Kutipan Cerpen
tanya lelaki tua
Karya
nikitabellaud
Baca selengkapnya di
Penakota.id
entah berapa harga yang mesti mereka bayar saat itu,~ karena yang kutahu sampai saat ini kami sang pewaris masih menanggung beban yang ditanggungnya.~ Kerap kali hal itu terbesit selalu ada tanya dalam pengandaian,~ andai saja dan mungkin saja.~ Sampai-sampai karena tak sanggup membendung tanya dalam kepala ia luapkan saja ditengah jalanan desa.~
“wahai generasi muda,~ pembawa tongkat kejayaan bangsa,~ jika kutanyakan satu perkara padamu apa kau bisa menjawab dan meyakinkanku?”~
Saat itu hanya segelintir orang-orang bernyawa yang menganggap mungkin dia sudah di ambang masa,~ lagipula apa yang ditanyakannya tak berharga untuk di jawab kata.~~
“kau kemarilah dan katakan pada semua... aku ada dan aku bertanya!”~
Hari-harinya memang selalu begitu,~ hanya lontaran teriakan tanpa ada yang memedulikan.~ Sering kali aku berpikir sebenarnya apa yang tertanam dibenak bapak yang sudah tua itu,~ kenapa tingkahnya hanya mengoceh di pinggir jalanan desa?~ aku pikir kenapa tak sekalian saja ditengah kota?~ toh disana banyak orang yang memiliki isi kepala,~ bukannya di desa yang ada hanya orang-orang berpikiran sederhana,~ pergi bekerja demi menyongsong hidup anak dan keluarga~~.
**
Esok harinya bapak itu mulai berteriak lagi seperti biasa,~ tapi ada yang berbeda,~ hari itu mukanya tampak basah di penuhi butiran air mata,~ suaranya serak tertutupi isakan penuh rasa hampa, ia berkata:~
“Merdeka...~ Indonesiaku Bhineka Tunggal Ika,”~
“Merdeka...~ Indonesiaku berlandaskan Pancasila,”~
“Merdeka...~ Indonesiaku kini hanya tinggal nama.” ~
(sembari sedu-sedan isak tangisnya)~
Tiba-tiba sosok yang misterius berujar dipinggir keberadaanku:~
“oh lelaki tua...~ apa yang kau tanyakan tiada guna kau bawa derita,~ lebih baik diam saja dari pada kau terus didera,~ didera tanya dalam realita,”~
“oh lelaki tua...~ sebenarnya apa yang kau tanyakan tiada yang mendengar dengan seksama,~ malah jadi omong kosong belaka.~ Kau salah merasa kecewa,~ kecewa pada kenyataan yang semestinya,~ kau salah selalu merasa,~ merasa diri yang menanggunya.”~
(sosok misterius itu pergi menjauh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya)~
Pikirku dalam hati apa aku bijak jika bertanya dan menghampiri bapak tua itu saat ini,~ tapi inilah keputusanku,~ kulenggangkan kaki ini ke arahnya,~ kutepuk pundaknya dan mulai merasakan sakitnya.~ Segukan air matanya membuatku teriris,~ meringis-ringis jiwa teriris.~
“ada apa pak,~ kenapa bapak menangis?"~
Si bapak tua perlahan menggetarkan bibirnya dan berucap:~
“aku telah dilanda senja,~ aku mulai merasa tua,~ dan kau...~ tidakkah kau dengar nyanyian rindu ibu pertiwi,~ ia merindu dikala dahulu,~ disaat visi menjadi satu,~ saat tekad sekeras batu,~ demi kemerdekaan yang hendak dituju.~ Tapi kini,~ bangsaku yang tumbuh akan keberagaman dan perbedaanya,~ persatuan yang timbul karena sebuah rumusan,~ demi sebuah tujuan dan pengharapan kini tinggal hanya sekadar nama,~ sang bunga kering kini jatuh diterpa angin dan mulai berguguran.~ Sekarang semua itu hanyalah sebuah karangan,~ mahakarya besar dari para pejuang,~ nilai pancasila tak lagi jadi pedoman,~ persatuanpun jadi gurauan.~ Semua ini karena kau yang bisanya terdiam,~ karena kau yang hanya mengangguk dan bungkam,~ bak air panas yang menguap di udara,~ kini habis lenyaplah sudah.”~
(suara sayu mulai mencurahkan isi kalbu dengan badan yang kaku ia menunduk lesu)~
Hari itu aku mulai merasa,~ merasa cinta saat mendamba,~ aku lupa rasanya merdeka ketika telinga mendengar cerita,~ ketika mata melihat dunia.~ Aku pikir indonesia merdeka,~ tapi tahun 1945,~ aku ucap indonesia bhineka tunggal ika~ saat belanda menjajah kita,~ aku sadar indonesia surga yang nyata,~ saat rakyat ikut merdeka.~ Mendengar itu aku tertegun,~ memutar otak mencari kata,~ ucapku dalam hati,~ jika hari ini malam kenapa mentari ikut temaram,~ seharusnya bulan yang pergi terbenam,~ dan jika bangsaku hilang,~ lalu kenapa ada pengharapan saat zaman masih tetap berjalan.~ Oh bapak tua...~ ku katakan padamu:~
“kau benar jika kami tak lagi sama,~ jika kami jarang membagi tawa dan makan bersama~. Namun satu yang mesti kuyakinkan padamu,~ kami ini adalah generasi muda,~ agen-agen perubah bangsa,~ tangan-tangan kami akan mewarnai indonesia semakin cantik di mata dunia.~ Memang akhir-akhir ini kami lupa nilai pancasila,~ mungkin karena kami mulai terbiasa hidup rasa merdeka tanpa kerja romusha,~ tapi tenanglah bapak,~ kami ini anak indonesia,~ tinggal dan hidup di atas tanahnya,~ biarpun teramat banyak bahasa di negara kita,~ tak menjadikan kita bingung untuk bicara layak saudara,~ cukup dengan satu bahasa-bahasa persatuan kita.~ Perbedaan suku dan budaya tak menjadikan kita berbeda,~ cukup dengan rasa bangga yang boleh kita pamerkan pada dunia.~ Dimanapun kami berada,~ hanya garuda yang ada di dada,~ tak peduli bendera mana yang terlihat sama,~ tetap sangsaka merah putih yang harus mengudara,~ mungkin saat ini kami hanya terlena oleh arus yang terus menempa,~ sebuah era haruslah tercipta,~ ubah bangsa menjadi jaya,~ dan ketika kami merasa tak lagi sama,~ cukup dengan mengusap dada dan berkata:~
“aku percaya aku indonesia dan kami bhineka tunggal ika”~
Entah bangsa lain berkata tidak dan semua ini sia-sia,~ tetap kami adalah indonesia,~ dan aku indonesia,~ tenang saja.”~
Sang lelaki tua tersenyum sambil berkata:~
“baiklah jika seperti itu,~ hari ini aku tua,~ tapi aku masih mencinta.~ Hari ini aku lupa,~ bahwa kita indonesia dan aku indonesia.~ Terima kasih dan jagalah indonesia demi masa depan yang bahagia,~ baiklah sampai jumpa.~ Kutitipkan tawa beserta harapanya.”~
Si bapak tua pun lenyap bersama pertanyaannya.~
***
Unduh teks untuk IG story