oranment
play icon
Sepiku Berwujud Chairil Anwar
Cerpen
Kutipan Cerpen Sepiku Berwujud Chairil Anwar
Karya nnsnvprtw
Baca selengkapnya di Penakota.id

“Bulan depan saya akan menginjak 27.”


“Lalu?”


“Mau tunggu saya di sana?”, kataku melirik ke langit kosong.


“Kujemput kau pukul tiga, semoga malam itu akan berbintang”, katanya dengan yakin, lagi-lagi dengan sorot matanya yang tajam seakan menembus kulitmu sampai ke tulang.


 


-


 


Pagi menjemputku dengan paksa. Tanpa alarm dan aba-aba.


Aku diam. Melihat jam dinding yang sudah retak. Pukul 07:32. Sial. Aku terlambat lagi. Aku mendapati surel yang dikirimkan oleh atasanku siang itu. Isinya sebuah teguran atas keterlambatanku yang sudah konsisten selama tiga minggu berturut-turut. Katanya jika besok masih terlambat, maka aku akan mendapat Surat Peringatan yang akan menentukkan kehidupanku di kotak membosankan ini.


 


Malam hari aku tiba di rumah. Jam dinding retak menunjukkan pukul 22:00. Lagi-lagi nyaris tengah malam. Asal kau tau saja, perusahaan tempatmu bekerja tak peduli kau pulang pagi sekalipun asal kau adalah manusia robot yang bisa dikendalikan oleh mereka. Aku. Ya, seperti aku. Budak jalang di kotak kapitalis keparat.


 


Aku bermimpi. Mimpi yang aneh. Aku bermimpi terhisap ke dalam pohon beringin tua. Seperti sebuah lirik lagu salah satu band rock yang beranggotakan tiga orang dan katanya mereka menerbangkan roket ke angkasa. Dalam mimpi, aku sedang berlari ke pohon beringin itu. Pohon beringin itu tampak murung. Tua. Tak berwarna. Tak berjiwa. Itu aku. Seperti aku. Lalu tiba-tiba aku melihat hitamnya. Sangat pekat sampai kau pikir cahaya matahari sudah musnah akibat kiamat. Aku terhisap. Jauh ke dalam kegelapan. Kegelapan beringin tua. Kegelapan jiwaku sendiri.


 


-


 


Aku terbangun. Kupikir sudah dipaksa pagi. Tapi tidak, itu pukul 03:00. Aku melihat sekeliling. Sepi. Sangat sepi. Tidak ada suara apa pun kecuali detak jantungku sendiri yang sibuk memompa darah. Kapan akan berhenti? Entah. Katanya itu misteri. Tapi aku tidak suka misteri sejak aku kecil. Aku menurunkan kakiku dari ranjang. Dingin. Lantai kamarku dingin sekali. Aku berjalan entah kemana. Ternyata kaki membawaku ke pintu ruang tamu. Lalu dengan sigap tanganku memutar kunci yang sudah bertengger pada lubangnya. Kunci itupun sudah dingin ternyata.


 


Aku menyeruak ke teras. Lalu menengadah. Melihat langit yang mendung. Berkabut dan tidak ada bintang. Langitnya kosong. Biasa saja. Seperti aku. Kabut mulai memeluk pelan-pelan. Rasanya dingin sekali sampai ke dada. Sesak rasanya. Dan aku teringat sesuatu. Ada yang hilang dari dalam tubuhku. Namanya jiwa. Aku meninggalkannya entah dimana. Mungkin tertinggal saat usiaku tujuh atau sepuluh atau dua puluh. Aku sudah cari kemana-mana tapi tidak juga cocok. Aku menyerah. Kupakai saja jiwa manapun yang bisa kupakai setiap hari demi pagi dan siang yang kerap memaksaku menjalankan tugasku sebagai makhluk berakal.


 


Selagi dinginnya menusuk, ada perasaan selain sesak yang menguap. Kata orang, namanya sepi. Dan katanya, sepi tidak berwujud. Tapi, bagiku tidak. Sepiku berwujud Chairil Anwar. Iya benar, Chairil Anwar si binatang jalang. Si penyair generasi 45. Si pemberontak dalam deretan aksara. 


 


-


 


Chairil melihatku heran. Ia bergeming selama 60 detik. Lalu berkata, “Mampus kau dikoyak-koyak sepi!”. [1] Aku kaget. Ia senyum. Senyum simpul aneh. Tapi aku suka aneh. Sejak kecil, aneh adalah karibku. Dan tanpa kuminta, bibirku juga membuat garis senyum. Mungkin juga sama anehnya. 


 


Aku masih tidak percaya ada Chairil di depanku. Dalam wujud sepiku. Mana yang nyata? Sepi atau Chairil? Atau sepi berevolusi menjadi Chairil? Atau sebaliknya? Lalu aku harus apa di hadapannya? 


“Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Selalu menanti,” [2] katanya. Yang aku tau, itu adalah salah satu baris puisinya juga. 


“Kenapa sepi mengikuti?”, tanyaku.


“Karena sepi juga butuh teman,” katanya.


“Lalu, kenapa harus aku yang menjadi temannya?”


“Karena kamu mau. Seperti aku.”


Aku diam. Ia pun diam. Aku melihat matanya yang tajam, sorotnya mengerikan, seperti menembus tulang. Tapi di lain sisi, itu mengagumkan.


 


-


 


Sejak saat itu. Aku selalu bertemu Chairil di teras rumahku.


Aku tak peduli siapa yang berwujud siapa. Apakah sepi berwujud Chairil atau Chairil adalah sepi. Aneh. Aku menikmati. Pelan-pelan, kabut yang memelukku bisa kurasakan dengan hangat.


“Kalau aku mati, aku mau jadi bintang saja. Atau komet. Atau asteroid. Atau pulsar,” kataku sambil melihat langit kosong lagi. “Kenapa tidak mati lalu menjadi puisi?”, tanya Chairil.


“Aku mau bergabung dengan benda langit saja. Tidak tersentuh. Tidak usah disambangi kuburnya. Biar saja di atas. Melayang.”


“Puisi juga tidak tersentuh. Hanya penulisnya yang bisa menyetubuhi puisinya sendiri. Melalui puisi, setiap penyair membunuh dirinya sehari-hari.”


Benar juga dia, batinku. Tapi keputusanku sudah bulat. Aku ingin menjadi bintang kalau mati.


“Jika kau menjadi bintang, orang hanya akan menjumpaimu malam hari. Tak apa?”.


“Bagus kalau begitu. Aku bisa temani mereka yang kesepian,” jawabku pasti.


 


-


 


Entah malam keberapa, kuberanikan diriku membuka kotak kecil di dalam lemari reyot. Napasku berat saat membukanya. Tapi, aku sudah bertekad untuk melakukannya malam ini. Setelah kubuka tutupnya, terlihat tumpukan kertas dengan hiasan bunga cantik di sudut-sudutnya. UNDANGAN PERNIKAHAN tertulis pada bagian tengahnya, lalu di bawahnya, tertera namaku dan nama seorang pria. Si brengsek.


 


Tanpa pikir panjang, kubawa setumpuk undangan itu ke dapur. Kumasukkan dalam-dalam ke tempat sampah. Tapi, rasanya belum puas. Aku mengambilnya lagi dari dalam tempat sampah, lalu kubawa ke halaman rumahku. Sesampainya, aku mencoba menggali tanah untuk kuburan si undangan-undangan tai kucing itu. Namun, tanah ini begitu keras, jariku terlalu kurus untuk menggali lubang. Brengsek!


 


Akhirnya kuputuskan mengambil korek api dari dalam tas. Akan kubakar sampai menjadi abu. Abunya akan kumasukkan ke wc rumahku. Ya, disitulah kotoran seharusnya bermuara.


 


 


Tapi, saat aku siap membakarnya, seakan si korek ini menolak. Sial! Gasnya habis!


Aku memutar otak untuk mendapatkan langkah selanjutnya dalam pertunjukan pelampiasan amarahku. Aku membongkar meja kerja dan lemari, melihat apa yang bisa kugunakan. Lalu, aku melihat sekotak krayon yang tertutup kertas-kertas gambar yang sudah lecek. Tiba-tiba muncul ide yang sangat konyol, tapi mudah kulakukan. Tumpukan undangan sampah ini akan kuwarnai satu persatu. Kuwarnai penuh hingga tak satupun hurufnya akan terbaca siapapun.


 


Satu demi satu aku kerjakan kekonyolan itu dengan hati meletup. Tanganku bergerak sangat cepat dan konsisten. Beberapa krayon sudah memendek dan aus. Jari-jariku sudah sedikit mati rasa. Warna merah pekat melekat pada kulit dan kuku. Tiba-tiba aku meraba pipiku. Air mata. Aku menangis ternyata. Lucu. Bahkan aku tak menyadari bahwa aku tadi menangis saat mengerjakannya. Aku tidak bisa menghentikan air mataku sendiri. Lama kelamaan, undangan yang sudah kuwarnai pun basah terkena hujan air mata.


 


-


 


Aku terbangun. Tepat pukul tiga seperti biasanya. Aku berjalan menuju luar kamar. Kulihat kalender yang terpasang di dinding kusam. 28 April—ulang tahunku. Hari ini usiaku tepat 27. Entah darimana datangnya perasaan hangat ini, aku tersenyum simpul.


 


Chairil berdiri di ambang pintu.


“Hidup hanya menunda kekalahan. Sebelum pada akhirnya kita menyerah.” [3] Ucapnya sambil memamerkan senyumnya yang khas.


Aku balas senyum.


Lalu aku menengok ke belakang.


Melihat tubuhku dengan irisan di pergelangan tanganku sendiri.


 


[1] Chairil Anwar, Sia-Sia, 1943.


[2] Chairil Anwar, Hampa, 1943.


[3] Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara, 1949.

calendar
13 May 2019 12:40
view
3.5K
wisataliterasi
Jakarta Selatan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
idle liked
8 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig