Si Mbak, Koper, dan Hal Lain yang Sepertinya Tidak Penting
Cerpen
Kutipan Cerpen Si Mbak, Koper, dan Hal Lain yang Sepertinya Tidak Penting
Karya nnsnvprtw
Baca selengkapnya di Penakota.id

Si Mbak, Koper, dan Ruang Tunggu Bandara

Hari cukup terik. Si Mbak sudah tiba di bandara Soekarno Hatta sejak pukul sembilan pagi. Ia akan menaiki pesawat komersil yang tiketnya ia beli dari hasil menyisihkan uang makan siangnya yang kerap ia lewatkan dan berdalih sedang diet keto. Penerbangannya dijadwalkan pukul sebelas siang. Hatinya berdegup. Sedari tadi ia tidak berhenti melempar senyum--pada diri atau pada orang lain. Ia membawa satu koper cita dan harapan yang besar dan berwarna kuning redup, walaupun ia agak kepayahan saat menyeretnya, senyumnya tetap bertengger di wajah saat ia berjalan kesana kesini atau duduk menunggu. Koper itu cukup berat, mungkin jika menimpa seseorang, koper itu bisa membunuh si orang dengan perlahan. Alih-alih membawa sekoper kecemasan dan masalah dari Jakarta yang dulu selalu ia bawa kemana-mana, ia justru sekarang membawa sekoper cita dan harapan untuk dibawa ke kota utopis tujuannya: Jogja. Demi pergi menata harapannya, ia membuang koper kecemasannya di tempat pembuangan sampah besar di dekat kantornya tadi malam. Ia ingin menata citanya kembali di sela-sela pagar rumahnya di sana. Menggantungkan harapan di jendela yang akan terkena sinar matahari pagi yang hangat. Menghiasi hari-hari dengan obrolan ringan seputar tulis-menulis dengan para warga lokal. Memiliki perpustakaan kecil di sudut rumah. Mengadakan pentas dongeng bagi orang dewasa yang ingin mendongengkan orang dewasa lainnya. Ah indahnya hidup seperti itu, satu dua masalah pasti tak akan lagi jadi masalah, tidak perlu koper untuk memasukkan segala cemasnya. Mungkin kresek kecil saja cukup untuk mengantongi cemas yang kerdil-kerdil itu.


Si Mbak, Koper, dan Petugas Check In Bandara

Di hadapan konter check in, si Mbak mengurus administrasi ini itu, menunjukkan tiket dan Kartu Tanda Penduduk, sembari mengangkat koper beratnya untuk ditimbang. Timbangan digital bekerja. Angkanya bergerak dinamis semakin tinggi. Lalu, petugas check in menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “Kopernya keberatan harapan, Mbak. Pulang lagi sana, bergumul dengan realita!” ujar si petugas konter check in. Si Mbak tertunduk lesu, menurunkan kembali kopernya. Menyeretnya keluar sambil terseok-seok. Lalu terhenti sejenak, menatap orang lalu lalang sibuk sekali. Apa yang mereka pikirkan? Apa yang mereka kejar? Apa mereka yang sibuk itu benar-benar hidup? Apa mereka hidup dalam kepala mereka sendiri? Segala jenis pertanyaan tergantung di kepala. Si Mbak memutuskan untuk berjalan, melanjutkan perjalanan, sambil menyeret koper harapannya. 


Si Mbak, Koper, dan Antrean Bus Damri

Di sisi lain bandara, terlihat orang-orang berdiri mengantre dengan memegang gagang koper atau mendekap tas yang cukup besar. Si Mbak secara naluriah segera bergabung dalam antrean, berdiri bersama kopernya, menunggu bus Damri untuk kembali pulang ke realita. Tangan si Mbak bertumpu pada gagang koper, lalu berpikir sesuatu yang mengganjal sudah lama: sesungguhnya pergumulan antara realita dan harapan memang sudah terjadi sejak lama di benaknya--sekaligus hidupnya. Sudah menjadi sangat sengit. Akhirnya, diri sendiri sadar jika realita dan harapan memang tidak akan pernah berjalan beriringan dalam hidupnya. Salah satu harus menghancurkan yang lainnya, seperti Harry Potter dan Voldemort yang tidak bisa hadir bersamaan di dunia. Yang satu musnah, sementara yang satu bertahan. 


Si Mbak dan Koper yang Ditinggalkan

Persis saat pintu bus Damri terbuka, si Mbak segera melangkah masuk dengan pasti. Meninggalkan kopernya di antrean bus, yang membuat antrean melambat dan umpatan misuh-misuh keluar dari mulut para orang kota. Sambil memasang earphone dan mendengarkan lagu Calpurnia, ia segera duduk di kursi baris ketiga dari depan, persis di samping jendela. Melihat pemandangan bandara yang berlalu cepat melalui jendela bus Damri. Menghela nafas, mungkin memang harus begitu, meninggalkan harapan dan cita begitu saja, sama seperti waktu itu ia membuang koper kecemasannya di tempat pembuangan akhir sampah-sampah.


Si Mbak, Lelaki Paruh Baya, dan Koper 

Tidak lama bus Damri bertolak dari bandara Soekarno Hatta, seorang pria paruh baya duduk di samping si Mbak. Memulai basa basi dengan topik awalan tentang cuaca, lalu tentang Jakarta, lalu tentang Indonesia. Ah, membosankan sekali. Padahal jika si lelaki mau membicarakan tentang berapa jam sesungguhnya Bruce Wayne tidur di rumahnya, mungkin si Mbak mau diajak berdiskusi. Karena lelaki itu terus bicara ini itu, si Mbak mulai mengantuk tak tertahan, lalu tertidur, lelap sekali dengan suara lelaki paruh baya itu sebagai lagu pengiring tidurnya di bus Damri.


Si Mbak dan….

Selang beberapa jam ia tertidur, si Mbak terbangun karena guncangan kecil bus Damri akibat polisi tidur yang tidak main-main tingginya. Ia menyadari bahwa kepalanya bersandar pada sesuatu di sampingnya. Jika kamu mengira itu adalah pundak si lelaki paruh baya, maka jelas, kamu terlalu banyak menonton roman picisan produk dalam dan luar negeri. Ternyata yang disandari si Mbak adalah sebuah koper.



Sial, koper kecemasan baru!



16 Aug 2019 14:51
389
Jakarta Selatan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: