Karin berlari kencang. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, memastikan apakah makhluk yang mengerikan itu masih mengejarnya. Tindakan yang kurang cerdik, karena hal itu membuat langkahnya memelan.
Makhluk itu berkaki empat, matanya bundar menyala terang berwarna kuning keemasan. Bulunya hitam pekat. Tanduknya runcing, menjulang tinggi siap untuk menyeruduk siapapun yang ada di hadapannya. Karin menebak, makhluk itu mungkin keturunan banteng atau sejenisnya.
Tetapi yang paling membuatnya bergidik ngeri adalah bahwa makhluk ini berlari begitu kencang namun tidak kehabisan napas sama sekali. Karin bahkan tidak yakin kalau makhluk itu bernapas, karena ia tidak mendengar hembusan napasnya. Satu hal yang pasti, makhluk itu membuatnya takut.
Maka dari itu, Karin lari.
Ia berlari menuju ke sebuah hutan. Karin bahkan tidak tahu ia ada di mana, tapi ia sungguh familiar dengan tempat ini. Kakinya terus membawanya lebih dalam ke hutan itu.
Tiba-tiba matanya menangkap sebuah cahaya remang-remang. Cahaya yang berpendar dari sebuah rumah kecil.
Penampakan itu secara magis membuat kaki Karin lebih kuat, jadi ia mempercepat laju larinya. Untuk sampai ke rumah itu, ia harus melewati sebuah danau kecil yang di atasnya ada jalan setapak berkerikil dan berbatu kecil. Bulan terlihat bulat sempurna, dan berkat sinarnya, Karin bisa melihat dengan jelas jalan itu.
Tapi ia juga melihat bahwa ombak dari danau itu sedikit demi sedikit sedang memakan jalan setapak itu. Karin tahu waktunya tidak banyak.
Hap! Hap! Karin dengan lincah melewati jalan itu, menambah sedikit lompatan supaya ia tidak tersandung. Ia menoleh sebentar ke belakang. Makhluk tinggi besar itu Nampak kesulitan melewati jalan setapak yang Karin lalui. Makhluk itu kemudian diam. Tapi nyala matanya masih tajam, memandang lurus ke arah Karin.
Karin menggunakan kesempatan itu dengan baik. Setelah beberapa menit berlari, ia sampai juga di depan pintu rumah kecil itu. Tempatnya memang agak naik, mungkin menghindari supaya tidak termakan oleh ombak.
Napas Karin memburu, ia bahkan tidak sanggup mengucapkan salam. Dengan gelisah ia mengetuk-ngetuk pintu rumah kayu itu.
Tak lama kemudian seorang pria membuka pintunya. Pria itu menggunakan kaos flannel merah kotak-kotak dan juga celana tidur. Sepertinya ia bersiap tidur, tapi di tangan kanannya ia membawa cokelat panas.
“Oh, kau datang lagi. Mari masuk sini!” ucapnya ramah, membuka pintu lebih lebar supaya Karin bisa masuk. Karin masih kalut tapi ia bersegera masuk. Ia mengintip lagi melalui jendela, dan makhluk tadi sudah hilang. Rumah itu ternyata lebih besar dari kelihatannya, bahkan memiliki dua lantai. Meskipun terbuat dari kayu, rumah ini tampak kokoh dan hangat. Karin melihat ada ruang perapian sekaligus ruang duduk, dapur, ruang makan, dan dua pintu yang ia duga adalah kamar mandi dan kamar tidur.
“Seperti biasa, aku meninggalkan dapurku untuk kau pakai. Tapi kalau kau lelah, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu,” ucap pria itu lagi, sambil berjalan ke arah sofa cokelat yang terletak di depan perapian hangat.
Tunggu. “Kau tahu siapa aku?” tanya Karin. Ia sudah sedikit lebih tenang sekarang, jadi ia baru menyadari bahwa pria ini mengenalnya.
Sebelum pria itu bisa menjawab, dua orang perempuan turun dari lantai dua.
“Karin!” ucap perempuan yang rambutnya Panjang kecokelatan. “Sudah dua hari kamu tidak mampir ke sini. Aku tadi sedang membuat spaghetti brulee, tapi masih setengah jadi. Kau mau memasak bersamaku?”
Karin mengerutkan alisnya. Ia tidak kenal dengan perempuan itu, tapi ia sungguh familiar dengan suaranya.
Perempuan yang kedua menyahut. “Lebih baik kamu mandi dulu, Rin. Kamu berkeringat banyak. Kali ini, biar Sukma saja yang memasak, nanti aku putarkan lagu Taylor Swift selagi kita makan malam.” Perempuan yang ini rambutnya lebih pendek, tampak menggunakan kardigan warna merah. Ia lalu membuka sebuah laci di dekat perapian dan mulai mencari-cari vynil Taylor Swift.
Seusai mandi, Karin kemudian ikut duduk dengan tiga orang penghuni rumah ini. Ia makan dengan lahap, tak menyangka ternyata pelariannya tadi menguras banyak tenaga.
Di suapan yang terakhir, Karin terhenyak. Ia ingat sekarang.
“Adrian, besok aku pinjam dapurmu, ya. Aku mau membuat kue brownies,” ucap Karin dengan senyumnya yang merekah. Yang disebut namanya ikut tersenyum.
“Oh, rupanya kau sudah ingat. Biasanya cukup lama bagimu mengingat kami,” timpal perempuan yang rambutnya lebih pendek, yang belakangan Karin ingat Namanya Mima.
“Aku mau ikut, ya! Kamu selalu terlihat lebih segar setelah memanggang roti atau membuat masakan lain,” kali ini Sukma yang menanggapi.
Karin tersenyum dengan malu-malu. “Kamu benar, Sukma. Memasak membuatku damai.”
Sukma memegang lembut tangan Karin. “Rin, kamu boleh datang ke sini kapanpun mau. Jangan takut dengan makhluk itu. Masaklah sebanyak apapun yang kamu mau. Rumah ini akan selalu menyambutmu!”
~
Karin terhenyak. Ia baru saja bangun dari tidurnya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ternyata itu dari Mima. Sahabatnya itu mengirim sebuah lagu yang baru saja dirilis oleh Taylor Swift.
Karin ingat ia tertidur setelah menangis sendirian di kamarnya, di perbatasan antara kemarin dan esok. Sendirian, kesepian, ketakutan. Ia bertarung setengah mati melawan pemikiran jahatnya sendiri.
Sekonyong-konyong pintunya kamarnya terbuka. “Karin! Ayo kita bikin roti brownies di rumahku!”
Rupanya itu Sukma. Sahabatnya itu memang sudah biasa main ke rumah Karin, bahkan kadang-kadang juga menginap di situ. Karin tersenyum lembut sambil mengangguk dan meminta ijin untuk bersiap-siap.
Baik di pikirannya maupun di dunia yang nyata, Karin bahagia karena dia memiliki rumah yang menyambutnya.
Ya, itu saja sudah cukup.