. Mungkin untuk inilah aku dipanggil dan harus berjalan sejauh ini! Daud bodoh!, kataku pada diriku sendiri.


Semua orang memandangku dengan keheranan, tapi tak ada satupun yang berani bertanya. Setelah tawaku mereda, aku menepuk bahu salah seorang dari mereka di sebelahku.


“Dan akupun juga bukan siapa-siapa, Kawanku,” ucapku, lalu berdiri sambil membenahi pakaianku sendiri. “Aku sungguh hanyalah seorang gembala biasa. Tapi kita memiliki Allah yang luar biasa, bukan?” Mereka mengangguk. Wajah mereka begitu sumringah karena aku yakin, mereka juga meyakini hal yang sama denganku.


Aku menengok sebentar ke arah Gua Adulam di belakangku. Sambil tersenyum lembut, aku bergumam lirih, “Terima kasih,” tidak, aku tidak sedang bicara dengan gua itu. Aku bicara pada Pribadi yang telah mengijinkanku berteduh di Gua Adulam tadi malam dan yang telah meluputkanku dari maut. “Kau selalu punya cara yang unik untuk menghibur dan menguatkanku. Kumohon, sertailah kami!”


“Ayo, kita berangkat!” ucapku nyaring, diikuti dengan sorakan penuh semangat oleh orang-orang yang menyertaiku.



calendar
02 Oct 2021 18:25
view
99
idle liked
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig