Perempuan itu sudah tak bisa menulis. Setiap kali ia mencoba, rasanya yang keluar hanya kalimat-kalimat sampah saja. Seperti luka basah yang ditutup paksa dengan kasa yang tak kunjung diganti, yang walaupun disembunyikan, tetap saja menguarkan bau busuk. Amis. Bangsai. Apak. Basi.
Ia bukan lagi lautan dengan riak yang tenang, bukan lagi rintik hujan dengan petikan gitar dan semangkuk cokelat. Bukan movie maraton dengan kulkas penuh es krim di malam-malam yang rindu. Bukan lagi sajak-sajak manis yang menimbulkan rona merah muda bagi siapa saja yang membacanya, bukan...
Sudah tak ada harap di antara semoga-semoganya. Tak ada lagi jawab untuk semua tanyanya. Sudah tak ada genap dari segala ganjil yang ia punya. Tak ada lagi percaya. Empati. Dan segala hal baik lainnya.
Lalu, di antara semua kekacauan itu, ia menemukan dirinya. Memeluk diri dengan nyaman. Sudah tak ingin beranjak. Tak ingin kehilangan dirinya lagi. Tak lagi berpura-pura menjadi yang selalu kuat. Tak apa mengakui diri sedang tidak baik-baik saja, bukan? Tak ada yang salah dengan menjadi kalah. Bukan?