Gila. Itu yang kupikirkan tentang tuanku ini.
“Abihu, ikut aku,” perintahnya tiba-tiba. Hari sudah malam, bulan bersinar dengan indah. Sebagian pasukan Israel terlelap, sebagian lain berjaga. Kami sedang mengintai para pasukan musuh di seberang bukit ini.
Kami terjebak. Jumlah kami kalah jauh dengan musuh, sehingga kami menunggu perintah dari Raja Saul.
“Siap, Kumendan.”
“Aku punya rencana. Kau sanggup tidak?”
“Siap, Kumendan,” ucapku sekali lagi dengan tegas. Seorang pembawa senjata sepertiku tidak boleh menolak perintah atasan.
Tuanku melanjutkan. “Kau dan aku. Kita pergi menyeberang ke dekat pasukan pengawal orang Filistin yang di sebelah sana. Aku jengah kalau diam saja.”
Aku terkejut, sedikit. Sungguh kadang-kadang aku kagum dengan cara berpikir tuanku ini. Ia mungkin tidak kekar seperti ayahnya, Raja Saul. Namun tentu keberanian ayahnya diwariskan padanya.
Belum sempat aku menjawab, ia memegang pundak kananku. “Siapa tahu, Abihu, TUHAN akan menolong kita, entah ketika kita dalam jumlah banyak atau sedikit. Kau berani tidak, Abihu?”
Malam yang temaram tidak dapat menutupi kilat keberanian dan semangatnya yang nekat. Tuanku tidak terlihat bercanda. Dan pertanyaannya itu seharusnya tidak perlu ditanyakan, tuanku memang terlalu baik untuk meminta pendapatku. “Siap, Kumendan. Lakukanlah niat hatimu itu, Kumendan. Aku sepakat. Aku siap!”
Jadi kami pergi. Tanpa sepengetahuan siapapun. Belalang dan semut pun tidak tahu. Jejak kaki pun tak kami tinggalkan. Hanya TUHAN dan bulan yang menyaksikan kami menyelinap keluar dari perkemahan prajurit Israel.
“Pedang?”
“Terasah dan tajam, Kumendan.”
“Tombakmu?”
“Siap sedia, Kumendan.”
“Perisaiku sudah kubawa. Sudah siap?”
“Siap, Kumendan!”
Aku pun menyerahkan pedang Tuan Yonatan kepadanya. Kami kemudian menuruni, menaiki, melompat-lompat di bukit-bukit Geba.
“Siapa tahu, Abihu,” ucap tuanku lagi tiba-tiba. Ia masih terus melompat dengan cepat dan melangkah ke sana-sini dengan lincah. Suaranya rendah tapi begitu bersemangat.
“Ya, Kumendan.”
“Siapa tahu, kita bisa juga mengalami kemenangan seperti sahabatku Daud, sewaktu ia melawan Goliat. Bukan apa yang tampak, Abihu, tapi yang tidak tampak itulah kekuatan kita! Mudah-mudahan Ia tidak sukar menolong kita, Abihu.”
“Sepakat dan setuju, Kumendan. Kita punya TUHAN, Allah Israel yang perkasa, Kumendan.”
“Nah, Abihu. Kita berhenti di sini dahulu.”
Kami berjongkok sebentar di atas sebuah batu yang permukaannya agak lebar tetapi batu di atasnya juga cukup besar untuk melindungi figur kami. Kami mengintip sedikit ke arah serdadu Filistin sambil mengatur napas. Beberapa di antara mereka ada yang sedang mabuk dan tertawa-tawa tidak terkendali.
“Abihu.. Aku tiba-tiba saja merasa aku bisa saja salah,” ucap Tuan Yonatan dengan agak terengah-engah. Aku diam saja, menunggu ia menyelesaikan perkataannya.
“Aku akan menguji dan memberimu tanda. Nanti, jika kita muncul di hadapan mereka dan mereka melihat kita, lalu mereka berkata, 'Berhenti! Kami akan datang kepadamu!' maka kita akan berhenti dan menunggu mereka. Kau mengerti, Abihu?”
“Siap, Kumendan.”
“Tapi kalau jika mereka berkata, 'Naiklah ke sini!' maka kita akan langsung naik, karena itu menandakan bahwa TUHAN akan menolong kita untuk mengalahkan mereka. Dan bila benar begitu, kau tidak boleh sekalipun ragu. Kau mengerti, Abihu?”
Aku sudah banyak mengikuti tuanku dan Raja Saul untuk bertempur. Takut bukanlah pilihan. Bahkan beberapa kali kami sebagai prajurit tidak sempat merasa takut, karena kami harus segera maju mengikuti kumendan kami. Pilihannya hanya mati karena berjuang atau mati karena dikalahkan.
Tetapi sekarang, seakan aku mendapatkan sedikit waktu untuk memproses semuanya. Apakah aku bisa menjadi pembawa senjata yang baik bagi tuanku Yonatan? Ia tampak gagah, tampak berani, tampak begitu yakin.
“Siap, Kumendan.” Jawaban itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Sekali lagi Tuan Yonatan memegang pundakku. “Kau hanya perlu ikut langkahku saja, Abihu.”
Jadi kami menunggu. Langit masih gelap, tapi berdasarkan suhu dan letak bulan aku memperkirakan bahwa kami berada di pergantian hari. Sebentar lagi matahari akan bangun dan memancarkan sinarnya yang malu-malu.
Setelah beberapa saat, Tuan Yonatan pun memanjat ke atas batu yang melindungi kami. Ketika orang-orang Filistin itu melihatnya, berserulah mereka, “Lihat! Orang-orang Israel keluar dari lubang-lubang persembunyian mereka!” Kudengar mereka tertawa terbahak-bahak dan beberapa diantara mereka segera menghunus pedangnya. Aku takjub juga mereka mengenali orang Israel. Mungkin bagi mereka, siapapun yang keluar dari persembunyian adalah musuh. Di waktu subuh begini, sangat sulit bagi prajurit untuk melihat keadaan sekeliling, jadi mereka akan bergerak dengan insting.
Tuan Yonatan masih diam. Tunggu. Tunggu. Tunggu.
“Hei bajingan tengik! Naiklah ke sini! Kami akan menghajar dan menghabisimu!”
Itu dia. Tuan Yonatan menghunuskan pedangnya. “Abihu, naiklah juga, ikutlah aku, karena TUHAN sudah menyerahkan dia kepada tangan orang Israel.” Suaranya jelas, tegas dan tak tergoyahkan.
Aku segera menyusul Tuan Yonatan. Luar biasa cepat tuanku ini, ia merangkak ke atas tanpa kesulitan. Pertempuran dimulai.
Tres! Tres!
Tuan Yonatan memarang mereka tanpa ampun. Setiap ayunan pedangnya tidak bertele-tele, tepat sasaran dan tidak sedikit pun kulihat ia terengah-engah. Satu, dua, tiba-tiba saja jadi sepuluh.
“Demi TUHAN yang hidup!” teriakku. Tombakku kupakai untuk memastikan musuh mati. Kami bagaikan senjata hidup yang mematikan.
Musuh juga tidak kalah paniknya dengan kecepatan dan ketangkasan Tuan Yonatan. Mereka maju dengan serampangan, mengandalkan insting mereka untuk menyerang karena hari masih cukup gelap untuk bertarung.
Sepuluh menjadi limabelas. Tuan Yonatan maju, Tuan Yonatan berputar. Sepuluh meter ke depan. Tuan Yonatan berguling, Tuan Yonatan menghindar. Lima meter ke kanan, sepuluh meter ke kiri.
Limabelas menjadi duapuluh. Tuan Yonatan berhenti. Musuh-musuh rebah, sisa dari mereka yang lengah kocar-kacir melarikan diri.
Dua orang mengalahkan duapuluh.
Di bagian lain dalam perkemahan orang Filistin, dekat dengan tempat pertempuran kami, terjadilah gempa yang dahsyat. Kudengar semua orang berteriak, bunyi pedang yang beradu satu sama lain sampai ke langit gelap yang mulai dihiasi sinar oranye tipis. Kuketahui kemudian bahwa TUHAN telah mengacaukan barisan mereka, sehingga prajurit Filistin saling membunuh rekannya. Mereka tidak bisa membedakan mana kawan dan mana lawan. Sekali lagi, langit masih relatif gelap untuk bertarung, dan penyusup bisa saja masuk dengan leluasa, jadi mereka saling menyerang.
Tuan Yonatan terduduk dan menghela napasnya dengan puas. Ia berucap pelan, sambil menancapkan pedangnya ke tanah. “Demi TUHAN yang hidup…”
Tuanku sungguh gila. Namun lebih gila lagi karena kami menyaksikan sendiri TUHAN yang menolong kami.