Sebuah Perpisahan
Cerpen
Kutipan Cerpen Sebuah Perpisahan
Karya mustikariana
Baca selengkapnya di Penakota.id

Di bawah lampu taman dini hari ini, tubuhnya sudah terlalu lemas untuk sekadar berdiri. Ia mencoba berdiri tanpa mau bergerak ; tanpa mau berjalan. Lalu, sayup-sayup terdengar suara langkah kaki menghampiri.


'Klotak.. Klotak..' bunyinya. Wajahnya terangkat seiring jemari seseorang menyentuh dagu runcingnya. Matanya menilik dalam, mencari sebuah kebenaran. Namun, kenyataannya, hanya ada keputusasaan. Tanpa ada sedikitpun harapan. Ibu jari dan dua jari lain miliknya menusuk pipinya. Orang itu, marah. Marah tanpa kata.


Jalanan hari ini cukup sepi. Entah di bagian mana. Hanya ada dua anak manusia yang saling bertatapan. Tatapan mereka berbeda arti. Tatapan keputusasaan, serta tatapan marah. Di angkat dagunya, lalu tak lama, terdengar sebuah bisikan berisi ancaman, "Jujur atau mati," katanya.


Mata lainnya terpejam. Sekadar menarik napas panjang lalu menghela pun, sepertinya Tuhan sudah tidak mengijinkan. Sudah tidak ada harapan untuk sekadar menikmati hari esok, pikirnya kotor. Padahal, tinggal jujur saja. Mudah, kan?


"Mati," jawabnya telak sambil sedikit terisak.

Yang lainnya tertawa dari kejauhan. Menikmati suasana mencekam di bawah lampu taman. Menikmati dua orang manusia yang sedang bertaruh nyawa demi sesuatu yang belum diketahui maksudnya.


Malam ini, -ah, sudah dini hari rupanya. Air muka nya sudah sangat pucat ; pucat seperti mayat. Hampir mati. Padahal sudah meminta mati sebelumnya. Untuk apa jujur kalau akhirnya harus terbujur kaku? Iya, kan? Sudah kepalang mau mati, ya mati saja sekalian. Daripada hidup cacat. Cacat anggota tubuh, cacat pikiran, dan cacat-cacat yang lainnya.


Ia menatap ke arah lawannya, meminta tolong untuk kegiatan tidak berguna ini segera dihentikan. Dihentikan yang bagaimana?


Ya, itu tadi, mati.


Kan dua-duanya sama puas. Yang satu mati dibunuh, yang satu.... Ah, tidak puas lah. Nanti yang satu jadi buron, karena kasus pembunuhan. Dan yang menertawakan dari jauh tadi, lari terbirit-birit karena tidak mau mengaku kawan.


"Berhenti sekarang, atau akan ku kuliti," sebuah ancaman lagi. Ia menyuruh berhenti. Padahal kenyataannya, sedaritadi, ia yang memulai, dan belum juga berhenti. Hey, kenapa manusia terlihat bodoh saat seperti ini? Ah, mungkin "berhenti" yang lain, dalam artian lain maksudnya. Bisa jadi, kan?


Jarinya kembali menusuk pipi, matanya mencari-cari sebuah kejujuran. Walau sedari tadi, ia hanya mendapat tatapan minta tolong. Tatapannya berbicara kalau dia sudah tak lagi berbohong. Dia cuma mau berhenti. Berhenti disudutkan, berhenti dihakimi, berhenti diperlakukan sewenang-wenang.


"Pulanglah, kawanmu sudah datang." ia berbicara pelan. Melepaskan jemarinya yang tadi menusuk pipi.


"Jangan mencariku lagi. Aku tidak tahu menahu." lalu tubuhnya merosot ke bawah, tidak kuat menopang tubuhnya untuk berdiri. Mati saja boleh, ya?



Keduanya beradu tatap. Menatap datar. Lalu yang lain berjongkok, menatap dalam dan tidak terlihat lagi pancaran marah dalam matanya.



"Sebelum kau pulang. Sebelum kau tidak kembali. Sebelum kau menjadi orang lain. Sebelum semuanya menjadi hambar. Sebelum kau berikan rasa pada yang lain. Jaga diri. Aku mencintaimu lebih dari ini. Apapun itu tentangmu, aku mencintaimu,"


Setelahnya, salah satu dari mereka meninggalkan lampu taman. Di bawah lampu taman, mereka berpisah. Berpisah yang mungkin untuk selamanya. Tapi, satunya masih tetap berharap, semoga dipertemukan kembali mereka.

30 May 2019 16:01
134
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: