Melahap Riuh Jakarta
Cerpen
Kutipan Cerpen Melahap Riuh Jakarta
Karya nnsnvprtw
Baca selengkapnya di Penakota.id

/1/

Sejak semalam, seluruh stasiun televisi menayangkan berita-berita (sok) genting dengan cuplikan video-video kerusuhan. Si A menyaksikannya sambil mengunyah buah pisang yang sudah kelewat matang.

“Acara teve kok gak ada manis-manisnya, masa cuma iklan air mineral doang yang ada manis-manisnya!”, ujar A sambil mengunyah pisang ambon dengan lahap. Ia kemudian mencari remot teve. Pencet satu kali, dua kali, tiga kali, “Asu! Semua isinya rusuh! Opo sik iki?! Guembel!”, umpatnya seraya melempar kulit pisang ke layar televisi.

~

/2/

Pagi hari, alarm ponsel berbunyi melantunkan lagu Nissa Sabyan. Hmmmm….hmmmm….hmmmm… Si B membuka mata. Menguap sangat lebar. Merentangkan tangan sambil meregangkan otot, lalu mengusap ponselnya untuk mematikan alarm. Nissa Sabyan pun berhenti bernyanyi. Si B memaksa tubuhnya untuk bangun, duduk di tepi kasur, lalu berjalan ke luar kamar. Di depan televisi, sudah duduk ibunya sambil mengupas wortel dan memotongnya kecil-kecil. Ingin membuat sayur sop rupanya. 

“Kamu kerja hari ini?” tanya ibu.

“Emang bisa bolos?” B balik bertanya sambil mengusap layar ponsel.

“Lho itu lihat di teve, lagi ada demo.”

“Gak pengaruh, Bu. Babu mah harus tetep kerja.”

“Heh, bahaya lho! Itu kamu liat banyak orang bejubel di jalanan dari tadi malem.”

“Di Jakarta kan biasa, Bu, liat orang bejubel. Kadang di lapangan, di pasar malem, di kereta, di pasar kaget, di depan MPR, sampe ke istana negara. Ya ini cuma lagi diliput teve aja jadi keliatan."

“Ya beda lah! Ini bahaya. Mereka katanya protes karena pemilu kemarin curang. Tadi malem ibu liat udah rusuh di mana-mana.”

“Bu, sibuknya Jakarta gak akan berhenti cuma karena ada rusuh. Gak ada pengaruhnya. Apalagi buat orang miskin kayak kita. Inget dulu

kejadian ‘98, Bu? Sama toh, gak pengaruh apa-apa buat kita. Cuma untung aja aku dapet rokok 7 pak pas ikut ngejarah.”

“Hush! Kamu jangan nyepelekan kerusuhan-kerusuhan. Kasian orang-orang yang kena dampaknya.”

“Bukan gak kasian dan nyepelekan, Bu, tapi, Jakarta udah kayak wadah beton buat orang-orang di dalamnya. Udah tahan kerusuhan,

kekerasan, kehilangan. Kita, orang-orang yang hidup di dalamnya juga berangsur-angsur jadi kuat. Bukan, kita harus kuat. Sekarang nih,

Bu, kita lagi ngobrol gini, pasti di luar sana ada aja orang yang lagi kecopetan, atau lagi ditagih rentenir, atau lagi ditilang polisi, atau lagi

digodain tukang bangunan siang bolong. Banyak, Bu. Rusuh ini, bagi Jakarta kayak bentol-bentol akibat biang keringat.”

Ngomong apa sih kamu tuh, ngelantur!”

“Ih, dibilangin bener-bener malah dikatain ngelantur. Intinya, apapun yang terjadi di Jakarta, orang-orang di dalamnya masih akan tetap

sama, Bu. Hirarki majikan dan jongos juga masih sama.”

Si B akhirnya berhasil masuk ke kamar mandi dengan menghiraukan kicauan ibunya. Menutup pintu kamar mandi, menggantungkan handuk, lalu melepas pakaian sambil bersiul lagu Nissa Sabyan yang terputus saat alarm dimatikan.

~

/3/

Langit berubah menjadi gelap, lampu jalan terbangun menjalankan tugasnya untuk menerangi jalanan, si C sedang bersiap-siap kerja. Ia memang begitu, pagi siang ojek sana sini, malam berjualan kopi menggunakan sepeda di taman Lapangan Banteng.

Beberapa tahun belakangan ini, taman-taman di Jakarta disulap menjadi bagus, orang-orang punya pilihan taman yang lebih banyak untuk piknik, pacaran, merenung, dan atau sekedar foto-foto untuk memperbarui tampilan foto profil media sosial. Si C biasanya mangkal di Taman Menteng, namun bosan juga pemandangannya itu-itu saja. Sebagai Starling (Starbucks keliling) kawakan, si C mudah sekali menjajakan kopinya, dengan satu dua kalimat gombalan, pembeli akan menghampiri dengan sendirinya. Jadi, berpindah lokasi kerja pun bukan masalah. Namun, baru 500 meter ia mengayuh sepeda, terlihat banyak kerumunan manusia di kejauhan. Rasa penasaran manusia umumnya jauh lebih menghantui dibanding rasa takut, jadilah si C menghampiri kerumunan tersebut dengan agak tergesa. Setelah tanya sana sini, semua jawab serempak bahwa sedang ada demo di depan Sarinah. Demo karena indikasi kecurangan pemilu, katanya. Lainnya menyahut siap untuk jarah supermarket lagi kalau keributan dan ricuh meledak, yang lain setuju dan langsung membuat tim jarah ala kadarnya. Sementara si C masih ragu apakah akan terus mengayuh atau berbalik dan pulang untuk istirahat sambil mampir di warkop si Kumis. Tapi, untuk apa juga pulang jam segini, warkop Kumis juga pasti masih sepi karena sopir dan kenek bis belum pada balik ke pul terdekat. Dengan gamang, si C akhirnya mengayuh sepeda ke arah Sarinah sambil pamit pada satu dua orang yang berkerumun tadi. Semakin dekat dengan riuh, ia semakin bisa mendengar teriakan bersahut-sahutan, suara hentakan, benda terlempar, dan derap langkah berat sekaligus kompak. Si C tiba juga di dekat perempatan Sarinah, ia segera melipir ke trotoar yang juga dipadati manusia-manusia. Banyak yang berwajah kelelahan, lesu, namun tak jarang juga yang masih semangat membara untuk meneriakkan sesuatu sambil mengepalkan tangan ke udara. Si C menurunkan standar sepedanya, mulai menunggu 5-10 menit. Tak lama, terdengar ledakan lantang. Cukup membuat panik dan berdebar hingga membuat orang yang sedang ngaso-ngaso berhamburan. Tapi, setelah ditelisik, ternyata itu hanyalah petasan. Pantas bunyinya akrab di kuping, batin C. “Bang, kopi item satu ya!”, ujar salah seorang bapak pendemo yang memegang poster mencolok. “Bang, bikin dua deh yak kopi itemnya!” sahut yang lain dari sisi berbeda. “Oi, gue juga mau lah! Nih, si Topan mau juga, jadi dua ye!” Si C, dengan sigap dan cekatan, segera menyulap beberapa gelas plastik kosong menjadi terisi kopi hitam sesuai pesanan. Setelahnya, pelanggan semakin berkerumun mengelilingi si C dengan berbagai pesanan untuk menghilangkan jenuh dan dahaga. Setelah untung sekitar berpuluh ribu rupiah, si C kembali mengayuh sepedanya. Kali ini, ia menyisiri sisi lain perempatan Sarinah. Di tengah hiruk pikuk, caci maki, dan peluh keringat orang-orang, si C bersyukur--entah tepat atau tidak apa yang dilakukannya. Namun, ia tau bahwa beginilah sisi lain Jakarta yang tidak pernah ditampilkan iklan-iklan pariwisata. Bahwa di balik segala kecemasan dan keriuhan peristiwanya, Jakarta selalu menyisipkan tempat sempit bagi mereka yang ingin mencari nafkah dan mengais rupiah. Si C adalah salah satunya, orang yang menyelipkan diri di tengah carut marut demonstrasi Jakarta dan tidak ada yang bisa menghentikan itu. Si C tetap siap sedia melayani pembeli sambil melontar senyum, sekali-kali menyesap kopi untuknya juga, sambil menikmati rusuh dan anarkisme, ia memasukkan lembar-lembar rupiah ke dalam kantongnya. Semoga cukup untuk beli seragam dan buku sekolah si anak sulung yang akan masuk SD bulan Juli nanti.




12 Aug 2019 16:54
362
Jakarta Selatan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: