Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman
Resensi
Kutipan Resensi Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman
Karya nnsnvprtw
Baca selengkapnya di Penakota.id

Dari buku biografi berjudul Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman yang disusun oleh TEMPO dan diterbitkan oleh KPG, saya jadi mengetahui kalau Bung Hatta memberikan maskawin berupa buku berjudul "Alam Pikiran Yunani" untuk Rahmi, gadis berusia 19 tahun. Buku itu juga ditulis sendiri oleh beliau. Kebayang gak sih, gadis 19 tahun dinikahin bapak-bapak 43 tahun trus maskawinnya buku? Buku filsafat pula! Haha apakah saat itu si ibu seneng atau malah linglung nih. Buku filsafat banget nih Mas? Tapi ya diterima kok maskawinnya, karna kadung udah sayang sama si bapak. Atau mungkin memang Bu Rahmi pun menggemari filsafat juga. Yang justru marah dgn maskawin itu malah ibunya Bung Hatta, Bu Siti Saleha, yang gak habis pikir kenapa bisa-bisanya anaknya ngasih maskawin berupa buku untuk meminang anak orang.


 


Kisah lucu dan tidak populer lainnya adalah sosok Bung Hatta yang teramat serius justru malah membuat ia jadi sosok yang lucu. Bayangin, satu waktu Des Alwi, anak angkat Sjahrir ngajak Bung Hatta berenang, bukannya ganti celana renang, beliau malah gulung celana panjangnya doang selutut lalu nyebur dengan masih menggunakan sepatu tenis!


 


Lalu ada lagi kisah di Banda Neira tentang bagaimana para petani kebun menganggap Bung Hatta adalah jam. Kenapa? Karena saking disiplinnya beliau melakukan rutinitas setiap hari, semua orang jadi paham kalau tiap jam 4 sore beliau akan jalan-jalan menyusuri kebun dan pantai, lalu balik lagi. Jadi ibaratnya, ketika Bung Hatta lewat perkebunan, petani bisa info teman petani lainnya, "Mentemen, Bung Hatta lewat ni, udah jam 4, yuk beres-beres yuuuk"


 


Segelintir kisah jenaka itu, saya yakin jadi harta karun buat para pembaca. Bung Hatta memang sebenarnya sosok pendiam, religius, dan disiplin. Kata ajudan beliau yang mengabdi selama 20 tahun, setiap hari Bung Hatta selalu tepat waktu masuk ke ruang kerja pukul 7.30. Waktu di tempat pembuanganpun masih sangat teratur kehidupannya. Plus ia juga sosok muslim yang taat. Sejak muda, ia aktif di organisasi tapi gak pernah sekalipun terjebak pergaulan bebas sana sini. Apalagi waktu kuliah di Belanda, ia sempat ditertawakan temannya karena suka pesan air es di kafe, bukan bir, padahal harga air es lebih mahal dibanding bir. Satu waktu juga beliau pernah dipaksa teman-temannya untuk menemui gadis Polandia yang cantiknya udah terkenal seantero kampus. Si gadis yang merasa ahli menaklukan pria pun mundur, karena Bung Hatta datar-datar aja, gak menunjukkan ketertarikan haha malah si gadis bilang Bung Hatta itu adalah pendeta, bukan laki-laki, karena gak tertarik sama dia.


 


Pribadinya yang matang paripurna tentunya terbentuk berkat asuhan ibu, kakek, nenek, dan paman asuhnya. Sejak kecil beliau selalu dekat dengan agama dan ilmu pengetahuan. Sekolah-main bola-mengaji adalah rutinitasnya. Kedisiplinannya terbentuk pula dari kakeknya yang seorang ulama besar yang mengajarkan pentingnya menghargai waktu. Hatta kecil juga sebenarnya ingin bercita-cita menjadi ulama besar seperti kakeknya, namun ternyata Sang Maha Pemilik Semesta memberikan ia peran yang juga tak kalah penting bagi hidupnya.


 


Sosok Bapak Negara satu ini memang cukup berbeda dengan sosok sahabat karibnya, Presiden Soekarno. Namun keduanya adalah orator andal, bedanya, Bung Hatta berorasi menggunakan pena dengan menuliskan kata-kata tajam dari pikirannya yang bernas. Ya, beliau adalah negarawan yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, karenanya ia selalu membaca dan menulis. Kedua hal itu, ia lakukan sepanjang hayat.


 


Sejak kecil, Bung Hatta juga seorang kutubuku. Hingga saat tak punya uang di Belanda pun, ia terus berusaha membeli buku dengan cara mencicilnya. Bahkan ketika ia dibuang ke Digul dan Banda Neira, Hatta membawa 16 peti berisi buku-buku kesayangannya. Di tempat pengasingan pun, Hatta tetap membeli buku dari Batavia atau Belanda dgn honor yg ia dapat sebagai penulis kolom di surat kabar. Banyak yang bilang bahwa buku adalah kekasih pertamanya. Gak heran ketika beliau wafat, warisan berharganya adalah 30.000 judul buku yang ia miliki sepanjang hidupnya. Lagi-lagi saya ingat kalimat ordinary people have big TVs, extraordinary people have big libraries. Lebih gilanya lagi, beliau gak punya deposit ternyata, karena kebanyakan uangnya ia belanjakan untuk membeli buku. Mungkin kalau zaman sekarang, sikap seperti itu bisa dikritik para ahli finansial ya😂 Namun buku-buku yang ia miliki terbukti mampu membantu ketiga putrinya menyelesaikan studi. Istilahnya, ilmu apapun yang sedang dipelajari anak-anaknya, bisa dicari di koleksi buku ayahnya. Bahkan sang ayah ikut memberi kuliah kecil2an kalau anaknya ada yang gak paham.


 


Hal menarik lainnya selain kegilaannya terhadap buku, kisah jenaka tersembunyi, dan sepak terjang politiknya, adalah love hate relationshipnya dengan Bung Karno. Dwitunggal ini memang unik. Bung Hatta adalah pengritik paling pedas sekaligus sahabat paling karib bagi Bung Karno. Kritikan Bung Hatta pada gaya Bung Karno yang makin diktator selalu muncul di surat kabar, yang berujung pada pembredelan surat kabar itu sendiri. Salah satu tulisan yang cukup nyelekit seperti ini misalnya "Dalam jangka waktu cukup lama, Indonesia hidup dalam bayangan feodalisme, namun neo-feodalisme Soekarno lebih jahat dan ganas." Tapi hebatnya, hal tersebut sama sekali gak merusak kehidupan pribadi keduanya. Mereka tetap saling sapa, bahkan sampai hari-hari terakhir Bung Karno.


 


Bung Hatta, seperti diketahui banyak orang, adalah seorang federalis. Ia ingin otonomi daerah diperkuat. Jangan melulu pemerintah pusat yang kuat, setiap daerah berhak menentukan nasibnya masing-masing. Ia ingin seluruh daerah di Indonesia maju, tanpa membeda-bedakan suku atau rasnya. Sayangnya, Bung Karno adalah seorang unitaris. Ia ingin ada pemerintahan pusat yang mengatur sepenuhnya. Bung Hatta juga mundur dari jabatan sebagai wakil karena merasa pemerintahan pada saat itu sudah seperti sirkus; pejabat-pejabat kerjanya bolak balik ke luar negeri terus tanpa ada hasil untuk rakyat, apalagi untuk negara. Korupsi melanda, pemangku jabatan semakin rakus (eh kok seperti familiar ya kondisinya ehehe), dan Bung Hatta mundur karena ia enggan jadi bagian sirkus pemerintahan. Beliau menulis kritik dengan mengutip penyair Jerman, Schiller: "Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil."

08 Jan 2021 17:31
374
Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
6 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: