Belajar Bodoh dan Ceroboh Bersama Swami dan Teman-Teman
Resensi
Kutipan Resensi Belajar Bodoh dan Ceroboh Bersama Swami dan Teman-Teman
Karya nnsnvprtw
Baca selengkapnya di Penakota.id

Tersebutlah sebuah kota kecil di India bernama Malgudi. Kota terpencil yang memiliki ragam manusia lintas ras dan suku. Saat itu, di tahun 1930, pada tanggal 15 Agustus, sekitar dua ribu penduduk Malgudi berkumpul untuk melakukan aksi protes atas penangkapan seorang aktivis politik yang tersohor di Mumbai. Di siang yang terik itu, seorang pemimpin aksi massa melantangkan orasinya dengan berapi-api. Ia mengatakan bahwa penduduk India sekarang hanyalah budak, bahkan budak yang paling buruk dari kondisi-kondisi sebelumnya. Ia mengajak semua orang untuk berani melawan, meludahi, dan menenggelamkan Inggris. Lalu aksi protes itu ditutup oleh pembakaran pakaian-pakaian merek asing, hingga membuat gundukan api unggun yang cukup besar. 

~

Kisah di atas hanya satu adegan yang ada di buku Swami dan Teman-Teman karya R.K. Narayan, yang disebut-sebut sebagai Anton Chekhov-nya India. Buku ini sesungguhnya menampilkan kehidupan seorang anak laki-laki bernama Swaminathan--atau Swami. Ia hidup dengan keluarga yang cukup lengkap, ada ayah, ibu, nenek, dan adik bayi. Ayahnya super disiplin dan galak. Setiap libur, Swami tidak boleh santai, ia harus tetap belajar dan membaca buku pelajaran di rumah. Ayahnya bahkan mengoreksi cara Swami menata buku-bukunya. Sekolah ada hal prioritas bagi ayah. Apapun yang terjadi, Swami harus tetap sekolah, meskipun ia habis digigit harimau sekalipun. Swami pernah bilang bahwa jika ia mati pun, ayahnya akan tetap mengirim jasadnya ke sekolah. Jadi, jika melihat gaya didikan orang tua era kiwari, tentu sangat jauh berbeda dengan didikan ayah Swami. Bila ayah Swami hidup di masa sekarang, pasti lah gaya didikan militernya akan diprotes banyak pemerhati parenting dan komite-komite perlindungan anak negara. Berkebalikan dengan ayah, nenek Swami amat sangat memanjakan Swami, nenek rela disuruh-suruh oleh anak sulung ini agar si anak senang dan tidak marah. Tentunya ayah dan nenek sering beradu mulut karena tingkah Swami, yang satu ingin menghukum, lainnya ingin memanjakan. Sedangkan ibunya hanya sibuk dengan pekerjaan rumah yang tidak ada akhirnya. Setiap hari mengurus ini itu, walaupun dibantu juru masak rumah, ibunya tetap bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan kenyamanan rumah. Jadi, ibu sama sekali cuek dan kerap bodo amat pada hal-hal terkait kenakalan Swami. Selama anak itu sehat dan pulang ke rumah sebelum malam larut, maka itu sudah lebih dari cukup bagi ibu.


Dalam lingkup pertemanan, Swami memiliki teman dekat berjumlah empat orang, namun yang sangat dekat dengannya hanyalah Mani dan Rajam. Kedua anak yang disebutkan tadi adalah anak yang selalu mendampingi Swami. Sebagai yang paling lemah di antara keduanya, Swami kerap mengandalkan Mani dan Rajam dalam situasi genting apapun yang membahayakan nyawanya.


Keseluruhan cerita dibuat dengan sangat sederhana. Beberapa konflik sangat dekat sekali kasusnya dengan kehidupan sehari-hari seorang anak sekolah, seperti mengenai rasa was-was menghadapi ujian sekolah, persahabatan, persaingan tim olahraga, guru yang menyebalkan dan tidak punya hati, hingga dihadapi dengan ayah super galak di rumah. Pembaca dibawa ke dalam kehidupan Swami yang lucu dan menyebalkan. Tingkah Swami yang keras kepala namun banyak akal terkadang menjadi hal yang sangat konyol jika dipikirkan. Belum lagi ditambah tumpukan ide gegabah Mani dan Rajam dalam setiap menyelesaikan masalah. 


Ada beberapa pesan-pesan tersirat yang sebenarnya muncul di buku ini: kolonialisme dan patriarki. Di awal-awal cerita, beberapa situasi sangat memprihatinkan dan ada gejolak-gejolak yang timbul akibat pemberontakan warga India terhadap Inggris yang pada masa itu sedang menginjak-injak Hindustan. Swami pun tanpa sengaja terseret arus gejolak tersebut hingga menghadapi kekerasan saat demonstrasi. India menjadi terlihat sangat buruk, dengan pendidikan yang menakutkan dan situasi negara yang diselimuti kemiskinan. Selain kolonialisme, budaya patriarki pun terasa nyata. Pembaca bisa melihatnya melalui hubungan ayah dan ibu Swami yang sangat tidak mesra. Bukannya menuntut kemesraan seperti di drama roman, namun sangat jelas perbedaannya antara peran ayah dan ibu. Ibu yang mengurus segala hal di rumah, mulai dari urusan perut, rumah, dan pakaian seluruh keluarga. Ayah yang tugasnya menjadi pemimpin keluarga pun hobi sekali mengkritisi ini itu sambil misuh-misuh saat memberikan uang kepada ibu untuk menyuruhnya melunasi hutang ke tukang jahit. Ayah juga menjadi penanggung jawab atas pendidikan dan pertumbuhan Swami menjadi seorang lelaki. Swami dilarang menjadi penakut, cengeng, dan lemah. Pun juga harus bisa merapikan kamarnya sendiri. Segala hal yang dilakukan di rumah, harus dengan restu dari ayah. Ayah sendiri punya kehidupan sendiri, senang melakukan hobi ini itu, sementara ibu harus terus berkutat di rumah dengan pekerjaan yang tak habis. 


Kisah-kisah sederhana di kehidupan sehari-hari Swami ditutup dengan sederhana juga. Akhir yang tidak berlebihan dan cukup memuaskan. R. K. Narayan sangat apik dalam menggambarkan situasi India dan perasaan Swami terhadap situasi yang sedang dihadapinya. Pembaca sepertinya akan merasa sangat dekat dengan kehidupan Swami. Sekali dua kali merasa kasihan, miris, namun tak jarang juga kesal karena sikap ceroboh anak lelaki itu. Pada akhirnya, pembaca akan sampai pada kesimpulan bahwa segala perilaku bodoh dan ceroboh yang dilakukan setiap manusia bukan hanya proses menuju dewasa, namun sepertinya itu adalah keharusan yang patut dilakukan semasa hidup. Menjadi bodoh dan ceroboh adalah kewajiban dalam hidup, dibarengi dengan nekat dan keras kepala, seperti Swami dan teman-temannya.



27 Aug 2019 14:35
228
Jakarta Selatan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: