Bercerita, Namamu dan Puisiku
Kutipan Cerpen Bercerita, Namamu dan Puisiku
Karya naporezamalikhaq
Baca selengkapnya di Penakota.id
Sore itu, sebongkah cahaya kekuningan masih menyirat jalanan berdebu dan pepohonan yang rindang. Sesosok pria beralis pejal dan bermata tajam bergegas pamit dari kediaman indikosnya. Berjaket denim dan bersepatu kets menggilas penampilannya. Cross Beam Racer 150 R menemaninya untuk bepergian sampai nanti larut malam.

Sampai di depan halaman rumah sederhana bercat keabu-abuan. Pagar kayu yang tinggi sebahu menyambut kedatanganku di kediaman Aera. Kediamannya begitu sangat rindang. Derus angin yang menghantam rerantingan membuat tempat ini sangat sejuk. Pantas saja ayahnya menamai putrinya Aera yang artinya angin.

Laki-laki berawak sedang dan berkumis tipis seketika keluar dari balik pintu kayu.

"Permisi om, apakah Iranya ada?" pasang muka senyum.

"Kamu cari Aera?" balasnya

Aku mengangguk dan mengamini. Suara lantang seperti sound masjid yang sedang memberi pengumuman itu memanggil putrinya.

"Iya yah, Ira keluar." suara khas gadis mungil itu terdengar riuh.

"Yah, aku pamit keluar dulu. Ira mau pergi ke toko buku sekalian nanti malam ada pameran lukisan juga di Latar Art. Mau lihat-lihat bareng teman Ira."

Tangan Ira langsung menyalami ayahnya dan pamit bersama teman laki-lakinya.

"Permisi om, pamit keluar dulu."



***

"Ra, ayahmu kok keliatan seram gitu ya." pertanyaanku mencoba membuyarkan lamunan gadis mungil yang berada di belakang jok.

"Mungkin gara-gara kumisnya itu, jadinya keliatan seram. Aslinya mah seru kok." celetuknya.

Motor berplat A 1234 HI akhirnya tiba di deretan motor-motor yang berbaris.

"Kamu suka juga pergi ke toko buku?" mencoba membuka pembicaraan.

"Sebenarnya kalau dikatakan suka pastinya suka, tapi kalau sering sih gak deh soalnya kalau pergi ke sini bawaanya pengen banget beli banyak buku terus aku simpan buku-buku itu di rak kamarku." Balasnya sambil melangkah ke pintu otomatis.

"Wah, emangnya buku yang sudah dibeli totalnya ada berapa?" tanyaku sambil menggendong tangan di balutan pakaian hoodie.

"Paling 20-an. Uangnya masih sering dipake buat kebutuhan lainnya." balas Ira sembari melihat-lihat buku yang dicarinya.

Tumpukan-tumpukan rapi terlihat sangat menggoda bagi para pecandu buku. Di bagian timur, ada Religius, Grafis dan Desain, dan Komik. Di bagian barat, ada Edukasi, Majalah, Filsafat, dan Fiksi.

Langkah Ira menuju ke arah fiksi, dan mencari-cari dengan seksama. Buku karya Aan Mansyur, "Melihat Api Bekerja" buku yang sedang Ira cari. Rak kedua dari barisan tempat fiksi pertama, akhirnya buku yang dicari dapat juga. Ira langsung menuju loker kasir dan membayarnya.

"Sekarang kita mu kemana, Nan?" tanya Ira.

"Kita ke tempat pameran, di sana sedang ada pameran dari Endang Lestari, 'Adu Domba' namanya."

"Wah seru tuh, ayo kita ke sana." pintanya.

Kendaraan dua roda pun membawa tubuh mereka ke sebuah tempat pameran. Latar Art sebuah tempat terkenal di salah satu kota solo. Kurang dari 20 menit kendaraan mereka pun akhirnya sampai.

"Kita udah sampai nih, Ra." seruku.

"Ayo langsung masuk ke dalam kalau gitu." menyeret lengan tangan kananku.



***

"Waw, bagus-bagus banget lukisannya. Itu yang digantung angklung bukan?" tanya Ra.

"Iya, Ra. Ini karya dari seniman-seniman hebat. Ada lukisan, patung, seni interior dan seni instalasi, semuanya dimuat di sini. Latar Art Space adalah sebagai sarana untuk mewadahi dan sekaligus memamerkan karya-karya seni yang hebat."

"Keren juga ya yang buat ini lukisan. Kok aku merasakan hal-hal baru ya dari melihat setiap lukisan." celotehnya.

"Pastinya, Ra. Apalagi kamu yang pikirannnya diisi dengan ruang-ruang imajiner dari sebuah buku bacaan fiksi. Sama halnya dengan lukisan. Ketika orang yang memiliki banyak imajinasi pastinya Ia akan merasakan sesuatu yang berbeda dari apa yang selama kita tonton. Coba bayangin, mata kita selalu dibiasakan dengan riwehnya kendaraan macet, segerombolan manusia yang berdesakan, dan melihat bangunan-bangunan yang sejatinya sudah kita lihat dengan rasa kebosanan. Makanya, kenapa aku sangat suka dengan hal-hal yang berbau seni. Soalnya aku bakalan bisa melihat banyak ke-egoan orang lain yang dituangkan di berbagai media. Alhasil, aku bisa lebih menghargai keberagaman, keunikan, dan hal-hal yang berbau ketidaksamaan."

Ira hanya melongo mendengarkan aku bercerita. Rasanya Ia telah menemukan hal yang sangat menarik selain kegiataan baca-membacanya. Sekelebat kalimat bacanya lalu tertuang kembali di sebuah garis kertas membuatku begitu asyik. Namun, ada yang lebih menarik dari sekadar membaca lalu menulis kembali tanpa mencampu-adukan isi dari alam semesta ini. Ada alam yang memiliki banyak keunikan.

"Aku mau tanya satu hal tentangmu." tanyaku.

"Apa itu?" balasku.

"Aku mau minta, kamu buatkan satu karya untukku. Apa pun itu!"

Aku pun mencoba membuka ponsel lalu lekas mengetiknya.

"Kamu lagi ngapain dengan ponsel itu?" Ira penasaran.

"Aku lagi mengetik, bikin puisi buat kamu." air mukanya masih lamat di hadapan layar ponsel dan jemarinya mencoba mengotak-atik. Tulis, hapus, berhenti, menengok kanan kiri, lalu diam kembali. Sesampai 10 menit akhirnya Aku memberi ponselku yang berisi satu bait puisi.



Bercerita, Namamu dan Puisiku



Remang-remang lampu taman cukup berani mengungkap

Dilaluinya angin malam yang menjelma bagai harmoni merdu yang merangkap

Cukup suaraku mengendap dalam bingkai sederhanamu

Kau tahu? Bahwa puisiku tak seindah namamu
10 Jan 2018 23:32
230
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: