Membaca Lumpur Lapindo dalam Aksara Getir
Resensi
Kutipan Resensi Membaca Lumpur Lapindo dalam Aksara Getir
Karya nnsnvprtw
Baca selengkapnya di Penakota.id

 


 


Setiap hari kami berangkat kerja, pepagi sekali, setiap hari, lalu memelototi lumpur, kata, lumpur, mulut, lumpur, peristiwa, setiap hari.

 


 


Buku dengan jumlah halaman sebanyak 129, Dunia dari Keping Ingatan karya F. Aziz Manna berhasil membawa saya ke masa 13 tahun lalu, saat berita Lumpur Lapindo samar-samar saya dengarkan. Kala itu mungkin saya hanya melihat sebentar lalu kembali sibuk dengan ihwal duniawi lain. Yang saya tau hanya kejadian tersebut disebabkan oleh salah satu perusahaan besar yang terafiliasi dengan grup yang cukup tersohor dan gadang di Indonesia.


 


Percepat ke September 2019, saya menemukan buku ini di tumpukan buku bazar yang diadakan di JCC, Senayan. Ilustrasi sampulnya cukup menarik: siluet manusia yang di kepalanya tergambar rumah-rumah yang terendam banjir. Ternyata, peristiwa banjir yang ada di ilustrasi merupakan gambaran visual dari peristiwa Lumpur Sidoarjo 13 tahun lalu.


 


Sekitar 73 puisi dan sajak yang ditulis F. Aziz Manna ini rupanya telah berhasil memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 dalam kategori puisi. Puisi-puisinya memang terasa lebih pandai menggambarkan gelapnya peristiwa Lumpur Lapindo dibandingkan segala narasi berita di tv. Memang sudah tugas puisi untuk membuat pembaca menjadi emosional dan terikat. Puisi-puisi Manna melakukannya dengan sangat baik.


 


Di samping mengikat secara emosional, puisi-puisi dalam buku ini juga menggelitik bagian lobus temporal otak saya karena banyaknya kata-kata yang diproduksi oleh F. Aziz Manna untuk memperkaya puisinya, seperti kata 'syahdan', 'melangut', 'zonder', 'nyunyut', dan masih banyak lagi. Beberapa kata, bahkan perlu saya garisbawahi dan dituliskan maknanya di akhir paragraf. Dalam sajaknya juga, banyak sekali majas-majas yang bertebaran, mulai dari metafora hingga asosiasi.


 


Kami tak pernah merasa berurusan dengan dunia sebab kami bersama lapar dan tak ada yang bisa kami makan, tak ada yang bisa mengenyangkan. Terik matahari kami simpan dalam perut sepanjang hari, ketika beduk menyatu dengan degup jantung. Matahari sepenuhnya tenggelam, tertelan, tanggul menghitam.

 


Setelah membaca seluruh sajak dan puisi ini, saya paham, bahwa berapapun besarnya materi yang diberikan oleh si raksasa kapital kepada para warga yang terkena peristiwa menyedihkan itu, tidak akan mampu menggantikan rasa pedih yang dirasa. Lumpur telah melumat kenangan mereka. Menenggelamkan kebendaan mereka. Menambahkan rasa getir dan pahit dalam ucapan mereka. Mencerabut kebahagiaan. Mencerabut kemanusiaan.


 


 

06 Nov 2019 14:37
441
Jakarta Selatan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: